Apresiasi Novel Doa Cinta: Doa Ibu dalam Badai Cinta dan Perjuangan
Karya Sirin M. K.
oleh:
Justianus Tarigan
BAB I
PENDAHULUAN
Hakikat Apresiasi Novel
Apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007 : 62) adalah “penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu,” sedangkan “mengapresiasi adalah melakukan pengamatan, penilaian, dan penghargaan (misal terhadap karya seni).” “Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 788). Aminudin (1987 : 34) mengemukakan bahwa apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Apresiasi dikembangkan dengan menumbuhkan sikap sungguh-sungguh dan melaksanakan kegiatan apresiasi sebagai bagian hidupnya dan sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.
Apresiasi dalam suatu karya mempunyai tingkatan. Waluyo (2002 : 45) membagi tingkatan apresiasi meliputi, (1) tingkat menggemari, (2) tingkat menikmati, (3) tingkat mereaksi, dan (4) tingkat produktif. Pada tingkat menggemari keterlibatan batin pembaca belum kuat. Pada tingkat menikmati, keterlibatan batin pembaca terhadap karya sastra sudah semakin mendalam. Pada tingkat mereaksi, sikap kiritis terhadap karya sastra semakin menonjol karena ia mampu menafsirkan dengan seksama dan ia mampu menyatakan keindahan dan menunjukkan dimana letak keindahan itu. Pada tingkat produktif, apresiator mampu menghasilkan, mengkritik, atau membuat resensi terhadap novel secara tertulis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa apresiasi novel adalah suatu tindakan berupa pengamatan, penilaian, dan penghargaan terhadap sebuah karya sastra, yang dalam hal ini novel. Dalam hal apresiasi ini kita harus memahami unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik novel yang kita baca itu.
BAB II
UNSUR INTRINSIK DAN UNSUR EKSTRINSIK NOVEL
I. Unsur Intrinsik Novel
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007 : 1248) menyatakan “unsur adalah bahan asal; zat asal; elemen.” Sedangkan “intrinsik artinya terkandung di dalamnya” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 440). “Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 788). Jadi, yang dimaksud dengan unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur atau elemen-elemen yang terkandung dalam sebuah novel. Unsur intrinsik dalam sebuah novel terdiri atas tema, tokoh dan watak (penokohan), alur cerita (plot), latar cerita (setting), amanat (pesan/tujuan), sudut pandang (point of view), dan gaya bahasa.
1. Tema
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007 : 1164), “tema adalah pokok pikiran; dasar cerita.”Tema bisa juga diartikan sebagai ide sentral yang mendasari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Tema dalam sebuah novel dapat diwujudkan secara tersirat dan dapat juga diwujudkan secara tersurat. Tema yang berwujud tersurat lebih mudah ditangkap daripada tema yang tersirat. Hal ini dikarenakan tema tersirat membutuhkan daya nalar ataupun kemampuan membaca yang tinggi saat membaca novel untuk menemukan tema tersebut sedangkan untuk tema tersurat tidak demikian karena tema tersurat sudah terlihat dari sifat yang ditunjukkan oleh tokoh cerita serta bagaimana jalannya cerita pada novel tersebut.
2. Tokoh dan Watak (Penokohan)
“Tokoh adalah pemegang peran dalam roman atau drama” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 1203). “Watak adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 1270). Sedangkan, “penokohan adalah penciptaan citra tokoh dalam karya susastra” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 1203). Jadi, tokoh dan watak dalam sebuah novel adalah pemeran dalam novel itu sendiri dan bagaimana watak setiap pemeran itu.
3. Alur cerita (Plot)
Alur cerita adalah rangkaian cerita yang disusun sedemikian rupa agar cerita itu lebih menarik. Senada dengan hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007 : 33) menyatakan “alur adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu,”Alur cerita dalam sebuah novel dapat berupa alur maju, alur mundur, atau alur campuran. Alur maju disusun dengan rangkaian cerita dimulai dari awal menuju akhir cerita. Alur mundur disusun dengan rangkaian cerita dimulai dari akhir menuju awal cerita. Alur campuran disusun dengan rangkaian cerita dimulai dari pertengahan kemudian ke awal baru menuju akhir.
4. Latar Cerita (Setting)
Latar cerita adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Kamus Besar bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 643).
5. Amanat
Amanat atau pesan atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca novel. Amanat dapat juga diartikan sebagai hal yang ingin disampaikan pengarang novel kepada pembaca lewat novel tersebut. Amanat dirumuskan sendiri oleh pembaca ketika membaca sebuah novel. Cara menyimpulkan amanat sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang pembaca, amanat tidak lepas dari tema dan isi novel itu sendiri.
6. Sudut Pandang (Point of view)
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri. Menurut Harry Shaw dalam Mursini dan Atika Wasilah (2010 : 28) sudut pandang ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1) Pengarang terlibat (Auther Participation) adalah pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama atau tokoh lain, mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya).
2) Pengarang sebagai pengamat (Auther Observant) adalah posisi pengarang sebagai pengamat yang mengisahkan pengamatannya sebagai tokoh samping. Pengarang berada di luar cerita dan menggunakan kata ganti orang ketiga (ia atau dia) di dalam ceritanya.
3) Pengarang serba tahu (Auther Emniscient) adalah pengarang berada di luar cerita (impersonal) tapi serba tahu tentang apa yang dirasa dan dipikirkan oleh tokoh cerita. Dalam kisahan cerita pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga tunggal).
7. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan lisan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, 2007 : 340). Gaya bahasa dalam sebuah novel sangat banyak, diantaranya gaya bahasa metafora, personifikasi, hiperbola, asosiasi, sarkasme, sinisme, asideton, litotes, sinekdhoke, klimaks, antiklimaks, repetisi, paradoks, ironi, dan sebagainya. Gaya bahasa personifikasi membandingkan suatu benda dengan memberinya sifat-sifat seperti manusia, contohnya “angin membelai tubuhku dengan lembut ketika aku sedang duduk meratapi nasib yang sedang menimpa diriku.” Gaya bahasa hiperbola menyatakan sesuatu dengan berlebihan, membesar-besarkan. Contohnya “ harga minyak dunia yang tinggi mengguncangkan Indonesia bahkan dunia.” Gaya bahasa sarkasme menyatakan sesuatu dengan bahasa yang tidak sopan. Contohnya “ Anjing kau! Tak tahu berterima kasih,” dan lain sebagainya.
II. Unsur Ekstrinsik Novel
Selain unsur intrinsik, unsur pembentuk sebuah novel juga bisa berupa adalah unsur ekstrinsik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007 : 292) “ekstrinsik adalah berasal dari luar.”Unsur ekstrinsik adalah unsur pembentuk novel yang terdapat di luar novel itu sendiri. Unsur ekstrinsik merupakan hal yang melatarbelakangi penciptaan sebuah novel. Latar belakang itu bisa berkaitan dengan permasalahan kehidupan, falsafah, cita-cita, ide-ide, dan gagasan serta latar belakang budaya yang menopang kisah novel itu (Mursini dan Atika Wasilah, 2010 : 23). Senada dengan hal itu, Wellek & Warren (1956 dalam http://www.anneahira.com/unsur-ekstrinsik-karya-sastra.htm) menyatakan bagian yang termasuk unsur ekstrinsik adalah sebagai berikut.
- Keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
- Keadaan psikologis, baik psikologis pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan prinsip psikologis dalam karya.
- Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
- Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan sebagainya.
Sedangkan, menurut Wahyudi Siswanto (2008) untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam dari sebuah prosa/novel kita sebaiknya memahami pengarangnya juga. Pemahaman terhadap seorang sastrawan/pengarang akan semakin lengkap jika dipahami (1) latar belakang sosiologis, (2) latar belakang psikologis, dan (3) latar belakang kebahasaan dan kesastraan pengarang.
Dari ketiga pendapat di atas maka saya menyimpulkan unsur ektrinsik novel adalah sebagai berikut.
1. Latar belakang sosiologis pengarang
Sebagai makhluk sosial, pengarang juga dipengaruhi oleh latar belakang sosiologisnya yang berupa struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antar unsur-unsur yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi, politik, hukum, agama, dan sebagainya (Soekanto dalam Siswanto, 1988 : 16). Umar Junus dalam Siswanto (1986 : 10-16) menjabarkan latar belakang sosiologis atas enam faktor: asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan. Sebagai contoh, ketika Budi Darma sedang menempuh studinya di Bloomington, ia tinggal di apartemen Tulip Tree. Saking cintanya dia kepada Tulip Tree, sampai-sampai Tulip Tree dijadikannya sebagai latar utama dalam novelnya yang berjudul Olenka.
2. Latar belakang psikologis pengarang
Selain ditentukan oleh sistem organ biologis, perilaku seseorang juga dipengaruhi dan ditentukan oleh jiwa dan akalnya. Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan dari setiap individu manusia disebut kepribadian. Unsur-unsur kepribadian tersebut adalah pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluri ( Koendjaraningrat dalam Siswanto, 1986 : 101-111). Suryabrata dalam Siswanto (1987 : 13-70) lebih terperinci lagi mengemukakan bahwa aktivitas manusia mencakup perhatian, pengamatan, tanggapan, fantasi, ingatan, pikiran, perasaan, dan motif-motif. Hal ini juga berlaku bagi pribadi pengarang/sastrawan.
3. Latar belakang kebahasaan dan kesastraan pengarang
Ketika sastrawan ingin menyampaikan pesannya, ia harus mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa tersebut harus dapat dimengerti oleh pembacanya. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga berangkat dari bahasa natural, yakni bahasa yang digunakan berkomunikasi sehari-hari. Meskipun demikian, dengan bekal bahasa natural, sastrawan menciptakan sendiri bahasa yang sesuai dengan sistem sastra.
Sebagai komunikasi yang timbal balik, sistem bahasa yang diciptakan sastrawan ini harus diterima oleh pembaca dengan cara yang sama. Bila tidak, komunikasi ini bisa dikatakan gagal. Itulah sebabnya, bahasa sastra bukan bahasa yang melangar kaidah bahasa natural, tetapi memang mempunyai kaidah tersendiri. Sastrawan dipandang sebagai orang yang mempunyai kreatifitas berbahasa yang lebih dibandingkan dengan anggota masyarakatnya (Brown dan Yule dalam Siswanto, 1986).
Di bawah ini akan dibahas mengenai unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam sebuah novel.
Judul novel : Doa Cinta: Doa Ibu dalam Badai Cinta dan Perjuangan
Pengarang : Sirin M. K.
Penerbit : Edelweiss
Kota terbit : Depok
Tahun terbit : April 2009, cetakan 1
Sinopsis Novel
Novel ini dimulai dengan kisah tokoh Irkham yang telah pergi studi ke Eropa (Jerman) kemudian diceritakan kembali keadaan keluarganya di kampungnya (Limpah Luwus, Purwokerto).
Setelah menyelesaikan studinya di Jerman, Irkham kembali ke Tanah Air. Di Limpah Kuwus ternyata kekasihnya dulu, Amelia, telah menikah. Irkham sangat terpukul mendengar berita itu, di tambah lagi bahwa ia belum bisa mendapat pekerjaan yang layak setelah tamat kuliah. Ia berbohong kepada ibunya dengan mengatakan ia telah bekerja di Semarang tapi sebenarnya ia malu sebagai lulusan luar negeri tapi pengangguran. Irkham tetap menutupi keburukannya itu kepada ibu dan adiknya. Suatu hari telepon datang dari adiknya bahwa ibunya telah tiada. Irkham bertambah merasa bersalah karena telah membohongi ibunya. Adiknya juga benci kepada Irkham yang telah membohongi dirinya dan juga almarhum ibunya.
Akhirnya, Irkham pergi lagi ke Semarang. Ia bertemu dengan kawan lamanya, Siham. Setelah menjelaskan keluhannya, Siham memberi petunjuk kepada Irkham mengenai suatu pekerjaan. Irkham pun akhirnya bekerja sebagai peneliti dan menggapai cita-citanya sebagai orang sukses. Irkham kembali menjumpai adiknya, Fitri, dan memidahkannya kuliah ke Semarang.
Dalam perjalanan hidupnya, ia masih berhubungan dengan Amel, mantan pacarnya dulu. Suami Amel, Sigit, selalu menyuruh Irkham datang ke rumahnya walau mereka pernah berkelahi. Seiring dengan berjalannya waktu, Sigit dan Amel pun telah punya anak. Dalam kelanggengan keluarganya, Tuhan berkehendak lain. Sigit meninggal dunia karena tabrakan. Sebuah catatan harian Sigit mengungkap curahan hati Sigit bahwa ia tidak menginginkan pernikahannya dengan Amel menyakiti hati Irkham, tapi ia penuhi karena paksaan orang tua. Orang tua Sigit menyadari kesalahan mereka selama ini. Amel dan Irkham akhirnya bersatu.
Hasil analisis novel di atas dibahas di bawah ini.
I. Unsur Intrinsik Novel
1. Tema
Tema yang dikemukan dalam novel tersebut mengenai perjuangan menggapai cita-cita dan harapan yang lebih baik di hari esok. Hal ini bisa dilihat di halaman 12-14 yang berbunyi sebagai berikut.
……………………………………………………………………………………………..
“ Pernah suatu malam, Irkham mendapati ibunya tengah menangis di kamarnya ketika ia hendak ke kamar mandi. Biasanya, Irkham selalu cuek dengan kebiasaan ibunya yang selalu sholat malam. Mungkin saking dirinya terbiasa mendengar kalimat takbir ataupun zikir shalat yang sayup-sayup terdengar setiap kali Irkham terbangun untuk ke kamar mandi. Tapi kali ini langkahnya terhenti, tepat di depan kamar ibunya. Tak seperti biasanya ia mendengar jelas suara ibunya yang tengah bermunajat kepada Allah. Yang membuat tertegun, ibunya berkali-kali menyebut namanya dirinya. Entah apa yang tengah dipinta oleh ibunya kepada Sang Pengasih. Yang pasti, ia mendengar jelas permohonan ibunya agar ia diberikan keselamatan, kemudahan, dan kesuksesan dalam menempuh belajar di luar negeri nanti.
………………………………………………………………………………………..........
Sungguh beruntung dirinya mempunyai seorang ibu yang selalu memerhatikan dan menyayanginya. Karena perhatian dan kasih sayang ibu adalah doa dan salah satu benteng pertahanan dan perjuangan hidup manusia. Mulai saat itu, ia pun berjanji akan selalu mengingat-ingat pengalaman malam itu dan bertekad segera mewujudkan doa dan harapan ibunya.”
2. Alur Cerita atau Plot
Alur dalam novel ini adalah alur campuran, yaitu cerita yang dimulai dari tengah kemudian ke awal baru menuju akhir. Cerita dimulai dengan kisah tokoh Irkham yang telah pergi studi ke Eropa (Jerman) kemudian diceritakan kembali keadaan keluarganya di kampungnya (Limpah Luwus, Purwokerto). Setelah menyelesaikan studinya di Jerman, Irkham kembali ke Tanah Air. Di Semarang ia mencari kerja. Setelah mendapat cobaan yang berat, yakni kekasihnya yang telah menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuannya, kepergian ibunya, pengangguran, dan dibenci adiknya karena berbohong, ia akhirnya mendapatkan jalan yang tak ia sangka-sangka. Melalui Siham, kawan lamanya dulu, Allah menunjukkan jalan kepada Irkham hingga mengantarkannya menuju kesuksesan dan menggapai cintanya kembali.
3. Amanat
Amanat dalam novel tersebut adalah
1) Berusaha untuk menggapai cita-cita dan selebihnya berserah dirilah kepada Tuhan
2) Jodoh, kematian, dan rezeki hanya Tuhan yang tahu
4. Tokoh dan Watak
a. Irkham, wataknya
a) Pintar
“Kini, setelah ia (Irkham) berhasil meraih beasiswa dan menyandang predikat mahasiswa S-2 di Jerman, tas itu masih menyertai petualangannya.” (halaman 8)
“Irkham adalah salah satu lulusan terbaik di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Ia telah memberikan banyak prestasi untuk kampus kebanggaannya itu. Mulai dari prestasi akademik, lomba karya ilmiah, debat ilmiah, sampai pidato bahasa Inggris.” (halaman 37)
b) Berakhlak baik
“kata-kata itulah yang terkadang membuat Irkham sangat bersyukur kalau dirinya di mata orang lain termasuk anak yang berbakti kepada prangtua.” (halaman 67)
“Sudah menjadi kebiasaan, Bu Sumirah selalu tiduran di depan TV selepas sholat Isya. Sudah menjadi kebiasaan pula, Irkham selalu memijat kaki ibunya. Inilah salah satu bentuk bakti Irkham kepada ibunya.” (halaman 68)
c) Optimis
“Yang penting Biyung dan Fitri sehat-sehat saja. Itu sudah cukup untuk sekadar mengobati rasa kangen di hatiku. Aku tidak perlu lama-lama di sini, aku harus segera kembali mengadu nasib di Semarang. Aku harus segera menebus setiap doa dan cinta yang telah Biyung berikan kepadaku selama ini. Aku harus bisa membayarnya dengan kesuksesan dan kebahagiaan. Biyung, doakan anakmu ini, semoga cepat mendapatkan pekerjaan yang layak!” (halaman 258)
b. Amelia, wataknya
a) Berakhlak baik
“…………………..
Di matanya, Amel adalah gadis yang cantik, periang, sayang sama orangtua, dan menghargai laki-laki. Jarang sekalai ada gadis seperti dirinya yang mau berteman, apalagi menjalin kasih dengan laki-laki seperti dirinya. Amel tahu persis kondisi keluarganya. Anak miskin dan yatim. Tapi Amel begitu tulus mencintainya dan menyayangi keluarganya. Sungguh beruntung dirinya bisa berpacaran dengan Amelia.
………………” (halaman 31)
“……………………
“Duh… Aku jadi tambah bangga sama kamu, Mel. Terima kasih ya, telah mengingatkan aku.”
“Sama-sama, Mas. Sudah sepatutnya kita sesama muslim untuk nasihat-menasihati dalam hal kebenaran dan kesalahan.”
……………………………..” (halaman 46)
b) Bersosialisasi dan berserah diri kepada Allah dalam menghadapi masalah
“Bu Sumirah menggenggam tangan Amelia dengan hangat. “Amelia sayang, kamu tidak usah bingung atau sedih. Semuanya sudah jelas, Allah telah memberikan petunjuk. Kamu jangan berprasangka buruk dulu. Belum tentu apa yang kamu anggap baik, berarti baik juga menurut Allah. Bisa jadi, apa yang kamu benci malah itu yang terbaik menurut Allah. Sebaliknya, sesuatu yang kamu anggap baik ternyata malah bukan yang dikehendaki oleh Allah. Ibu tidak akan marah, apalagi memaksa kamu untuk menunggu Irkham. Cepatlah kamu temui ayah kamu dan ikuti saran mereka. Pasti hidup kamu akan bahagia dunia-akhirat. Ridha Allah itu tergantung ridha orangtua dan murka Allah itu tergantung pada murka orangtua. Langkahkan kakimu dengan penuh keyakinan. Tatap masa depanmu dengan penuh keikhlasan. Jadilah generasi muda yang tegar!”” (halaman115)
c. Sigit, wataknya
a) Penurut
“Tak tahan dengan sikap Amel yang kaku, Sigit langsung berkata, “Aku mengerti perasaan kamu sekarang ini. Perkenalan ini atas keinginan orangtua kita. Terus terang aku juga tidak setuju dengan rencana mereka. Tapi, apa mau dikata. Sebagai anak, aku tidak mau dibilang sebagai anak yang tidak berbakti pada orangtua. Toh, ini masih dalam taraf perkenalan. Masih ada peluang bagi kita untuk menemukan arah sendiri. Jadi, anggap saja orangtua kita seperti halnya teman yang mencomblangi kita!”” (halaman 109)
b) Penyabar
““Ya Allah, bukakanlah hati istriku! Agar ia mau menerimaku sebagai suaminya. Bimbinglah dia agar menjadi istri yang salehah sehingga kami bisa mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, amin!” Sigit berdoa dalam hati.” (halaman 144)
d. Bu Sumirah, wataknya
a) Taat beribadah
“Ia tak menyangka, di tengah kesibukan dan perjuangannya sebagai seorang ibu sekaligus kepala rumah tangga, ibunya selalu menyempatkan diri di malam-malam tidurnya untuk bermunajat. Ia juga tak menyangka akan sedramatis itu pengorbanan sang ibu. Pagi, siang, dan malam dilaluinya dengan perjuangan dan pengorbanan hanya untuk sebuah doa dan harapan agar amanah yang dititipkan oleh Allah, yaitu anak-anaknya, bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.” (halaman 13)
b) Penyabar
““Fitri anakku, Biyung yakin kalau kamu itu anak yang baik, sopan, dan paham dengan tata krama. Tidak selayaknya kamu bersikap kasar seperti tadi. Biyung tahu kamu masih kesal sama Amel. Tapi sebagai seorang muslimah yang baik, kita harus senantiasa menghormati tamu yang datang ke rumah kita. Apalagi, Amel kan sudah minta maaf. Masa kamu tidak mau memafkan dia. Allah saja Maha Pengampun. Sangat berdosa jika ada orang yang meminta maaf, kita tidak memaafkannya. Amel sudah berniat baik. Ia datang ke sini untuk bersilaturahmi. Kamu malah memutuskannya. Kamu yang sabar ya, Ndho!”” (halaman 114-115 )
c) Pekerja keras/tegar
“Namun tidak bagi keluarga Bu Sumirah. Mereka termasuk keluarga yang rajin dan giat bekerja. Cuaca dingin tidak menghambat mereka beraktivitas.
Tampak sebuah mobil angkutan desa berhenti di depan warung. Seorang perempuan paruh baya turun dari mobil itu. ia tak lain adalah Bu Sumirah. Ia adalah satu-satunya orangtua Irkham yang masih tersisa di dunia. Bapaknya telah lama meninggal. Jadilah Bu Sumirah seorang ibu sekaligus kepala keluarga yang harus menghidupi dan menyekolahkan Irkham dan adiknya seorang diri.” (halaman 33)
e. Fitri, wataknya
a) Anak yang ramah dan penyayang
“Fitri yang melihat wajah Ibunya merasa kasihan dan langsung memberikan minuman teh hangat yang sengaja dibawanya dari rumah.
“Nih, Yung, biar pusingnya hilang!”
“Makasih, Fit.’
“Mas Irkham beli karcisnya ke mana sih, Yung, kok lama banget?”
“Sabar, paling sebentar lagi.”
“Yung, coba deh lihat anak-anak kecil itu!”
Fitri menunjuk anak-anak kecil yang naik-turun bis. Mencari uang dengan mengamen.
“Memangnya kenapa?”
“Kasihan, ya, Yung! Kecil-kecil sudah harus mencari uang. Padahal liburan kayak gini kan enaknya buat main, nonton TV dan senang-senang.”
“Makanya kamu harus bersyukur. Bisa sekolah, makan, tidur, dan bersantai ria di hari libur. Dan kalau disuruh bantu orangtua, mesti nurut, ya!” Bu Sumirah membalasnya dengan nasihat.” (halaman 51)
f. Siham, wataknya
a) Pandai berteman dan tahu terima kasih
“Siham sudah paham dengan kondisi temannya itu, Irkham tidak akan semurung itu, apalagi sampai melamun kalau tidak sedang mengalami masalah yang berat.
Melihat Irkham hanya diam saja, Siham kembali bicara, “Kham, kamu ndak perlu sungkan sama aku. Aku ini teman kamu. Selama ini kamu telah banyak menolong aku hingga aku bisa begini. Sudah seharusnya aku melakukan hal sama dengan kamu.”” (halaman 283)
5. Sudut Pandang Pengarang
Sudut pandangnya pengarang serba tahu atau pengarang berada di luar cerita. Hal ini terlihat dari pemberian nama tokoh dalam novel tersebut.
“Irkham duduk di atas tas miliknya di stasiun kereta bawah tanah. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding stasiun yang terbuat dari batu marmer. Dinding itu terasa dingin, jauh lebih dingin dari hembusan hawa air conditioner yang menebar ke setiap jengkal sudut stasiun.” (halaman 1)
“sekitar jam 10 keesokan harinya, Amelia datang. Sejak kepergian Irkham ke Jerman untuk melanjutkan kuliahnya, Amelia memang sering mengunjungi Bu Sumirah dan Fitri. Hubungan mereka sudah seperti keluarga. Setiap ada acara di keluarga Irkham, Amelia selalu diminta datang………………………..” (halaman 99)
6. Latar Cerita atau Setting
Latar cerita dalam novel tersebut berada di:
a) Kota Berlin (Jerman)
“”Oh, inilah kota Berlin!” Kota yang begitu indah dan hangat. Kota tua itu sungguh tampak eksotik dan mewah. Beberapa bangunan klasik masa romantisme berjejer berdampingan dengan julangan bangunan modern. Danau dan sebaris sungai yang berkelok-kelok tampak membelah kota berkontur perbukitan itu.” (halaman 19)
b) Limpah Kuwus (Purwokerto)
“pagi itu, sang surya tampak enggan menampakkan sinarnya. Hawa dingin masih menyelimuti desa Limpah Kuwus yang berada di sebelah utara Purwokerto.” (halaman 32)
c) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
“memasuki kawasan kampus Unsoed, Irkham langsung memarkirkan sepeda motornya di sebelah gedung administrasi. Dengan langkah penuh semangat, ia masuk gedung dan menyelesaikan semua urusan terkait rencana studinya ke Jerman. Setengah jam kemudian ia keluar gedung dengan wajah cerah.” (halaman 39)
d) Rumah Sigit/Amel
“Irkham buru-buru pergi dari rumah orangtua Amel. Perasaannya campur aduk. Rasa marah dan kecewa serasa api dalam sekam. Dadanya panas membara. Dengan kecepatan tinggi, motor yang dikendarainya melaju ke arah Perumahan Purwosari yang terletak di sebelah utara Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto. Tak terlalu sulit baginya untuk menemukan alamat rumah Amel. Terbukti, tak sampai setengah jam, Irkham sudah sampai di rumah Amel yang baru. Dipencetnya bel yang ada di depan pagar rumah. Setengah menit kemudian, seorang pembantu di rumah itu keluar menghampiri Irkham.” (halaman 192)
e) Toledo
“Saat mereka memasuki gerbang kota, terlihat sebuah patung benteng yang besar. Sebenarnya Toledo terkenal dengan arena pertunjukan adu benteng dengan Matador. Tapi mereka tak akan berkesempatan menyaksikan pertunjukan tersebut, karena musimnya belum tiba. Di dalam kota ini, terasa sekali suasana kota turisnya. Restoran berderet-deret diselingi toko-toko souvenir dengan spesialisasi keramik, perak, dan kuningan.” (halaman 87)
f) Roma
“Hari-hari di Roma memang sangat melelahkan. Hampir tidak ada waktu bagi Irkham untuk istirahat. Rasanya mau copot saja tulang-tulang yang menyangga tubuhnya. Kalau bukan karena impian untuk membahagiakan ibu dan adiknya, mungkin ia sudah meninggalkan pekerjaan itu sejak awal. Tapi apa mau dikata, ia terlanjur memutuskan untuk merantau ke Roma.” (halaman 149-150)
g) Semarang
“Di Semarang, Irkham menyewa satu kamar berukuran 2 x 3 meter. Pikirnya, cukup untuk tempat berteduh selama ia mencari pekerjaan. Ia tinggal bersama puluhan penghuni kos lainnya……………………………….” (halaman 244)
7. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dipergunakan dalam novel ini adalah sebagai berikut.
a. Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat seperti manusia.
Contoh:
“Hawa dingin masih menyelimuti desa Limpah Kuwus yang berada di sebelah utara Purwokerto”. (halaman 32)
b. Metafora
Metafora adalah gaya bahasa perasosiasian yang digunakan untuk menyatakan suatu hal atau peristiwa tidak secara literal (harfiah) tetapi dengan menggunakan suatu perbandingan secara langsung.
Contoh:
“Maklumlah, sudah bertahun-tahun mereka tercerabut dari akar budayanya sendiri dan harus hidup dikelilingi orang-orang dan budaya-budaya asing yang belum menyatu dengan jiwa mereka”. (halaman 10)
c. Simile
Simile adalah gaya bahasa yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Biasanya mempergunakan kata-kata seperti, seperti, bagai, bak, seumpama, seolah, dan sebagainya
Contoh:
“Mereka seolah hanyut dalam komunikasi batin yang tak bisa dijabarkan lewat kata-kata”. (halaman 369)
d. Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu benda, hal atau peristiwa dengan cara melebih-lebihkan lukisan agar lebih menarik perhatian.
Contoh:
“Mendengar cerita Fitri, batin Irkham terasa diiris-iris sembilu”. (halaman 155)
“Hatinya tersayat seolah tak rela mendengar rintihan ibunya yang begitu menyayat kalbu, memohon-mohon semoga anaknya diberikan kesuksesan dan kebahagiaan”. (halaman 13)
III. Unsur Ekstrinsik
1. Latar belakang sosiologis
Latar belakang sosiologis seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa pengarang tidak akan terpisahkan dari kehidupan sosialnya. Sirin M.K. sebagai pengarang novel ini berasal dari kelas sosial yang mapan secara ekonomi karena bekerja sebagai dosen. Selain itu, pengarang mungkin bisa berasal dari Purwokerto karena pengarang mampu menggambarkan Purwokerto secara mendetail dalam novel ini.
Dalam novel ini disinggung mengenai kuliah. Tentu hal ini dipengaruhi oleh status pengarang yang bekerja sebagai dosen, dimana sebelum memperoleh kedudukan sebagai dosen tentu pengarang novel ini harus belajar keras hingga memperoleh hasil yang memuaskan seperti saat sekarang ini. Secara gender, pengarang ini memang berjenis kelamin laki-laki tapi penggambaran mengenai sikap ini tidak begitu ketara dalam novel ini.
2. Latar belakang psikologi
Latar belakang psikologi pengarang yang di dalamnya terdapat aspek kepribadian. Dari aspek kepribadian ini terdapat pula aspek dorongan naluri. Aspek dorongan naluri ini juga ada bermacam-macam, yaitu dorongan untuk mempertahankan hidup, seks, usaha mencari makan, untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia, meniru tingkah laku sesamanya, berbakti dan akan keindahan. Dan salah satu lagi, yaitu dorongan akan rasa ketuhanan (ini bagi orang yang yang religius).
Dari aspek rasa ketuhanan, yang kebetulan novel ini adalah novel religius tapi masih relevan dibaca secara universal, novel ini mencerminkan hal itu. Rangkaian cerita yang disusun secara islami dalam novel karangan Sirin M.K. ini adalah salah satu bentuk aspek dorongan naluri, khususnya pada orang yang religius.
Selain dari aspek dorongan naluri (rasa ketuhanan) yang juga bisa terterima adalah dorongan untuk berbakti. Berbakti maksudnya di sini adalah menyumbangkan pemikiran lewat tulisan (pesan novel) agar pembacanya menjadi lebih luas wawasannya setelah membaca novel ini.
3. Latar belakang kebahasaan dan sesastraan pengarang
Latar belakang mengenai kebahasaan dan kesastraan merupakan hal yang penting untuk memahami karya pengarang sekaligus mengenal pengarang. Sirin M.K. sebagai pengarang novel ini yang berasal dari status dosen dan juga telah beberapa kali melahirkan karya tulisnya tentu bisa dikategorikan sebagai pengarang yang berpengalaman. Hal ini juga bisa dilihat dari tulisannya, yakni novel yang dianalisis ini, Doa Cinta: Doa Ibu dalam Badai Cinta dan Perjuangan. Novel ini walaupun tidak best seller tapi mampu memberikan kesan yang cukup bagus bagi pembacanya. Jalinan ceritanya sungguh luar biasa sehingga pembaca merasa seolah-olah langsung menyaksikan kejadian yang dilukiskan dalam novel ini.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pembangun novel itu terbagi atas dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur atau elemen-elemen yang terkandung dalam sebuah novel. Unsur ekstrinsik adalah unsur pembentuk novel yang terdapat di luar novel itu sendiri. Unsur intrinsik dalam sebuah novel terdiri atas tema, tokoh dan watak (penokohan), alur cerita (plot), latar cerita (setting), amanat (pesan/tujuan), sudut pandang (point of view), dan gaya bahasa. Sedangkan unsur ekstrinsik terdiri atas latar belakang sosiologis pengarang, latar belakang psikologis pengarang, dan latar belakang kebahasaan dan kesastraan pengarang.
Setelah memahami unsur-unsur pembentuk novel, baik itu unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik, kita akan lebih mudah melakukan apresiasi terhadap novel tapi harus kita mengetahui bahwa menganalisis sebuah novel itu tidak mudah, untuk itu kita harus sering berlatih. Kita berlatih tentunya dengan sering membaca novel. Karena selain mendapatkan hiburan dari novel yang dibaca, kita juga bisa memetik hikmah dari pesan yang disampaikan pengarang dalam novelnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
M. K., Sirin. 2007. Doa Cinta: Doa Ibu dalam Badai Cinta dan Perjuangan. Depok: Edelwiss
Mursini dan Atika Wasilah. 2010. Diktat Teori Sastra. Medan: FBS, Unimed
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : PT Grasindo
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta: Erlangga
http://www.anneahira.com/unsur-ekstrinsik-karya-sastra.htm
terimakasih untuk informasinya.
BalasHapushttp://bit.ly/2ZLH3Vg