Mengulum Kata
oleh Justianus Tarigan
Suatu pagi di tempat piket sebuah sekolah aku duduk dengan
buku di hadapanku. Hari itu aku bertindak sebagai petugas piket. Karena belum
ada pekerjaan yang dapat kulakukan—katakan saja melayani siapa pun—aku
menikmati sajian buku yang sengaja kubawa setiap harinya. La Tahzan judulnya.
Tak kusadari seseorang duduk tidak jauh dari tempat aku
duduk. Dengan posisi duduk yang kukira sangat santai, dia diam saja. Tanpa
sengaja kutolehkan ke arahnya karena kebetulan ada orang yang lewat. Melihat
dia di sana aku pun menegurnya.
“Selamat pagi Pak.” Aku sedikit menunjukkan keramahanku. Tak
tanggung-tanggung senyum tulus pun kukembangkan di wajah.
“Selamat pagi.” Dia menjawab salam hangatku berikut dengan
senyum kecil di sudut bibirnya.
“Petugas piket ya hari ini?” dia bertanya.
Kupikir itu hanya basa-basi. Sudah jelas sekali aku duduk di
meja piket ditambah ada tulisan di atas meja “Guru Piket”. Walau begitu aku
tetap menjawab.
“Iya Pak. Hari ini giliran saya yang bertugas.” Jawabku
seperlunya. Karena merasa sungkan kepadanya, kututup buku yang dari tadi
kubaca. Kuarahkan pandanganku dan perhatianku seutuhnya pada calon teman
berbincangku ini.
Jujur ini adalah perbincanganku pertama dengan guru-guru di
sini. Maksudku perbincangan pertama yang nonfomal karena sebelumnya sudah ada
perbincangan formal dengan kepala sekolah berikut dengan beberapa jajaran di
sekolah ini.
Sepertinya aku tidak salah menutup bukuku tadi. Mengetahui
responsku baik untuk diajak berbincang-bincang, ditodongnya aku dengan sejumlah
pertanyaan.
“Apa yang Kamu rasakan selama beberapa hari di sekolah ini?”
katanya.
Aku tersenyum. Ini bukan pertanyaan berat pikirku. Namun, di
dalam hati aku mengingat bahwa lawan bicara yang bertanya tentang sebuah
perspektif kadang menjerat kita dengan jawaban sendiri. Dan aku tak mau
jawabanku menghancurkan diriku sendiri. Itu juga mengenai kekonsistenan diri
pada sebuah pandangan.
“Saya senang Pak.” Jawabku singkat. “Saya senang dengan
kondisi sekolah yang peraturannya mengikat dan teratur pada segala lini di
sekolah.”
“O.. begitu ya.” Katanya setelah mendengar respons yang
kuberikan.
Aku melanjutkan “Saya juga suka dengan siswanya yang ramah.
Maksudku, siswa yang kutemui semuanya ramah. Selain itu, saya suka sekolah yang
banyak kegiatan ekstrakurikulernya. Jadi, siswa tidak bosan hanya belajar
materi sepanjang hari. Karena sebelumnya saya pernah mengajar di sebuah sekolah
yang ekstrakurikulernya banyak dan siswanya nampak dapat mengembangkan minat
dan bakatnya pada kegiatan ekstra tersebut”. Kali ini jawabanku agak panjang.
Kuperhatikan lawan bicaraku hanya manggut-manggut
mendengarkan. Namun bagiku, yang kusampaikan adalah benar adanya. Tidak karena
aku praktik di sini sehingga aku memuji sekolah ini dengan setinggi langit.
Anggukannya juga kuartikan bahwa yang kusampaikan merupakan kebenaran yang
bukan dibuat-buat.
“kamu kan orang Medan. Mana lebih dekat ke Aceh atau ke
Padang?” kali ini dia bertanya di luar dari konteks pembicaraan sebelumnya.
“Benar Pak. Tapi saya belum pernah ke Padang.” Saya mengakui
jujur. “Tapi kalau dari rumah orangtua saya ke Aceh hanya dua puluh menit.
Orangtua saya tinggal di perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh Tenggara. Tapi
kalau ke Banda Aceh, lumayan jauh Pak. Maksud saya melalui jalur darat.”
“Ada berapa jam kira-kira?” potongnya.
“Ya. Dua belas jam-an Pak.”
“Jauh sekali ya” katanya.
Kali ini aku tak berkomentar.
“Begitulah keberagaman kita ya” katanya. “Tapi menurut saya”
katanya menyambungkan “Kita tidak akan pernah maju kalau kita terus
mempermasalahkan soal agama dan keyakinan. Itu kan ranah pribadi. Setiap orang
memiliki pandangan yang berbeda terhadap hal ini. Orang sudah sampai ke Bulan
sedangkan kita masih mempermasalahkan hal ini.” Dia sepertinya membawa
perbincangan kami jauh di luar yang kuduga. Suasana pagi yang masih semangat
terlihat pada pernyataannya kali ini.
Ini mungkin juga ada pengaruhnya dari isu yang sendang
berkembang di tengah masyarakat pikirku. Sebagai guru aku mengapresiasi beliau
mengikuti perkembangan berita tanah air. Di sisi lain aku juga berpikir bahwa semoga
dia bisa membaca dan memahami berita dengan jeli.
Aku pada saat itu tak mengomentari pendapat dia. Kalau nanti
kuperpanjang bahkan tak ada juga kesimpulannya. Untuk beberapa saat aku diam.
Diamku tidak berarti aku tak mampu menjawab juga. Toh kalau dia punya pandangan
berarti aku juga bisa memiliki pemikiran. Mengenai sependapat dan beda pendapat
itu tergantung cara menyikapinya. Tapi, karena pandanganku sedikit berbeda
dengannya, dan daripada menimbulkan ketegangan, aku lebih baik memendam
jawabanku saja.
Akhirnya, entah karena apa dia pamit.
“Baiklah. Sampai di sini dulu cerita kita. Aku ke sana dulu
ya.” Dia menunjuk ke arah yang aku tak paham maksudnya. Ke kantin atau ke
ruangan guru atau ke kelas. Samar. Atau boleh jadi, itu hanya jurus perpisahan.
Katakan saja basa basi.
Sepeninggalnya aku kembali membuka lembaran buku yang tadi
kuangguri. Buat apa bersedih kata buku ini pikirku kembali. La tahzan.
Kubuka lembaran yang sudah kuberi tali pembatas. Aku penuh
khusyuk membacanya. Terlelap pada lembaran-lembaran yang penuh inspirasi.
123
Di rumah saat aku ingin menyuci pakaian, tiba-tiba terbersit
kembali bincangku dengan guru yang kemarin di meja piket. “Orang sudah ke Bulan
sedangkan kita masih begini-begini saja mempermasalahkan hal ini”. Kalimatnya
kembali terngiang.
Otakku kubiarkan mencerna kalimat itu. Tanganku dengan sigap
menyikat bagian baju yang kurasa perlu disikat. Setelah itu berpindah pada baju
yang lain. Tak terasa cucianku hampir selesai.
“Memangnya orang pergi ke Bulan mau ngapain?” tiba-tiba
muncul pertanyaan itu.
“Bukankah ujung-ujungnya nanti yang didapat adalah kemegahan
dan kebesaran Sang Pencipta? Kalau pun ditemukan hal-hal luar biasa lainnya dan
itu pasti hanya untuk kelangsungan hidup manusia. Jadi sangat memalukankah
kalau sebuah bangsa tidak pernah sampai ke Bulan?”
Ah otakku sungguh berpikir dan mencernanya sampai aku
sendiri tak mengetahui maksud itu.
“Maka orang-orang yang mempermalasahkan keagamaan itu adalah
orang-orang yang mengetahui bahwa agama atau ketuhanan itu adalah yang paling
penting. Ini soal akidah. Bagi seorang muslim yang paham agamanya maka dia
pasti merasa tersinggung bahwa untuk apa mempermasalahkan agama. Bagi muslim
yang tahu, agama dan ketuhanan adalah jalan kehidupannya. Dalam konteks orang
sudah sampai ke Bulan sendiri adalah tidak lepas dari ketuhanan. Maksudnya,
kalau pun orang sudah sampai ke Bulan lalu apa yang diperolehnya? Bukankah
salah satunya adalah rasa takjub akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan
sebuah benda yang luar biasa. Dan dari sana juga dia akan melihat bagaimana
keluarbiasaan bumi dipandang. Dan itu semua akan bermuara pada satu hal.
Tuhanlah yang menciptakan itu semua. Maka sepatutnyalah manusia tunduk dan
patuh kepada Tuhan. Dan jalan kebenaran menuju Tuhan adalah yang paling sering
diperdebatkan. Dan sebagai seorang muslim, dia akan menjawab sesungguhnya hanya
Islamlah agama yang ada di sisi Allah SWT.”
Otakku memberi jawaban atas semua yang dipikirkannya. Aku
sekali lagi berpikir dan bersyukur “Otak yang kecil yang bersarang di kepalaku
ini adalah salah satu mahakarya Tuhan yang menuntun setiap orang menuju jalan
kebenaran. Tentunya dengan arahan dari semua pemberi. Allah SWT.”
selesai
Jinengdalem, 30 Juli 2017