Sahabat
Sahabat, waktu
begitu cepat berjalan sehingga kata-kata perkenalan di awal perkuliahan dulu
kini telah berdengung jadi sahabat.
Sahabat, kemarin
dalam kesunyianku engkau datang menemaniku sehingga aku tak kesepian.
Sahabat, hari demi hari kita telah lalui.
Banyak kenangan yang tersisa setiap gerak yang kita lakukan. Bagiku hal ini
yang menarik dan akan terkenang, tapi bagimu hal lain pula yang menarik
sehingga jika kita satukan kenangan itu barangkali akan terbentuk perjalan
hidup bersahabat anak manusia dalam bentuk novel.
Sahabat,
perjalanan panjang dalam kuliah ini bagiku sebuah catatan sejarah yang akan
tetap terpahat di liang seluruh organ tubuhku. Bagaimana tidak? Sekeliling
kampus dan jalan-jalan yang telah kita lalui, itu dinikmati oleh mata, telinga,
lidah, kulit, dan juga hidung. Bukan berkata lebih, andaikata direkam menjadi
sebuah video maka akan tampak bagaimana raut wajah kita, tutur kata, bau-bau
yang tercium oleh kita, begitu ramainya taman kehidupan ini oleh manusia dan
alat-alatnya, hingga angin semilir yang tak tertangkap oleh kamera pun mampu
kita narasikan dengan sebenar-benarnya. Sungguh luar biasa, sahabat.
Sahabat, hari
ini kita telah semester empat. Kita pula yang berkelompok beranggota empat.
Sahabat, aku
teringat kata-kata kita kemarin yang telah berjanji dengan studi empat tahun
untuk gelar sarjana. Masihkah engkau ingat sahabat? Banyak juga yang tersisa
lewat goresan kata dan derap langkah kita. Buktinya kita akan selalu
bersalaman. Kau, aku, dia, kita berempat, bagai saudara yang telah ditakdirkan
akan bertemu dalam ruang yang sama, dalam tujuan yang sama, dalam waktu yang
ditentukan, dalam umur yang beda, dalam kesatuan hati sehingga terbentuk sebuah
ikatan dalam hati kita.
Sahabat, ya,
itulah namanya.
Sahabat, di sana
engkau berangan setiap kali masa liburan tiba. Kita yang berasal dari suku
bangsa yang beda, jenis kelamin yang beda, warna kulit yang beda,
intelektualitas yang beda, bakat yang beda, watak yang beda, daerah yang beda,
tapi sungguh luar biasa.
Sahabat, kata itu
perekat kita.
Sahabat, setiap
kali kata yang teruntai dalam kalbu ingin mendeskripsikan setiap cerita tentang
kita, anganku melayang. Alangkah bahagianya diriku bisa bersahabat dengan
engkau.
Sahabat,
teringat saat musim liburan semester tiga lalu, saat kita melepas seluruh beban
di pundak karena di penghujung kuliah. Kita berempat duduk bersama di teras
casablanka itu. Lorong yang menjadi saksi atas kesumringahan senyum kita. Kita
bergembira akan melepas semua penat selama satu semester. Ancangan berlibur di
rumah orangtua.
Sahabat, hari
ini hari minggu. Pagi betul aku ingin mengabadikan jejak perjalanan kita dalam
semester ini. Walau hari telah berlalu sehari untuk kata libur tak apalah.
Sahabat, semalam kita tak bertemu seperti biasa. Biasanya kita akan berjumpa
untuk kata sapa untuk berlibur.
Sahabat, jika
kuputar kembali rakaman yang tersisa di otak ini sekitar sepak terjang kita
semester empat ini, barangkali tak cukup memori labtop ini menyimpannya. Ya,
aku tahu ini terlalu berlebihan, tapi itulah kita—sahabat.
Sahabat, tersisa
di otak ini bagaimana kita kejar tanyang mengerjakan tugas yang telah menumpuk.
Kejar tayang untuk menyelesaikan makalah dalam semalam. Tapi, sahabat, itu jadi
juga. Di situ presentasi di situ belajar. Oh, sungguh sahabat, sungguh luar
biasanya kita. Memang itu semua berkat dan karunia-Nya.
Sahabat, jika
aku melihat hari ini hati kita kian menipis. Menipis kumaksud mulai retak
sedikit demi sedikit. Aku tak tahu apa sebab musababnya. Tapi, aku hanya
berharap jangan biarkan dia terlalu lama karena hati ini bagai besi, terlalu
lama ia tak dibersihkan akan digerogoti oleh karat hingga akhirnya keropos dan
habis.
Sahabat, aku
terkadang terbayang. Setiap dari kita dua puluh tahun ke depan? Aku
membayangkan akan ada seseorang di sampaing kita menjadi pendamping hidup atau
bahkan ada anak sebagai pelengkap keluarga. Dan lebih jauh lagi, aku sangat
ingin ada di antar kita datang dan berkata “Sahabatku, semalam aku baru pulang
dari luar negeri (entah dimana pun itu) menyelesaikan studi doktorku”. Ya,
itulah salah satu anganku. Dan aku juga tak berharap muluk-muluk, sekiranya
juga tidak demikian, yang terlihat barangkali engkau masih tak malu mengakui
bahwa kita dulu bersahabat, seperjuangan dalam mengisi kepala dan hati,
menjalani hidup sebagai warga unimed yang sejuk, atau lebih lengkapnya di
jurusan sama, dan kelas yang hampir selalu sama.
Sahabat, aku tak
berkata aku telah mewarnai hidupmu atau kau telah mewarnai hidupku. Tapi, yang
kurasakan adalah kita telah berbagi warna sehingga tak ada beda.
Sahabat, jika
nanti kan ada waktu tuk terus bersama barangkali kisah dan perjalanan akan
tertulis lebih panjang. Dan barangkali jika kita telah berpisah, maka akan kau
temui lagi sahabatmu yang barangkali engkau kan menyampaikan secuil tentang
sahabatmu yang bagimu itu menarik untuk dibagi. Dan aku akan sangat senang
dengan hal itu.
Sahabat, kata
orang dia cemburu dengan kekompakan kita, tapi kataku bukan ia cemburu, tapi ia
ingin berbagi bagaimana cara membuat orang merasa bersahabat dengannya. Ya,
itulah sahabat...
Tertanda
Sahabatmu,
Justianus Tarigan