Blogger Layouts

Halaman

Selasa, 13 Desember 2011


MENGEMBANGKAN BAHASA DAERAH MELALUI CERITA PENDEK

 oleh: Justianus Tarigan

a.      Pendahuluan
Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa, agama, ras, dan budaya menjadi salah satu kebanggaan yang tiada ternilai harganya. Kebanggaan ini telah terpupuk sejak dulu sehingga sampai hari ini kebhinekaan itu dapat terlestari di bumi Maritim ini. Tak dipungkiri keberagaman itu juga membuat orang Indonesia terkenal hingga seluruh dunia.
Salah satu dari keberagaman budaya Indonesia yang wajib dibanggakan pula adalah bahasa. Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa sehingga bahasanya juga beragam. Bahasa Karo dari suku Karo, bahasa Batak dari suku Batak, bahasa Jawa dari suku Jawa, bahasa melayu dari suku Melayu, dan masih banyak lagi yang tak dapat disebutkan satu per satu.
Keberagaman bahasa yang ada di Indonesia tak menjadi perpecahan karena kesadaran dan kesatuan seluruh rakyat Indonesia. Ketika terjadi peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dihadiri oleh beragam suku bangsa namun menyatukan suara dan tekad yang bulat sehingga muncullah dengan kegagahan bahasa Indonesia sebagai bahasa perekat keberagaman itu. Itulah awalnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dan lebih lanjut diatur dalam UUD 1945 pasal 36.
Kelahiran bahasa nasional itu bukan berarti menyingkirkan bahasa daerah. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 40 tahun 2007 bahwa “Bahasa Daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat dari suku-suku atau kelompok‑kelompok etnis di daerah‑daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Lebih lanjut dijelaskan dalam bab II pasal 2 poin b tentang tugas kepala daerah, dinyatakan bahwa “Pelestarian dan pengembangan bahasa daerah sebagai unsur kekayaan budaya dan sebagai sumber utama pembentuk kosakata bahasa Indonesia.” Pernyataan ini mempertegas kepada kita bahwa kelangsungan bahasa daerah juga diprioritaskan.
Ironisnya pada saat sekarang ini banyak masyarakat yang kurang memperhatikan bahasa daerah. Buktinya, dibelakang namanya ada embel-embel kesukuan. Maksudnya ada marganya, tapi tidak bisa berbahasa seperti bahasa suku bangsanya. Lebih parah lagi, adanya anggapan bahwa tidak zamannya lagi menggunakan bahasa daerah. Ia akan merasa lebih gengsi jika bahasa Indonesia sebagai bahasa ibunya dan bahasa asing sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Demikian parahnya pendapat itu, ternyata ada juga yang berpikir lain. Ialah orang-orang yang gemar mempelajari bahasa daerah atau paling tidak ia berpikir bahwa bahasa daerah itu wajib dilestarikan. Sejalan dengan hal di atas, jika pandangan diarahkan ke arah sastra, maka banyak ditemui kosakata bahasa daerah yang dijadikan sebagai bumbu penyedap tulisannya. Katakanlah saja penulis sastra Hasan Albanna. Cerita pendeknya banyak mencampurkan bahasa daerah sebagai bumbu tulisannya. Demikianlah yang membuat penulis  mengangkat tema tentang sastra khususnya cerita pendek sebagai media untuk mengembangkan bahasa daerah.

a.      Bahasa Daerah Sebagai Salah Satu Gaya Pengarang Dalam Cerita Pendek

Cerita pendek yang merupakan bagian dari karya satra sering menyerap bahasa daerah sebagai alat mengungkapkan ide dalam ceritanya. Pengarang membumbui cerita pendek itu dengan bahasa daerah yang rasanya pas untuk diletakkan mewakili ide yang disampaikan. Tentunya dalam penggunaan bahasa daerah tersebut si pengarang paham betul makna kata yang diserapnya. Jika tidak maka itu sama artinya mempermalukan diri di hadapan penikmat tulisannya. Kata yang salah letak/tidak cocok digunakan bukan berarti mewakili ide yang dimaksud melainkan mengacaukannya.
Penggunaan bahasa daerah dalam sebuah cerita pendek sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang kebahasaan dan kesastraan pengarang. Waluyu (2008:19) menyatakan ketika sastrawan ingin menyampaikan pesannya, ia harus mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa tersebut harus dimengerti oleh pembacanya. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga berangkat dari bahasa natural, yakni bahasa yang digunakan berkomunikasi sehari-hari. Meskipun demikian, dengan berbekal bahasa natural tersebut, sastrawan menciptakan sendiri bahasa yang sesuai dengan sistem sastra.
Jadi, jika seorang sastrawan menggunakan bahasa daerah Karo misalnya maka bisa dipastikan ia berasal dari daerah Karo atau ia memang mengerti bahasa Karo. Tapi, perlu juga dipahami bahwa tidak selamanya bahasa suku bangsa pengarang yang muncul dalam karyanya. Bisa saja pengarang bersuku Minang, tapi karena sejak kecil ia berada di lingkungan Batak, maka yang tercermin di karyanya itu adalah bahasa Batak karena ia tidak memahami bahasa daerahnya sendiri.


