Antara Totalitas, Estetika, dan Etika
oleh Justianus Tarigan
Pada tahun 2012 lalu saya pernah mengikuti satu forum
pertemuan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Surabaya. Salah satu
agenda yang harus diikuti oleh peserta adalah pertunjukan sastra yang dibawakan
oleh masing-masing peserta yang hadir. Yang hadir berasal dari berbagai perguruan
tinggi di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan pada malam hari.
Saya pada saat itu sangat bersemangat sekali ingin melihat
kebolehan peserta lain dalam bersastra. Saya tidak terlalu pintar dalam
bersastra. Untuk itu, saya mengambil posisi terbilang dekat dengan panggung.
Menarik memang saat kegiatan itu mulai berlangsung. Dengan bergilir,
masing-masing peserta mewakili kampusnya unjuk kebolehan di panggung. Ada yang
kocak caranya. Ada yang serius dan mengundang kesan mistis. Ada pula yang lari
dari tema acara—bersastra—eh dia bernyanyi. Semuanya bagi saya tidak masalah. Toh,
ini malam bersastra. Anggap saja dia bernyanyi adalah bagian musikalisasi
puisi.
Akhirnya tiba saatnya penampilan teater. Seperti biasa,
panggung menjadi gelap terlebih dahulu. Kemudian salah satu lampu dihidupkan. Diiringi
oleh musik, pemain mulai menampilkan kebolehannya berteater. Dan tak pernah
kuduga, salah satu personel teater tersebut muncul dari belakang kami—penonton.
Dengan bertelanjangkan dada dan bertopeng—dia lelaki—dan sehelai kain yang
sangat pendek terikat asalan di antara pusat dan pahanya. Dia mulai bergerak
seperti kesusahan ke panggung. Dalam peran seperti ini saya dan penonton yang
lain masih belum bisa menebak apakah yang akan dilakukan oleh pemeran. Suara penonton
pun senyap. Hanya suara music pengiring yang terdengar. Sampai di atas panggung
dia dengan berani melepaskan kain yang menempel di antara pusat dan pahanya
tadi sambil berteriak sebuah kata yang pada saat itu tidak jelas lagi kudengar
karena sontak disahuti oleh teriakan para mahasiswi yang hadir saat itu. Dan tak
berselang lama, adegan teater pun berakhir.
Lama saya berpikir apakah yang sedang diteatrikalkan oleh
pemeran. Dalam benak saya, barangkali dia mengangkat isu-isu gender. Tapi,
entah mengapa, hati saya mengatakan “Apakah tidak ada lagi cara lain yang dapat
digunakan selain seperti itu?” Walau aksi teater tadi kesannya sedikit vulgar,
hampir seluruh peserta merekam kegiatan itu. Dan kalau boleh saya katakan,
memang penampilan teatrikal itu tadi yang paling mengundang perhatian lebih di
antara yang lain karena kemasannya yang menarik.
Dalam perjalanan pulang, saya tetap berpikir “Apa yang
membuat saya terkesan sekaligus kurang berterima di hati saya dari teater itu?”
Setelah saya telisik, benar bahwa pemerannya amat total dalam berteater dan di
sanalah letak salah satu estetikanya. Di sisi lain, di sana pulalah terdapat
kekurangan etika sehingga hati saya secara pribadi mengatakan untuk menolaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar