MENGEMBANGKAN BAHASA
DAERAH MELALUI CERITA PENDEK
oleh: Justianus Tarigan
a.
Pendahuluan
Indonesia yang
terdiri atas beragam suku bangsa, agama, ras, dan budaya menjadi salah satu
kebanggaan yang tiada ternilai harganya. Kebanggaan ini telah terpupuk sejak
dulu sehingga sampai hari ini kebhinekaan itu dapat terlestari di bumi Maritim
ini. Tak dipungkiri keberagaman itu juga membuat orang Indonesia terkenal
hingga seluruh dunia.
Salah satu dari
keberagaman budaya Indonesia yang wajib dibanggakan pula adalah bahasa. Indonesia
yang memiliki beragam suku bangsa sehingga bahasanya juga beragam. Bahasa Karo
dari suku Karo, bahasa Batak dari suku Batak, bahasa Jawa dari suku Jawa, bahasa
melayu dari suku Melayu, dan masih banyak lagi yang tak dapat disebutkan satu
per satu.
Keberagaman bahasa
yang ada di Indonesia tak menjadi perpecahan karena kesadaran dan kesatuan
seluruh rakyat Indonesia. Ketika terjadi peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928 yang dihadiri oleh beragam suku bangsa namun menyatukan suara
dan tekad yang bulat sehingga muncullah dengan kegagahan bahasa Indonesia
sebagai bahasa perekat keberagaman itu. Itulah awalnya bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan. Dan lebih lanjut diatur dalam UUD 1945 pasal 36.
Kelahiran bahasa
nasional itu bukan berarti menyingkirkan bahasa daerah. Menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 40 tahun 2007 bahwa “Bahasa
Daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi
antar anggota masyarakat dari suku-suku atau kelompok‑kelompok etnis di daerah‑daerah
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Lebih lanjut dijelaskan
dalam bab II pasal 2 poin b tentang tugas kepala daerah, dinyatakan bahwa “Pelestarian
dan pengembangan bahasa daerah sebagai unsur kekayaan budaya dan sebagai sumber
utama pembentuk kosakata bahasa Indonesia.” Pernyataan ini mempertegas kepada
kita bahwa kelangsungan bahasa daerah juga diprioritaskan.
Ironisnya pada saat sekarang ini banyak masyarakat yang kurang
memperhatikan bahasa daerah. Buktinya, dibelakang namanya ada embel-embel kesukuan.
Maksudnya ada marganya, tapi tidak bisa berbahasa seperti bahasa suku
bangsanya. Lebih parah lagi, adanya anggapan bahwa tidak zamannya lagi
menggunakan bahasa daerah. Ia akan merasa lebih gengsi jika bahasa Indonesia
sebagai bahasa ibunya dan bahasa asing sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Demikian parahnya pendapat itu, ternyata ada juga yang berpikir lain.
Ialah orang-orang yang gemar mempelajari bahasa daerah atau paling tidak ia
berpikir bahwa bahasa daerah itu wajib dilestarikan. Sejalan dengan hal di
atas, jika pandangan diarahkan ke arah sastra, maka banyak ditemui kosakata
bahasa daerah yang dijadikan sebagai bumbu penyedap tulisannya. Katakanlah saja
penulis sastra Hasan Albanna. Cerita pendeknya banyak mencampurkan bahasa
daerah sebagai bumbu tulisannya. Demikianlah yang membuat penulis mengangkat tema tentang sastra khususnya cerita
pendek sebagai media untuk mengembangkan bahasa daerah.
a.
Bahasa Daerah Sebagai Salah Satu Gaya Pengarang
Dalam Cerita Pendek
Cerita pendek yang merupakan bagian dari karya satra
sering menyerap bahasa daerah sebagai alat mengungkapkan ide dalam ceritanya.
Pengarang membumbui cerita pendek itu dengan bahasa daerah yang rasanya pas
untuk diletakkan mewakili ide yang disampaikan. Tentunya dalam penggunaan bahasa
daerah tersebut si pengarang paham betul makna kata yang diserapnya. Jika tidak
maka itu sama artinya mempermalukan diri di hadapan penikmat tulisannya. Kata
yang salah letak/tidak cocok digunakan bukan berarti mewakili ide yang dimaksud
melainkan mengacaukannya.
Penggunaan bahasa daerah dalam sebuah cerita pendek
sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang kebahasaan dan kesastraan
pengarang. Waluyu (2008:19) menyatakan ketika sastrawan ingin menyampaikan
pesannya, ia harus mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa tersebut
harus dimengerti oleh pembacanya. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga
berangkat dari bahasa natural, yakni bahasa yang digunakan berkomunikasi
sehari-hari. Meskipun demikian, dengan berbekal bahasa natural tersebut, sastrawan
menciptakan sendiri bahasa yang sesuai dengan sistem sastra.
Jadi, jika seorang sastrawan menggunakan bahasa daerah
Karo misalnya maka bisa dipastikan ia berasal dari daerah Karo atau ia memang
mengerti bahasa Karo. Tapi, perlu juga dipahami bahwa tidak selamanya bahasa
suku bangsa pengarang yang muncul dalam karyanya. Bisa saja pengarang bersuku
Minang, tapi karena sejak kecil ia berada di lingkungan Batak, maka yang
tercermin di karyanya itu adalah bahasa Batak karena ia tidak memahami bahasa
daerahnya sendiri.
b. Analisi Penggunaan Bahasa Daerah Dalam Cerita Pendek Indonesia
Bahasa daerah
seperti yang dijelaskan di atas sering dicampurkan dengan bahasa Indonesia
dalam cerita pendek. Terbukti dari analisis yang dibuat ditemukan banyak bahasa
daerah yang digunakan pengarang dalam karya sastranya khususnya cerita pendek.
Tiga kumpulan cerita pendek yang dijadikan bahan rujukan membuktikan penggunaan
bahasa daerah dalam cerita pendeknya.
Hasil analisi
itu akan dijelaskan di bawah ini.
1.
Kumpulan cerita pendek yang berjudul Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan Kompas
1993
“Saat tiba buka-buka bingkisan, aku mendapat
pengertian atau lebih tepatnya kebahagian lain dari makna menunggu. Untuk
beberapa lama, perhatian terpecah antara aku, Titin, dan puluhan bingkisan yang
masing-masing memang sudah kubungkus rapi itu. tawa, senyum dan seruan tertahan
menggema. Bergantian mereka memandang dan mencium bingkisan yang mereka terima
dan wajahku. “Makasih, Tin”, “Nuhun nya2,
Tin,” kata mereka, atau “Tengkyu, Teh” jerit Ical, si bungsu yang mendapat jam
tangan karet produksi dalam negeri Arab Saudi.”
(dikutip dari cerpen Titin Pulang
dari Saudi karya Radhar Panca Dahana halaman 117)
Keterangan: Nuhun
nya artinya terima kasih ya
“Banyak juga ya, Tin,” kata ibuku tersenyum.
“Bisa beli angkot4,
Teh!” sambung Deden adikku.
“Entong,
peserkeuen wae sawah5, “ kakak lelaki ikutan.
“Cenah, reg
kawin deui6 ,” susul kakak perempuan, Ema.
“Husy!” Ibu membentak. Aku tersenyum.
(dikutip
dari cerpen Titin Pulang dari Saudi
karya Radhar Panca Dahana halaman 118)
Keterangan:
4. angkutan kota
5.
Jangan, belikan saja sawah
6.
katanya, hendak kawin lagi
“Kang
Dani kemarin nanyain Teteh7
,” Avi menyambung.
“Dani,
anak Pak Kapten? Jagger8 terminal
Jubleg?” tanya ibu.
(dikutip
dari cerpen Titin Pulang dari Saudi
karya Radhar Panca Dahana halaman 119)
Keterangan:
7. Teh atau teteh: kakak perempuan
8.Jagoan
atau centeng
Di tengah riuh suara mereka, aku mengedarkan
pandangan. Pada dinding bilik yang rontok separo kapurrnya, lemari makanan yang
tak berpasak lagi engselnya, lampu tempel, petromaks hitam, lantai setengah
tanah, risbang9 peot,
bilik atap bolong, daster adikku yang pucat, samping10 ibu yang kumal, dan ah.. sederet
panjang lagi pemandangan yang membutuhkan uang.
(dikutip
dari cerpen Titin Pulang dari Saudi
karya Radhar Panca Dahana halaman 119)
Keterangan:
9 tempat tidur (dari kata Belanda,
rustbank)
10
kain, kebaya, jarik (Jawa)
“Pakai
saja untuk kawin, Tin,” anjur ibuku. Aku menggeleng. Apalagi kalau calonnya
Kang Dani, cowok pangeretan15.
(dikutip
dari cerpen Titin Pulang dari Saudi
karya Radhar Panca Dahana halaman 118)
Keterangan:
15. suka meminta
2. Kumpulan cerita pendek yang
berjudul Purnama di atas Raya
“Bocah itu sangat suka menyaksikan purnama
bertengger di pucuk-pucuk meru pura.
Cahaya pura telah memesona dan menyihir mata kanak-kanaknya. Sementara warga
desa lainnya sibuk sembahyang, ia bersama kawan-kawan sebayanya bermain petak
umpet di areal pelaba pura dekat
pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Ia paling senang menyembunyikan
dirinya di balik pohon beringin satu-satunya yang tumbuh di situ. Dari sana ia leluasa menatap
purnama, tanpa mesti cemas akan tertangkap kawannya. Sebab tak seorang pun yang
berani mendekati pohon beringin yang konon angker itu. (Dikutip dari cerpen Pernama di atas Pura karya Wayan Sunarta
halaman 9)
Keterangan:
Meru
adalah salah satu bentuk bangunan yang biasanya ada dalam pura.
Pelaba
pura: tanah milik pura yang biasanya berlokasi yang tidak jauh dari areal pura
Usai persembahyangan bersama yang baru kali ini aku
lakukan sejak menetap di Jakarta, aku melihat-lihat keramaian di areal pelaba pura. Tempat itu telah berubah
menjadi arena berjualan bila ada odalan
di pura. Sejumlah pohon kelapa telah ditebangi sehingga pelaba pura menjadi lebih lapang bagi para pedagang. Kedai-kedai
kopi yang buka sampai pagi bersandingan dengan warung makanan, penjual mainan
anak-anak, penjual pakaian. Ada juga penjual kaset dan CD bajakan yang
ddikerumuni muda-mudi usai sembahyang. Mereka memutar keras-keras kaset bajakan
yang mengumandangkan lagu dangdut Inul Daratista, seolah ingin menyaingi suara loudspeaker dari dalam pura yang
mengalunkan genta pemangku dan
kidung-kidung upacara. (Dikutip dari cerpen Pernama
di atas Pura karya Wayan Sunarta halaman 13 )
Keterangan:
Odalan:
upacara besar di suatu pura, biasanya setiap 6 bulan sekali.
Pemangku:
orang yang dipilih melalui suatu proses ritual untuk menjadi pemimpin suatu
pura dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan segala jenis ritual/upacara
dalam pura tersebut.
Menurut warga desa, siang tadi tajen juga digelar di
tempat itu. kabarnya tajen akan terus digelar sampai odalan selesai. “Tajen itu
digelar mengumpulkan dana memperbaiki wantilan pura yang telah rusak,” jelas
seorang warga. Aku hanya bisa melongo mendengar penjelasan polos itu. (Dikutip
dari cerpen Pernama di atas Pura
karya Wayan Sunarta halaman 13-14)
Ket:
Tajen:
permainan judi sabungan ayam gaya Bali
Wantian:
bangunan serba guna yang merupakan bagian dari kompleks pura
Muli
Sikep yang mengayuh perahu itu kembali muncul dari balik gumpalan kabut. Dia
mengayuh perahu sangat tenang, penuh irama, penuh rasa, seakan menghayati gerak
kabut yang perlahan tersibak oleh alunan laju perahu. (Dikutip dari cerpen Muli Sikep karya Wayan Sunarta halaman
58)
Keterangan:
Muli Sikep
: sebutan khas Lampung untuk perempuan cantik/anggun
Tiyuh
di tepi danau tempat aku tinggal terdiri dari sekitar 66 kepala keluarga. Tidak
begitu banyak seperti tiyuh-tiyuh
lainnya di lembah pegunungan ini. Nuwo-nuwo
mereka sangat sederhana. Dinding nuwo
disusun dari kayu yang memang mudah didapat di hutan sekitar danau. Atapnya
juga dari pelepah kayu yang biasa dipakai atap oleh penduduk di daerah
pegunungan. (Dikutip dari cerpen Muli
Sikep karya Wayan Sunarta halaman 59)
Keterangan:
Tiyuh:
kampung
Nuwo:
rumah
Bulan bercahaya penuh, mengmbang di atas danau.
Samar-samar terdengar talo balak dan kulintang peking saling bersahutan.