b.      Analisi Penggunaan Bahasa Daerah Dalam Cerita Pendek Indonesia

Bahasa daerah seperti yang dijelaskan di atas sering dicampurkan dengan bahasa Indonesia dalam cerita pendek. Terbukti dari analisis yang dibuat ditemukan banyak bahasa daerah yang digunakan pengarang dalam karya sastranya khususnya cerita pendek. Tiga kumpulan cerita pendek yang dijadikan bahan rujukan membuktikan penggunaan bahasa daerah dalam cerita pendeknya.
Hasil analisi itu akan dijelaskan di bawah ini.
1.      Kumpulan cerita pendek yang berjudul Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan Kompas 1993

“Saat tiba buka-buka bingkisan, aku mendapat pengertian atau lebih tepatnya kebahagian lain dari makna menunggu. Untuk beberapa lama, perhatian terpecah antara aku, Titin, dan puluhan bingkisan yang masing-masing memang sudah kubungkus rapi itu. tawa, senyum dan seruan tertahan menggema. Bergantian mereka memandang dan mencium bingkisan yang mereka terima dan wajahku. “Makasih, Tin”, “Nuhun nya2, Tin,” kata mereka, atau “Tengkyu, Teh” jerit Ical, si bungsu yang mendapat jam tangan karet produksi dalam negeri Arab Saudi.”  (dikutip dari cerpen Titin Pulang dari Saudi karya Radhar Panca Dahana halaman 117)
Keterangan: Nuhun nya artinya terima kasih ya

“Banyak juga ya, Tin,” kata ibuku tersenyum.
“Bisa beli angkot4, Teh!” sambung Deden adikku.
Entong, peserkeuen wae sawah5, “ kakak lelaki ikutan.
Cenah, reg kawin deui6 ,” susul kakak perempuan, Ema.
“Husy!” Ibu membentak. Aku tersenyum.
(dikutip dari cerpen Titin Pulang dari Saudi karya Radhar Panca Dahana halaman 118)
Keterangan: 4. angkutan kota
5. Jangan, belikan saja sawah
6. katanya, hendak kawin lagi


“Kang Dani kemarin nanyain Teteh7 ,” Avi menyambung.
“Dani, anak Pak Kapten? Jagger8 terminal Jubleg?” tanya ibu.
(dikutip dari cerpen Titin Pulang dari Saudi karya Radhar Panca Dahana halaman 119)
Keterangan: 7. Teh atau teteh: kakak perempuan
8.Jagoan atau centeng

Di tengah riuh suara mereka, aku mengedarkan pandangan. Pada dinding bilik yang rontok separo kapurrnya, lemari makanan yang tak berpasak lagi engselnya, lampu tempel, petromaks hitam, lantai setengah tanah, risbang9 peot, bilik atap bolong, daster adikku yang pucat, samping10 ibu yang kumal, dan ah.. sederet panjang lagi pemandangan yang membutuhkan uang.
(dikutip dari cerpen Titin Pulang dari Saudi karya Radhar Panca Dahana halaman 119)
Keterangan:  9 tempat tidur (dari kata Belanda, rustbank)
10 kain, kebaya, jarik (Jawa)

“Pakai saja untuk kawin, Tin,” anjur ibuku. Aku menggeleng. Apalagi kalau calonnya Kang Dani, cowok pangeretan15.
(dikutip dari cerpen Titin Pulang dari Saudi karya Radhar Panca Dahana halaman 118)
Keterangan: 15. suka meminta

2.      Kumpulan cerita pendek yang berjudul Purnama di atas Raya

“Bocah itu sangat suka menyaksikan purnama bertengger di pucuk-pucuk meru pura. Cahaya pura telah memesona dan menyihir mata kanak-kanaknya. Sementara warga desa lainnya sibuk sembahyang, ia bersama kawan-kawan sebayanya bermain petak umpet di areal pelaba pura dekat pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Ia paling senang menyembunyikan dirinya di balik pohon beringin satu-satunya yang  tumbuh di situ. Dari sana ia leluasa menatap purnama, tanpa mesti cemas akan tertangkap kawannya. Sebab tak seorang pun yang berani mendekati pohon beringin yang konon angker itu. (Dikutip dari cerpen Pernama di atas Pura karya Wayan Sunarta halaman 9)
Keterangan:
Meru adalah salah satu bentuk bangunan yang biasanya ada dalam pura.
Pelaba pura: tanah milik pura yang biasanya berlokasi yang tidak jauh dari areal pura

Usai persembahyangan bersama yang baru kali ini aku lakukan sejak menetap di Jakarta, aku melihat-lihat keramaian di areal pelaba pura. Tempat itu telah berubah menjadi arena berjualan bila ada odalan di pura. Sejumlah pohon kelapa telah ditebangi sehingga pelaba pura menjadi lebih lapang bagi para pedagang. Kedai-kedai kopi yang buka sampai pagi bersandingan dengan warung makanan, penjual mainan anak-anak, penjual pakaian. Ada juga penjual kaset dan CD bajakan yang ddikerumuni muda-mudi usai sembahyang. Mereka memutar keras-keras kaset bajakan yang mengumandangkan lagu dangdut Inul Daratista, seolah ingin menyaingi suara loudspeaker dari dalam pura yang mengalunkan genta pemangku dan kidung-kidung upacara. (Dikutip dari cerpen Pernama di atas Pura karya Wayan Sunarta halaman 13 )
 Keterangan:
Odalan: upacara besar di suatu pura, biasanya setiap 6 bulan sekali.
Pemangku: orang yang dipilih melalui suatu proses ritual untuk menjadi pemimpin suatu pura dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan segala jenis ritual/upacara dalam pura tersebut.

Menurut warga desa, siang tadi tajen juga digelar di tempat itu. kabarnya tajen akan terus digelar sampai odalan selesai. “Tajen itu digelar mengumpulkan dana memperbaiki wantilan pura yang telah rusak,” jelas seorang warga. Aku hanya bisa melongo mendengar penjelasan polos itu. (Dikutip dari cerpen Pernama di atas Pura karya Wayan Sunarta halaman 13-14)
Ket:
Tajen: permainan judi sabungan ayam gaya Bali
Wantian: bangunan serba guna yang merupakan bagian dari kompleks pura

Muli Sikep yang mengayuh perahu itu kembali muncul dari balik gumpalan kabut. Dia mengayuh perahu sangat tenang, penuh irama, penuh rasa, seakan menghayati gerak kabut yang perlahan tersibak oleh alunan laju perahu. (Dikutip dari cerpen Muli Sikep karya Wayan Sunarta halaman 58)
Keterangan:
Muli Sikep : sebutan khas Lampung untuk perempuan cantik/anggun

Tiyuh di tepi danau tempat aku tinggal terdiri dari sekitar 66 kepala keluarga. Tidak begitu banyak seperti tiyuh-tiyuh lainnya di lembah pegunungan ini. Nuwo-nuwo mereka sangat sederhana. Dinding nuwo disusun dari kayu yang memang mudah didapat di hutan sekitar danau. Atapnya juga dari pelepah kayu yang biasa dipakai atap oleh penduduk di daerah pegunungan. (Dikutip dari cerpen Muli Sikep karya Wayan Sunarta halaman 59)
Keterangan:
Tiyuh: kampung
Nuwo: rumah

Bulan bercahaya penuh, mengmbang di atas danau. Samar-samar terdengar talo balak dan kulintang peking saling bersahutan. Mungkin sedang ada pesta canggot bakha di sebuah sesat di tiyuh sebelah. Oh... alangkah cerianya pesta itu. Muli Mekhanai yang ayu dan cantik-cantik akan larut dalam kegembiraan, berebut perhatian dan berlomba kepiawaian menyusun kata-kata dalam pisaan. Dan tentu para bujang lelakinya akan sibuk menata gerak menunjukkan jurus-jurus gemulai khakot. Tentu tiyuh akan riuh dengan tetaboh talo balak dan kulintang pekhing saat purnama penuh seperti malam ini. kenapa aku tidak ke tiyuh sebelah saja menghibur diri? Duh... kenapa pikiranku diliputi oleh Muli Sikep itu? (Dikutip dari cerpen Muli Sikep karya Wayan Sunarta halaman 66)
Ket:
Talo balak: perangkat alat musik tradisional Lampung
Kulintang pekhing: perangkat alat musik tradisional Lampung
Canggot bakha: pesta adat muda-mudi Lampung
Sesat: balai adat
Muli Mekhanai: gadis yang belum menikah
Pisaan:  pantun khas Lampung
Khakot: pencak silat khas Lampung

