Angle di Puncak Sibayak
Oleh: Justianus Tarigan
Yakin betul dalam diriku. Dia adalah wanita yang sangat aku kenal. Dia bukan orang yang jauh dari keseharianku. Hawa tentangnya selalu bisa kutangkap saat kami berjumpa. Tapi entahlah. Dia mungkin bukan siapa-siapaku sehingga ia tak pernah menangkap hal yang sama denganku.
###
Berawal dari pertemuan di puncak Sibayak. Ia melangkah ke arahku seolah aku yang ia tuju tapi ternyata bukan. Di belakangku ada sebuah batu yang angle-nya sangat bagus dijadikan tempat berfoto untuk mengambil kawah gunung.
Aku tak ambil pusing tentang kejadian itu. Dia juga sama apa adanya. Berjalan sambil memanggul ransel membuat dia sedikit kualahan untuk mengambil pemandangan itu. Dengan sedikit berbaik hati aku angkat bicara.
“Tasnya diletak dulu kak. Nampaknya ransel kakak berat kali. Biar memfotonya tak kesusahan.”
Ia hanya tersenyum manis padaku. Ia rupanya tak berani meletakkan tasnya itu. Kulihat badannya sedikit oyong saat ia mau mengambil pemandangan alam di kaki gunung. Kakinya terpeleset saat batu yang diinjaknya bergeling. Maklum di atas puncak Sibayak batunya memang seperti bergerak alias longgar.
“Ei… pelan-pelan. Sini ranselnya aku yang jaga biar kakak bisa lebih leluasa mengambil fotonya.” “Terima kasih, ya,” ia melangkah saat ranselnya ia lepaskan dari tubuhnya yang langsing itu. Kamera yang tergantung di lehernya sepertinya membisikkan padanya bahwa ia masih lapar akan pemandangan itu.
Saat matahari pagi terlihat malu-malu menunjukkan wajahnya sang Kakak pun tak melewatkannya. Ia mengambil pemandangan dari berbagai angle. Saat selesai ia tangkap, ia melihat hasilnya. Jika belum puas maka ia men-delete kemudian mengambilnya lagi.
###
Ia duduk di batu sebelah ranselnya. Sambil meneguk air mineral yang rasanya pasti sangat dingin ia memalingkan wajahnya ke arah cekungan yang ada di puncak Sibayak itu. Cekungan itu berair seolah danau. Airnya hangat tapi di sebagian tempat ada yang panas. Memasak telur aja bisa.
Bisa kulihat hasil potret kakak, aku berujar untuk memulai pembicaraan.
“Boleh,” ia menjawab sambil mengulurkan kamera itu kepadaku.
Sambil melihat hasil tangkapannya kami bercerita tentang Sibayak. Sesekali kupuji hasil potretannya yang kurasa luar biasa. Cerita punya cerita, ia juga ternyata merasa risih dengan panggilan kakak. Ia memintaku agar memanggilnya Dila sesuai namanya. Baru kami kenalan. Serasa perkenalan sudah sedikit menjalar ke masalah pribadi. Pacarlah, mantanlah, jalan-jalan ke Sibayak ini bersama kekasihlah, tak ada sekat di antaranya lagi.
Udara sejuk menggoda kami terhiraukan oleh kehangatan mentari yang indah. Turun gunung di hari siang bukan penghalang bagi kami dan juga rombongan. Kenikmatan di hari ini tak terbayar oleh harga dolar sekali pun. Kedekatan itu kami nikmati tak hanya sebagai teman, kemesraan terlihat melebihi sejuk dan senangnya hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar