REHULINA
Karya
Justianus Tarigan
Deskripsi watak tokoh
Rehulina :
cerdas, setia, bijak
Pak Abdi : mudah
tersinggung,terperamen
Ely :
periang, setia
Amel :
suka pamer, agak sombong
Pagi
hari di kelas XII IPA 1. Siswa-siswa sudah ramai di kelas. Tiga sekawan
memperbincangkan kelanjutan studinya.
Amel : “Oya, teman-teman. Kemana kemarin kalian pilih ngelanjutnya?”
Rehulina : “Entahlah.” (nada lemas sambil membaca bukunya)
Ely :
“Aku ke Yogya.” (penuh semangat dan ceria)
Amel : “Oya? Sama dong. Ayahku bilang aku pasti diterima di kampus favoritku
itu. Teman dekat ayahku sekarang jadi wakil rektor satunya loh.”
Ely :
“Rekom aku juga donk. Biar bisa sama kita di sana.”
Amel : “Ye. Emang situ punya kenalan.” (bicara agak sinis)
Ely :
(tidak mempedulikan ucapan Amel)”Eh, Lin. Kok diam saja. Kamu milih dimana?”
Rehulina : “Aku udah tahu mau kemana. Masalahnya, aku kan gak seperti kalian berdua. Kalian
tahulah maksudku.”
Ely :
“Kamu kan udah bilang mau coba bidikmisi. Usahalah Lina sayang. Sayang ilmu dan
bakatmu itu gak sampai dikuliahin.” (mengarahkan wajah Lina menghadap wajahnya)
Rehulina : (tersenyum kecil)
Amel : “Kalau tidak sanggup ke Jawa, di Medan aja Lin. Pokoknya kan
kuliah. Di kampus yang tidak terkenal juga boleh kok. Asalkan ada beasiswanya.”
Ely :
“Hus! Amel. (jari telunjuk Ely didekatkannya ke bibirnya tanda menyuruh Amel
berhenti bicara.
Rehulina : (pura-pura tidak mendengar dan membaca buku)
Ely :
“Maaf ya Lin. Aku tidak serius yang tadi.”
Lina : (berdiri dan melihat Ely dan Amel) “Aku tidak apa-apa kok.
Serius. Wajahku tidak memancarkan kalau aku sedang marah kan?”
Emel : “Jadi apa rencanamu Lin?”
Rehulina : (menarik napas)”Aku tidak berencana ke Jawa. Aku akan bangga jika
diterima di universitas ibukota provinsi ini. Kampusnya juga tidak kalah saing
kok dengan yang di Jawa. Yang aku perlukan saat ini adalah doa kedua temanku
yang tiap hari mau menemaniku ini. Ada yang mau mendoakanku?” (Lina membuka
lebar tangannya seperti hendak terbang)
Ely :
“Lina” (Ely langsung terjun ke pelukan sahabatnya dengan suara menahan sedihnya)
Amel : “Aku juga ikut.”
Mereka berpelukan.
Bel berbunyi. Pelajaran pertama akan
segera dimulai. Pelajaran di kelas XII IPA 1 adalah bahasa Indonesia. Gurunya
adalah Pak Abdi, kepala sekolah. Hanya di kelas ini saja Pak Abdi mengajar.
Kelas XII IPA 1 ini adalah kelas paling dekat ke kantor kepala sekolah di
antara semua kelas yang ada di sekolah ini.
Pak Abdi : “Selamat pagi anak Bapak.”
Siswa : “Selamat pagi Pak.”
Pak Abdi : “Apa kabar kalian pagi ini?”
Siswa : “Sehat Pak.”
Tiba-tiba nada dering telepon
genggam Pak Abdi berbunyi.
Pak Abdi :”Sebentar ya.”
Pak Abdi mengangkat panggilan
telepon tersebut. Dia berbicara sambil berjalan ke arah kantornya. Kebiasaan
buruk kepala sekolah ini tidak bisa bertelepon dengan suara kecil. Selalu
terdengar ke mana-mana. Kepala sekolah sudah mendekati kantornya tapi suaranya
bercakap masih terdengar oleh siswa
Rehulina : “Permisi sebentar Pak Ketua”. (Lina melihat ke arah ketua kelas)
Ketua Kelas : “Jangan lama. Bapak itu tiba-tiba masuk dan dilihatnya ada yang
keluar, bisa marah dia.”
Rehulina : “Siap ketua.” (tersenyum)
Lina mau ke kamar mandi. Dia
berjalan melewati lorong kelasnya dan harus melewati kantor kepala sekolah.
langkahnya dibuatnya pelan agar tidak ketahuan kepala sekolah. Mendekati kantor
kepala sekolah, suara kepala sekolah sudah terdengar jelas oleh Lina. Beberapa
kali Lina mendengar nama camat disebutnya. Semakin Lina mendekati pintu kantor
kepala sekolah itu, semakin dengar pula ia bahwa kepala sekolah sedang
membicarakan temannya, Amel. Karena kepala sekolah itu terus bercakap dengan
suara kuat, Lina dapat mendengar semua pembicaraan itu. Intinya, kepala sekolah
diminta melakukan cuci rapor Amel agar bisa kuliah di jurusan yang diinginkanya
di Jawa. Kepala sekolah tampaknya menyetujui dengan perkataan “bisa diatur”.
Lina geram mendengarkannya. Dia langsung bergegas pergi menuju tempat yang
seharusnya didatanginya.
Pak abdi : “Anak bapak sekalian materi kita pagi ini adalah”(terdengar bunyi
ketukan pintu)
Pak Abdi : “Darimana kamu?”
Lina : “Maaf Pak. Saya tadi izin kepada ketua kelas untuk ke kamar
mandi.
Pak Abdi : “Baru bel kok permisi. Makanya buang dulu yang mau dibuang
sebelum pelajaran dimulai. Mengganggu saja. Silakan duduk!”
Rehulina : (diam dan berjalan ke tempat duduknya)
Pak Abdi : “Baiklah anak Bapak. Materi kita hari ini adalah mengidentifikasi
ciri dan tema puisi kontemporer. Seperti…”
(telepon genggam Pak Abdi berbunyi)
Pak Abdi : “Baru mau menerangkan, sudah ditelepon lagi.” (berbicara sendiri
seperti mendumel).”Anak Bapak silakan dibaca dulu buku paketnya mengenai materi
ini ya. Sebentar saya angkat dulu telepon pak kadis ini.”
Pak Abdi : “Hallo Pak Kadis. Selamat pagi…”
Pak Abdi menjauhi kelas sambil bercakap-cakap
dengan pak kadis. Suaranya semakin mengecil karena semakin menjauhi ruang
belajar. Hingga les pembelajaran bahasa Indonesia habis, Pak Abdi tidak kembali
lagi ke kelas. Ternyata dia langsung pergi setelah Pak Kadis menelepon).
Ely :“Lin,
datamu kemarin sudah kamu serahkan kepada kami kan?”
Rehulina :“Sudah Ely. Kan Kamu dan Amel yang kemarin yang mengantarkannya ke
kantor.”
Ely :“Aku
hanya memastikan. Kami kan hanya pengumpul. Mana kami perhatikan semua data
itu.”
Rehulina :”Sudah loh Ely. Tenang saja.”
Ely :”Bukannya
besok kita sudah bisa meminta print out pendaftaran itu?”
Rehulina :”oya? Kalau begitu, besok kita jumpai saja bapak itu. Bagaimana?
Amel : (Amel datang ke bangku Lina dan ely) “Eeee… ada apa ini?
Senang sekali. Pasti ada kabar baik.
Lina :“Kamu mau tahu kan? Besok kita jemput kabar baik itu
bersama-sama. Ok.”
Amel :”Tapi apa?” (suara merengek)
Ely :”Ihhh.
Besok bakal tahu.”
Keesokan harinya. Bel les pertama pelajaran
berbunyi. Hari ini adalah pertemuan kedua bahasa Indonesia di kelas XII IPA 1.
Pak Abdi belum tampak datang. Tapi siswa telah di kelas menunggu gurunya.
Ely :”Apa
itu Lin? Kok tulisannya seperti puisi. Boleh aku baca?”
Rehulina :”Jangan. Ini terlalu kontemporer untuk kamu baca.”
Ely :”Gayamu
itu loh. Sok paham tulisan kontemporer. Belajar materi itu saja belum.”
Rehulina :”Nanti kuperlihatkan.”
Tiba-tiba Pak Abdi datang.
Pak Abdi :”Selamat pagi anak Bapak.”
Siswa :”Selamat pagi Pak.” (serempak)
Pak :”Baik. Kita lanjutkan materi sebelumnya mengenai puisi
kontemporer. Kemarin Bapak sudah menyuruh kalian berdiskusi mengenai materi ini.
Ya, kalaupun saya tidak ada di kelas, saya harap ada laporan mengenai hasil
diskusi yang kalian lakukan. Apa hasil diskusi kalian?” (menunjuk ke arah Ely)
Ely :”Ada
pak. Tapi kami bingung kemarin membahasnya.”
Pak Abdi :”Iya. Apa yang dibingungkan? Jangan-jangan tidak ada yang kalian
diskusikan. Mana buktinya?”
Ely :”Mana
puisi kamu kemarin Lin. Supaya Bapak percaya.” (Ely tampak ketakutan)
Rehulina :”Ini hasil diskusi kami Pak.” (menyerahkan secarik kertas HVS yang
ditulisi penuh).
Pak Abdi :”Ya. Tampaknya ada sebuah puisi. Coba kamu bacakan di depan. Dari
puisi kalian ini nanti kita akan membahas puisi kontemporer.”
Lina : (maju ke depan kelas dan bersiap membacakan puisinya). “Terkutuk
buah pena Rehulina Tarigan. Te e er ka u te u ka. Terkutuk. Terkutuklah. Para
pencuri duit rakyat. Para pemalsu dokumen negara sampai para penabur ilmu
bermuka dua.” (suara Lina terdengar lantang)
Pak Abdi : “Stop. Puisi apa itu?”
Lina : (kebingungan melihat reaksi gurunya karena disuruh tiba-tiba
berhenti). “Tapi Bapak menyuruh saya membacakannya. Inilah yang kami pahami
mengenai puisi kontemporer Pak.”
Pak Abdi :“kalaulah saya ingin tahu. Apalah maksud puisimu itu?”
Rehulina :”Saya belakangan ini sering menonton berita mengenai kasus korupsi
yang ditangai KPK, Pak. Dari berbagai kasus itu membuat saya ingin menulis
sebuah puisi yang bentuknya seperti ini.
Pak Abdi : “Oya? Terus yang kamu maksud dengan para penabur ilmu bermuka
dua. Itu apa?”
Lina : (teringat dengan percakapan Pak Abdi lewat telepon kemarin
tentang cuci rapor). “E… yang itu juga ada pengaruhnya dari tontonan saya Pak
yang memberitakan ada oknum di bidang pendidikan yang melakukan korupsi atau
pemalsuan data akademik. Saya hanya tidak habis pikir, seorang pendidik, di
sekolah atau di kampus, tega melakukan kecurangan. Padahal, mereka setiap hari
mengajarkan tentang ilmu pengetahuan sekaligus moral kepada peserta didiknya.
Pak Abdi :(terdiam dan wajahnya tampak gusar)
”Saya pikir puisi kamu itu tidak mencerminkan
nilai estetika. Perlu diperbaiki.”
Rehulina :“Pak”
Pak Abdi :(diam)
Lina :”Pak”
Pak Abdi :”Ada apa?”
Lina :”Inilah yang kami bingungkan Pak. Bukankah puisi itu buah
karya pengarangnya? Dia berhak membuat semau dia untuk mengungkapkan
pikirannya?”
Pak Abdi : “Pokoknya saya tidak suka puisi kamu itu.” (suara kepsek
tiba-tiba terdengar lantang). “Jangan beradu teori dengan saya mengenai puisi.
Saya lebih lama mempelajarinya daripada kamu.
Pak Abdi :”Silakan dikerjakan pelatihan yang ada di buku paket itu. Ketua
kelas tolong kumpulkan setelah selesai. Saya ada pekerjaan lagi mendadak.”
Pergi meninggalkan ruang belajar. Siswa
tampak kebingungan. Mereka tidak mengetahui apa penyebabnya Pak Abdi tiba-tiba
marah.
Di kantor operator sekolah
Pak Abdi :“Mul”
Pak Mulia :”Saya Pak.”
Pak Abdi :”Bagaimana mengenai pendaftaran SNMPTN siswa itu, sudah selesai?”
Pak Mulia :”Sudah Pak.”
Pak Abdi :”Rehulina Tarigan itu batalkan saja.”
Pak Mulia :”Tapi kenapa Pak? Bukankah dia siswa terbaik kita?”
Pak Abdi :”Tidak perlu kamu bantah perintah saya. Batalkan saja”
Pak Mulia :”Iya Pak.” (suara lemas)
Bel istirahat berbunyi
Ely :”Selamat
pagi Pak.”
Pak Mulia :”Sudah siang Ely.”
(Lina dan Amel tertawa)
Pak Mulia :”Kalian pasti ingin mengambil print out pendaftaran SNMPTN itu kan?”
Amel :”Jelaslah Pak. Kami ingin lihat.”
Pak Mulia :”Ini untuk kelas kalian. Kalian bagikan kepada teman sekelas ya.
Tapi membagikannya di kelas saja.”
(Ely dan Amel tampak berebut
membawa map yang diberikan Pak Mulia)
Lina :”Terima kasih ya Pak. Permisi”
Pak Mulia :”Iya.” (dalam hati Pak Mulia “Maafkan bapak lina, kamu harus kecewa
kali ini”)
Di kelas
Ely :”Lin,
kertas kamu kok tidak ada.”
Amel :”Iya Lin.”
Rehulina :”Tidak mungkin. Aku kemarin kan mendaftar. Coba kalian cek sekali
lagi.”
Ely :”Semua
sudah kami bagikan. Tinggal tiga. Ini si
Bina, si Abel, si Juni. Terus kertasmu mana?
Lina :”Jangan banyak bercanda Ely. Aku udah deg-degan ini.”
Amel :”Ini betulan loh.”
Lina : (Menarik ketiga kertas yang ada di tangan Ely. Dibacanya satu
per satu. Ternyata benar. Kertas miliknya tidak ada. Lina terdiam.)
Ely :”Sebentar
ya aku tanya langsung sama Pak Mulia.” (pergi
meninggalkan Lina dan Amel)
Amel :”Tenang Lina.” (tersenyum memandangi kertasnya)
Ely :”Lin,
kamu harus jumpai bapak itu besok. Dia sudah pulang.”
Lina : (diam dan menganggukkan kepala)
Di
rumah
Ibu :”Lina
ada apa Nak? Dari pulang sekolah kok murung terus.”
Lina :”Lina tidak terdaftar Buk. Lina tidak bisa ikut jalur SNMPTN.
(lina menangis di pelukan ibunya)
Ibu :”Tenang
dulu. Jangan putus asa begitu. Kan masih bisa tanya kepada kepala sekolah.”
Lina : (masih menangis)
Ibu :”Udah
ah. Bagaimana kita bisa cari solusi kalau kamu tidak berpikir jernih Lina?”
(lina melepaskan pelukannya. Dia
duduk di dekat ibunya)
Ibu :”Kamu
pasti ada buat salah kepada kepala sekolah. Kamu tahu kan kepsekmu itu mudah
tersinggung? Kamu pasti ingat dengan kejadian di kelas satu dulu saat ibu
menuntut uang beasiswamu yang seharusnya sudah cair tapi malah didiamkan pihak
sekolah. Eh, semester depannya kamu tidak dapat lagi.”(ibu mengelus rambut
putrinya).
“Lina
anakku, banyak cara yang dapat ditempuh untuk mencapai keinginan. Pilihlah cara
yang baik untuk ke sana. Kamu harus tahu arti namamu itu. Ibu memang tidak
pernah cerita soal sejarah nama kamu itu. yang pasti, ayahmulah yang memberikan
langsung nama itu. Kamu tahu filosofi namamu itu? Reh dalam bahasa Karo artinya
datang. Ulina artinya kebaikan. Jadi, Rehulina artinya semoga yang akan datang
menjadi lebih baik. Harapan Ayahmu, kamulah yang memberikan kebaikan pada
keluarga kita. Atau secara luasnya, kamu harus membawa kebaikan kepada setiap
orang yang kamu datangi. (ibu diam sesaat)
“Sudah.
Jangan sedih lagi. Istirahatlah. Besok jumpai kepala sekolah dengan baik.”
Keesokan
harinya di ruang kepala sekolah.
Pak Abdi : “Apa ini?” (Pak Abdi membuka amplop dan membaca isi surat itu)
Yth. Bapak Kepala Sekolah
Maafkan
saya yang telah lancang meletakkan sebuah surat di meja Bapak. Saya tidak
bermaksud untuk melakukan tindakan negarif. Saya hanya ingin meluruskan pandangan
Bapak terhadap saya atas isi puisi kemarin.
Bapak,
pertama kali Bapak mengajar di kelas kami, saya betul-betul terpukau dengan
keluasan wawasan Bapak. Saya melihat bahwa Bapak memang memiliki ilmu mumpuni
untuk mendidik sekaligus membangun sekolah kita ini. Setiap kali Bapak masuk di
kelas, saya selalu mendapatkan satu inspirasi dari kata-kata dan penjelasan
Bapak. Saya mengagumi itu.
Tapi, entah
mengapa Bapak, saat saya kemarin permisi ingin ke kamar mandi dan tanpa sengaja
saya mendengar pembicaraan Bapak mengenai suatu rencana yang tidak baik, Rasanya
luntur semua kebaikan yang kuagungkan tentang Bapak. Rasa kagumku sirna
seketika.
Saya bohong
Pak mengenai maksud puisi itu. Bapak ternyata tahu maksud saya atas puisi itu. Saya
hanya ingin sampaikan secara tidak langsung agar Bapak yang saya kagumi tidak
melakukan kejahatan seperti itu. Saya tidak pikir panjang akibatnya. Maafkan atas
kelancangan saya Pak.
Pak, saya
sangat tahu diri. Atas segala keadaan ekonomi dan status sosial saya. Hanya
sedikit prestasi yang bisa kubanggakan. Itu pun atas bimbingan dan nasihat
Bapak. Rasanya tidak ada yang pantas kubandingkan dengan Bapak.
Bapak yang
selau kudengarkan nasihatnya, adalah Bapak yang setiap kali masuk di kelas kami
dengan sejuta pemikiran sekaligus motivator dalam hidup saya. Bapak, langkah
saya akan terhenti sampai di sini jika restu Bapak tidak meridhoi saya
melanjutkan studi itu.
Siswa yang selalu mengagumi Bapak,
Rehulina Tarigan
Pak Abdi terdiam sesaat. Kemudian diraihnya telepon genggamnya yang terletak
di atas meja. Nomor Pak Mulia adalah tujuannya.
Pak Abdi :”Mulia, tolong daftarkan kembali Rehulina itu. satu lagi, batalkan
cuci rapor itu.”
Mulia :”Iiiiya Pak.” (agak kaget)
Pak Abdi :”Terima kasih nak. Kau telah mengingatkan Bapak. Semoga dengan
keluhuruan budimu, engkau menjadi orang yang bermanfaat kelak.”
Selesai