Mungkin sedang ada pesta canggot bakha di
sebuah sesat di tiyuh sebelah. Oh... alangkah cerianya pesta itu. Muli Mekhanai yang ayu dan cantik-cantik
akan larut dalam kegembiraan, berebut perhatian dan berlomba kepiawaian
menyusun kata-kata dalam pisaan. Dan
tentu para bujang lelakinya akan sibuk menata gerak menunjukkan jurus-jurus
gemulai khakot. Tentu tiyuh akan riuh dengan tetaboh talo balak dan kulintang pekhing saat purnama penuh seperti malam ini. kenapa aku
tidak ke tiyuh sebelah saja menghibur
diri? Duh... kenapa pikiranku diliputi oleh Muli
Sikep itu? (Dikutip dari cerpen Muli
Sikep karya Wayan Sunarta halaman 66)
Ket:
Talo balak:
perangkat alat musik tradisional Lampung
Kulintang pekhing:
perangkat alat musik tradisional Lampung
Canggot bakha:
pesta adat muda-mudi Lampung
Sesat:
balai adat
Muli Mekhanai:
gadis yang belum menikah
Pisaan:
pantun khas Lampung
Khakot:
pencak silat khas Lampung
Lelaki yang dipanggil Tangeb menyeruak dari
kerumunan para bebotoh. Berjalan dengan santai menjinjing kisa menghampiri
Brengos yang bermuka masam. (Dikutip dari cerpen Tajen karya Wayan Sunarta halaman 103)
Keterangan:
Bebotoh:
sebutan penjudi sabungan ayam
Kisa:
tempat aduan ayam
3. Kumpulan cerita pendek yang
berjudul Sampan Zulaiha
Memang, Risda termasuk yang paling keras melarang
Haji Sudung menikah. Juga tak bosan-bosan melunakkan hati Amangboru-mertua-untuk tinggal bersamanya. Haji
Sudung angkat topi dengan keuletan menantunya itu. maka Risda adalah salah satu
alasan Haji Sudung menganggukkan kepala atas keinginan anak-anaknya. (Dikutip
dari cerpen Rumah Amangboru karya
Hasan Albana halaman 3)
Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magondang (Sehat dan Lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu
dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan
merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan
orange. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia
menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrida pernah mendapat abit
gondang. (Dikutip dari cerpen Parompa
Sadun Kiriman Ibu karya Hasan Albana halaman 19)
“Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai
karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, Ibu tak akan menikah
lagi. Sekalipun Ibu masih muda.” (Dikutip dari cerpen Parompa Sadun Kiriman Ibu karya Hasan Albana halaman 22)
Sebab, selain tak membekaskan rasa hangat, sudah
berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam. Bahkan loting—geretan sumbu berminyak
lampu—ompung Luat tak mampu memercik lagi. Dan iya, memantik seperti api ke
pucuk rokoknya serupa hasrat yang berkarat. (Dikutip dari cerpen Pasar Jongjong karya Hasan Albana
halaman 34)
Bukankah ia pemilik tanah, juga hatobangon—tetua kampung yang dihormati? Begitupun,
ia dibantu Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan
materi belajar untuk murid-murid mengaji. (Dikutip dari cerpen Pasar Jongjong karya Hasan Albana
halaman 37)
Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai
pertemuan, untuk mengaji kaum ibu, acara maulid, isr’ mi’raj, dan rapat naposo nauli bulung
(lajang-gadis kampung).pendek kata, orang-orang kampung turut
menggunakannya untuk kepentingan beragam. (Dikutip dari cerpen Pasar Jongjong karya Hasan Albana
halaman 38)
Benar, pada kesempatan kali ini hanya seekor ayam
yang bisa disajikan Deslima. Tapi jangan salah, ini ayam kampung terbaik: jara-jara! Ayam jara-jara, belum genap setahun umurnya, sekilo lebih
sedikit timbangannya. Jara-jara
jantan tentu masih lunak tunas tajinya. Sedangkan jara-jara betina belum
sekalipun menetas. Alah, kalau digulai, dagingnya lembut, manis lagi lemak,
dan tidak menerbitkan lendir. (Dikutip dari cerpen Kurik karya Hasan Albana
halaman 56)
Namun, demi menurutkan Giling, Deslima mengalah.
Kurik pun selamat dari jangkauan pisau. Ia memilih meinjam uang ke hombar balok—tetangga sebelah,
lalu membeli sekilo daging, direndang dengan kacau parau untuk lauk sahur
perdana. (Dikutip dari cerpen Pasar
Jongjong karya Hasan Albana halaman 57)
c.
Kesimpulan
Penjelasan di atas telah memberikan
pemahaman kepada kita bahwa untuk melakukan pengembangan bahasa daerah bukan
hanya dilakukan melalui pendidikan forrmal saja. Cerita pendek yang gaya
tulisannya bisa mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah
ternyata selain menambah kekhasan tulisan juga bisa mengembangkan bahasa
daerah.
Selain hal itu, budaya daerah yang
sangat beragam kiranya juga menarik untuk diangkat sebagai tema cerita pendek
sehingga memungkinkan menjalankan dua fungsi sekaligus, yakni sebagai karya
sastra yang mengangkat budaya lokal dan mengembangkan bahasa daerah ke pentas
sastra nasional. Dengan demikian, jika pun kekurangan kosakata, maka bahasa
daerah yang telah menasional itu dapat diserap menjadi bahasa Indonesia.
d.
Daftar Pustaka
Albanna, Hasan.2010. Sampan Zulaiha. Depok:
Koekoesan
PT Kompas Media Nusantara.1993. Pelajaran Mengarang:
Cerpen Pilihan Kompas 1993. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: PT Grasindo
Sunarta, Wayan.2005. Purnama di atas Pura. Jakarta:
PT Grasindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar