Blogger Layouts

Halaman

Kamis, 23 November 2017

cerpen



Mengulum Kata 
oleh Justianus Tarigan




Suatu pagi di tempat piket sebuah sekolah aku duduk dengan buku di hadapanku. Hari itu aku bertindak sebagai petugas piket. Karena belum ada pekerjaan yang dapat kulakukan—katakan saja melayani siapa pun—aku menikmati sajian buku yang sengaja kubawa setiap harinya. La Tahzan judulnya.

Tak kusadari seseorang duduk tidak jauh dari tempat aku duduk. Dengan posisi duduk yang kukira sangat santai, dia diam saja. Tanpa sengaja kutolehkan ke arahnya karena kebetulan ada orang yang lewat. Melihat dia di sana aku pun menegurnya. 

“Selamat pagi Pak.” Aku sedikit menunjukkan keramahanku. Tak tanggung-tanggung senyum tulus pun kukembangkan di wajah.

“Selamat pagi.” Dia menjawab salam hangatku berikut dengan senyum kecil di sudut bibirnya.

“Petugas piket ya hari ini?” dia bertanya.

Kupikir itu hanya basa-basi. Sudah jelas sekali aku duduk di meja piket ditambah ada tulisan di atas meja “Guru Piket”. Walau begitu aku tetap menjawab. 

“Iya Pak. Hari ini giliran saya yang bertugas.” Jawabku seperlunya. Karena merasa sungkan kepadanya, kututup buku yang dari tadi kubaca. Kuarahkan pandanganku dan perhatianku seutuhnya pada calon teman berbincangku  ini.

Jujur ini adalah perbincanganku pertama dengan guru-guru di sini. Maksudku perbincangan pertama yang nonfomal karena sebelumnya sudah ada perbincangan formal dengan kepala sekolah berikut dengan beberapa jajaran di sekolah ini.

Sepertinya aku tidak salah menutup bukuku tadi. Mengetahui responsku baik untuk diajak berbincang-bincang, ditodongnya aku dengan sejumlah pertanyaan.

“Apa yang Kamu rasakan selama beberapa hari di sekolah ini?” katanya.

Aku tersenyum. Ini bukan pertanyaan berat pikirku. Namun, di dalam hati aku mengingat bahwa lawan bicara yang bertanya tentang sebuah perspektif kadang menjerat kita dengan jawaban sendiri. Dan aku tak mau jawabanku menghancurkan diriku sendiri. Itu juga mengenai kekonsistenan diri pada sebuah pandangan.

“Saya senang Pak.” Jawabku singkat. “Saya senang dengan kondisi sekolah yang peraturannya mengikat dan teratur pada segala lini di sekolah.”

“O.. begitu ya.” Katanya setelah mendengar respons yang kuberikan.

Aku melanjutkan “Saya juga suka dengan siswanya yang ramah. Maksudku, siswa yang kutemui semuanya ramah. Selain itu, saya suka sekolah yang banyak kegiatan ekstrakurikulernya. Jadi, siswa tidak bosan hanya belajar materi sepanjang hari. Karena sebelumnya saya pernah mengajar di sebuah sekolah yang ekstrakurikulernya banyak dan siswanya nampak dapat mengembangkan minat dan bakatnya pada kegiatan ekstra tersebut”. Kali ini jawabanku agak panjang. 

Kuperhatikan lawan bicaraku hanya manggut-manggut mendengarkan. Namun bagiku, yang kusampaikan adalah benar adanya. Tidak karena aku praktik di sini sehingga aku memuji sekolah ini dengan setinggi langit. Anggukannya juga kuartikan bahwa yang kusampaikan merupakan kebenaran yang bukan dibuat-buat.

“kamu kan orang Medan. Mana lebih dekat ke Aceh atau ke Padang?” kali ini dia bertanya di luar dari konteks pembicaraan sebelumnya.

“Benar Pak. Tapi saya belum pernah ke Padang.” Saya mengakui jujur. “Tapi kalau dari rumah orangtua saya ke Aceh hanya dua puluh menit. Orangtua saya tinggal di perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh Tenggara. Tapi kalau ke Banda Aceh, lumayan jauh Pak. Maksud saya melalui jalur darat.”

“Ada berapa jam kira-kira?” potongnya.

“Ya. Dua belas jam-an Pak.”

“Jauh sekali ya” katanya.

Kali ini aku tak berkomentar. 

“Begitulah keberagaman kita ya” katanya. “Tapi menurut saya” katanya menyambungkan “Kita tidak akan pernah maju kalau kita terus mempermasalahkan soal agama dan keyakinan. Itu kan ranah pribadi. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap hal ini. Orang sudah sampai ke Bulan sedangkan kita masih mempermasalahkan hal ini.” Dia sepertinya membawa perbincangan kami jauh di luar yang kuduga. Suasana pagi yang masih semangat terlihat pada pernyataannya kali ini. 

Ini mungkin juga ada pengaruhnya dari isu yang sendang berkembang di tengah masyarakat pikirku. Sebagai guru aku mengapresiasi beliau mengikuti perkembangan berita tanah air. Di sisi lain aku juga berpikir bahwa semoga dia bisa membaca dan memahami berita dengan jeli. 

Aku pada saat itu tak mengomentari pendapat dia. Kalau nanti kuperpanjang bahkan tak ada juga kesimpulannya. Untuk beberapa saat aku diam. Diamku tidak berarti aku tak mampu menjawab juga. Toh kalau dia punya pandangan berarti aku juga bisa memiliki pemikiran. Mengenai sependapat dan beda pendapat itu tergantung cara menyikapinya. Tapi, karena pandanganku sedikit berbeda dengannya, dan daripada menimbulkan ketegangan, aku lebih baik memendam jawabanku saja.
Akhirnya, entah karena apa dia pamit. 

“Baiklah. Sampai di sini dulu cerita kita. Aku ke sana dulu ya.” Dia menunjuk ke arah yang aku tak paham maksudnya. Ke kantin atau ke ruangan guru atau ke kelas. Samar. Atau boleh jadi, itu hanya jurus perpisahan. Katakan saja basa basi.

Sepeninggalnya aku kembali membuka lembaran buku yang tadi kuangguri. Buat apa bersedih kata buku ini pikirku kembali. La tahzan.

Kubuka lembaran yang sudah kuberi tali pembatas. Aku penuh khusyuk membacanya. Terlelap pada lembaran-lembaran yang penuh inspirasi.

123

Di rumah saat aku ingin menyuci pakaian, tiba-tiba terbersit kembali bincangku dengan guru yang kemarin di meja piket. “Orang sudah ke Bulan sedangkan kita masih begini-begini saja mempermasalahkan hal ini”. Kalimatnya kembali terngiang. 

Otakku kubiarkan mencerna kalimat itu. Tanganku dengan sigap menyikat bagian baju yang kurasa perlu disikat. Setelah itu berpindah pada baju yang lain. Tak terasa cucianku hampir selesai.

“Memangnya orang pergi ke Bulan mau ngapain?” tiba-tiba muncul pertanyaan itu.

“Bukankah ujung-ujungnya nanti yang didapat adalah kemegahan dan kebesaran Sang Pencipta? Kalau pun ditemukan hal-hal luar biasa lainnya dan itu pasti hanya untuk kelangsungan hidup manusia. Jadi sangat memalukankah kalau sebuah bangsa tidak pernah sampai ke Bulan?”
Ah otakku sungguh berpikir dan mencernanya sampai aku sendiri tak mengetahui maksud itu.

“Maka orang-orang yang mempermalasahkan keagamaan itu adalah orang-orang yang mengetahui bahwa agama atau ketuhanan itu adalah yang paling penting. Ini soal akidah. Bagi seorang muslim yang paham agamanya maka dia pasti merasa tersinggung bahwa untuk apa mempermasalahkan agama. Bagi muslim yang tahu, agama dan ketuhanan adalah jalan kehidupannya. Dalam konteks orang sudah sampai ke Bulan sendiri adalah tidak lepas dari ketuhanan. Maksudnya, kalau pun orang sudah sampai ke Bulan lalu apa yang diperolehnya? Bukankah salah satunya adalah rasa takjub akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan sebuah benda yang luar biasa. Dan dari sana juga dia akan melihat bagaimana keluarbiasaan bumi dipandang. Dan itu semua akan bermuara pada satu hal. Tuhanlah yang menciptakan itu semua. Maka sepatutnyalah manusia tunduk dan patuh kepada Tuhan. Dan jalan kebenaran menuju Tuhan adalah yang paling sering diperdebatkan. Dan sebagai seorang muslim, dia akan menjawab sesungguhnya hanya Islamlah agama yang ada di sisi Allah SWT.”
Otakku memberi jawaban atas semua yang dipikirkannya. Aku sekali lagi berpikir dan bersyukur “Otak yang kecil yang bersarang di kepalaku ini adalah salah satu mahakarya Tuhan yang menuntun setiap orang menuju jalan kebenaran. Tentunya dengan arahan dari semua pemberi. Allah SWT.”

 selesai

Jinengdalem, 30 Juli 2017


Antara Totalitas, Estetika, dan Etika
oleh Justianus Tarigan


Pada tahun 2012 lalu saya pernah mengikuti satu forum pertemuan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Surabaya. Salah satu agenda yang harus diikuti oleh peserta adalah pertunjukan sastra yang dibawakan oleh masing-masing peserta yang hadir. Yang hadir berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan pada malam hari.
Saya pada saat itu sangat bersemangat sekali ingin melihat kebolehan peserta lain dalam bersastra. Saya tidak terlalu pintar dalam bersastra. Untuk itu, saya mengambil posisi terbilang dekat dengan panggung. 

Menarik memang saat kegiatan itu mulai berlangsung. Dengan bergilir, masing-masing peserta mewakili kampusnya unjuk kebolehan di panggung. Ada yang kocak caranya. Ada yang serius dan mengundang kesan mistis. Ada pula yang lari dari tema acara—bersastra—eh dia bernyanyi. Semuanya bagi saya tidak masalah. Toh, ini malam bersastra. Anggap saja dia bernyanyi adalah bagian musikalisasi puisi.

Akhirnya tiba saatnya penampilan teater. Seperti biasa, panggung menjadi gelap terlebih dahulu. Kemudian salah satu lampu dihidupkan. Diiringi oleh musik, pemain mulai menampilkan kebolehannya berteater. Dan tak pernah kuduga, salah satu personel teater tersebut muncul dari belakang kami—penonton. Dengan bertelanjangkan dada dan bertopeng—dia lelaki—dan sehelai kain yang sangat pendek terikat asalan di antara pusat dan pahanya. Dia mulai bergerak seperti kesusahan ke panggung. Dalam peran seperti ini saya dan penonton yang lain masih belum bisa menebak apakah yang akan dilakukan oleh pemeran. Suara penonton pun senyap. Hanya suara music pengiring yang terdengar. Sampai di atas panggung dia dengan berani melepaskan kain yang menempel di antara pusat dan pahanya tadi sambil berteriak sebuah kata yang pada saat itu tidak jelas lagi kudengar karena sontak disahuti oleh teriakan para mahasiswi yang hadir saat itu. Dan tak berselang lama, adegan teater pun berakhir.

Lama saya berpikir apakah yang sedang diteatrikalkan oleh pemeran. Dalam benak saya, barangkali dia mengangkat isu-isu gender. Tapi, entah mengapa, hati saya mengatakan “Apakah tidak ada lagi cara lain yang dapat digunakan selain seperti itu?” Walau aksi teater tadi kesannya sedikit vulgar, hampir seluruh peserta merekam kegiatan itu. Dan kalau boleh saya katakan, memang penampilan teatrikal itu tadi yang paling mengundang perhatian lebih di antara yang lain karena kemasannya yang menarik. 

Dalam perjalanan pulang, saya tetap berpikir “Apa yang membuat saya terkesan sekaligus kurang berterima di hati saya dari teater itu?” Setelah saya telisik, benar bahwa pemerannya amat total dalam berteater dan di sanalah letak salah satu estetikanya. Di sisi lain, di sana pulalah terdapat kekurangan etika sehingga hati saya secara pribadi mengatakan untuk menolaknya.