Lelaki yang dipanggil Tangeb menyeruak dari kerumunan para bebotoh. Berjalan dengan santai menjinjing kisa menghampiri Brengos yang bermuka masam. (Dikutip dari cerpen Tajen karya Wayan Sunarta halaman 103)

Keterangan:
Bebotoh: sebutan penjudi sabungan ayam
Kisa: tempat aduan ayam



3.      Kumpulan cerita pendek yang berjudul Sampan Zulaiha

Memang, Risda termasuk yang paling keras melarang Haji Sudung menikah. Juga tak bosan-bosan melunakkan hati Amangboru-mertua-untuk tinggal bersamanya. Haji Sudung angkat topi dengan keuletan menantunya itu. maka Risda adalah salah satu alasan Haji Sudung menganggukkan kepala atas keinginan anak-anaknya. (Dikutip dari cerpen Rumah Amangboru karya Hasan Albana halaman 3)

Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magondang (Sehat dan Lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan orange. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrida pernah mendapat abit gondang. (Dikutip dari cerpen Parompa Sadun Kiriman Ibu karya Hasan Albana halaman 19)

“Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, Ibu tak akan menikah lagi. Sekalipun Ibu masih muda.” (Dikutip dari cerpen Parompa Sadun Kiriman Ibu karya Hasan Albana halaman 22)

Sebab, selain tak membekaskan rasa hangat, sudah berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam. Bahkan loting—geretan sumbu berminyak lampu—ompung Luat tak mampu memercik lagi. Dan iya, memantik seperti api ke pucuk rokoknya serupa hasrat yang berkarat. (Dikutip dari cerpen Pasar Jongjong karya Hasan Albana halaman 34)

Bukankah ia pemilik tanah, juga hatobangon—tetua kampung yang dihormati? Begitupun, ia dibantu Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan materi belajar untuk murid-murid mengaji. (Dikutip dari cerpen Pasar Jongjong karya Hasan Albana halaman 37)

Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai pertemuan, untuk mengaji kaum ibu, acara maulid, isr’ mi’raj, dan rapat naposo nauli bulung (lajang-gadis kampung).pendek kata, orang-orang kampung turut menggunakannya untuk kepentingan beragam. (Dikutip dari cerpen Pasar Jongjong karya Hasan Albana halaman 38)
Benar, pada kesempatan kali ini hanya seekor ayam yang bisa disajikan Deslima. Tapi jangan salah, ini ayam kampung terbaik: jara-jara! Ayam jara-jara, belum genap setahun umurnya, sekilo lebih sedikit timbangannya. Jara-jara jantan tentu masih lunak tunas tajinya. Sedangkan jara-jara betina belum sekalipun menetas. Alah, kalau digulai, dagingnya lembut, manis lagi lemak, dan tidak menerbitkan lendir. (Dikutip dari cerpen Kurik  karya Hasan Albana halaman 56)

Namun, demi menurutkan Giling, Deslima mengalah. Kurik pun selamat dari jangkauan pisau. Ia memilih meinjam uang ke hombar balok—tetangga sebelah, lalu membeli sekilo daging, direndang dengan kacau parau untuk lauk sahur perdana. (Dikutip dari cerpen Pasar Jongjong karya Hasan Albana halaman 57)

c.      Kesimpulan
Penjelasan di atas telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa untuk melakukan pengembangan bahasa daerah bukan hanya dilakukan melalui pendidikan forrmal saja. Cerita pendek yang gaya tulisannya bisa mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah ternyata selain menambah kekhasan tulisan juga bisa mengembangkan bahasa daerah.
Selain hal itu, budaya daerah yang sangat beragam kiranya juga menarik untuk diangkat sebagai tema cerita pendek sehingga memungkinkan menjalankan dua fungsi sekaligus, yakni sebagai karya sastra yang mengangkat budaya lokal dan mengembangkan bahasa daerah ke pentas sastra nasional. Dengan demikian, jika pun kekurangan kosakata, maka bahasa daerah yang telah menasional itu dapat diserap menjadi bahasa Indonesia.

d.      Daftar Pustaka

Albanna, Hasan.2010. Sampan Zulaiha. Depok: Koekoesan
PT Kompas Media Nusantara.1993. Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan Kompas 1993. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo
Sunarta, Wayan.2005. Purnama di atas Pura. Jakarta: PT Grasindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar