Blogger Layouts

Halaman

Kamis, 23 November 2017



Antara Totalitas, Estetika, dan Etika
oleh Justianus Tarigan


Pada tahun 2012 lalu saya pernah mengikuti satu forum pertemuan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Surabaya. Salah satu agenda yang harus diikuti oleh peserta adalah pertunjukan sastra yang dibawakan oleh masing-masing peserta yang hadir. Yang hadir berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan pada malam hari.
Saya pada saat itu sangat bersemangat sekali ingin melihat kebolehan peserta lain dalam bersastra. Saya tidak terlalu pintar dalam bersastra. Untuk itu, saya mengambil posisi terbilang dekat dengan panggung. 

Menarik memang saat kegiatan itu mulai berlangsung. Dengan bergilir, masing-masing peserta mewakili kampusnya unjuk kebolehan di panggung. Ada yang kocak caranya. Ada yang serius dan mengundang kesan mistis. Ada pula yang lari dari tema acara—bersastra—eh dia bernyanyi. Semuanya bagi saya tidak masalah. Toh, ini malam bersastra. Anggap saja dia bernyanyi adalah bagian musikalisasi puisi.

Akhirnya tiba saatnya penampilan teater. Seperti biasa, panggung menjadi gelap terlebih dahulu. Kemudian salah satu lampu dihidupkan. Diiringi oleh musik, pemain mulai menampilkan kebolehannya berteater. Dan tak pernah kuduga, salah satu personel teater tersebut muncul dari belakang kami—penonton. Dengan bertelanjangkan dada dan bertopeng—dia lelaki—dan sehelai kain yang sangat pendek terikat asalan di antara pusat dan pahanya. Dia mulai bergerak seperti kesusahan ke panggung. Dalam peran seperti ini saya dan penonton yang lain masih belum bisa menebak apakah yang akan dilakukan oleh pemeran. Suara penonton pun senyap. Hanya suara music pengiring yang terdengar. Sampai di atas panggung dia dengan berani melepaskan kain yang menempel di antara pusat dan pahanya tadi sambil berteriak sebuah kata yang pada saat itu tidak jelas lagi kudengar karena sontak disahuti oleh teriakan para mahasiswi yang hadir saat itu. Dan tak berselang lama, adegan teater pun berakhir.

Lama saya berpikir apakah yang sedang diteatrikalkan oleh pemeran. Dalam benak saya, barangkali dia mengangkat isu-isu gender. Tapi, entah mengapa, hati saya mengatakan “Apakah tidak ada lagi cara lain yang dapat digunakan selain seperti itu?” Walau aksi teater tadi kesannya sedikit vulgar, hampir seluruh peserta merekam kegiatan itu. Dan kalau boleh saya katakan, memang penampilan teatrikal itu tadi yang paling mengundang perhatian lebih di antara yang lain karena kemasannya yang menarik. 

Dalam perjalanan pulang, saya tetap berpikir “Apa yang membuat saya terkesan sekaligus kurang berterima di hati saya dari teater itu?” Setelah saya telisik, benar bahwa pemerannya amat total dalam berteater dan di sanalah letak salah satu estetikanya. Di sisi lain, di sana pulalah terdapat kekurangan etika sehingga hati saya secara pribadi mengatakan untuk menolaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar