Anak Angkat
Karya
Justianus Tarigan
Siang tengah pada
puncaknya. Sinar mentari sangat menyilaukan mata. Dedaunan juga nampaknya
tepekur khidmat. Barangkali proses fotosintesis sedang berjalan sehingga mereka
enggan bergerak. Angin juga sama. Tak mau berhembus. Apa mereka sengaja
mempermainkan aku?
Lapar sedari tadi
kurasa tak jua kuindahkan. Apalah arti lapar jika pekerjaan ini tinggal sedikit
lagi. Tanggung. Nanti setelah selesai baru aku bisa makan sekenyang-kenyangnya.
Tidur sampai sore juga bisa. Mandi di aliran sungai dekat kebun ini juga bisa.
Atau pekerjaan apa pun itu. Pokoknya pekerjaan ini harus selesai dulu.
Tanganku semakin gesit
bekerja. Parang yang kupegang dengan tangan kanan semakin cepat saja memotong
semua semak yang ada. Peluh membanjiri sekujur tubuhku. Sebagian berjatuhan
dari wajahku mengenai parang. Dan akhirnya pekerjaan selesai juga. Semak itu
sudah terpotong dari akar-akarnya. Mungkin dua tiga hari ini mereka sudah
kering. Selanjutnya, bakar.
Pada dahan pohon
belimbing ada seekor burung yang tampaknya dari tadi mengintai. Apa dia
memperhatikanku? Ah, itu terserah dia. Namanya juga di kebun. Ada banyak hewan
dan tumbuhan. Barangkali saja dia memang punya sarang di situ. Wajar dia lama
bertengger di sana.
Aku beranjak ke gubuk.
Gubuk ini kuberi nama gubuk derita. Gubuk derita ini menjadi saksi cintaku.
Cinta kepada seorang wanita yang sekarang jadi istriku. Gubuk ini tidak terlalu
jauh dari pohon belimbing itu tadi.
Dulu gubuk ini tempat
aku dan istriku—kami—mengawali kehidupan berumah tangga. Kebun ini tidak
terlalu jauh dari perkampungan.
Awalnya setelah menikah
aku dan istriku tinggal di gubuk ini. Jarang sekali tinggal di perkampungan.
Walau sebenarnya ada juga rumah yang bisa kami tempati di kampung. Karena
keseharianku hanyalah seorang petani dan bertaninya di kebun ini saja maka aku
berembuk dengan istri untuk membangun sebuah gubuk. Ternyata dia sepakat.
Katanya waktu itu, “Tidak apa-apa bang. Supaya kita merasa tinggal di villa
yang luas halamannya.” Waw istriku berkhayal tinggi bukan?
Hari-hari kami lalui di
kebun ini. Ketika keperluan dapur sudah habis atau ada undangan pesta baru kami
pulang ke perkampungan. Untuk membuang rasa sunyi, kami pelihara ayam, bebek,
dan angsa. Benar saja, suara ketiga jenis peliharaan kami ini langsung membuat
bising. Aku dan istri pun tidak lagi merasa kesepian. Selain itu, ada juga
radio untuk mendengarkan musik dan informasi. “Kita juga harus mengetahui
informasi terbaru, bang.” Itu kata istriku. Dia tidak permasalahkan radio itu
radio peninggalan kakekku. Yang penting masih bisa digunakan katanya.
Setahun pernikahan,
kami belum juga dikaruniai anak. Aku dan istri bersabar dan tetap berharap.
Kami tidak saling menghakimi. Mungkin belum saatnya.
Sebulan kemudian di
kampung ada pesta pernikahan. Yang menikah adalah tetangga rumah kami yang di
kampung. Kami pun turut hadir pada pesta itu. Pestanya sederhana. Sama
sederhananya ketika aku dan istri dipestakan. Walau demikian tidak mengurangi
kesakralan ikatan suci itu.
Kakak istriku datang di
pesta itu. Suaminya memang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan si
empunya pesta. Dia sempat bercerita dengan istriku. Cerita punya cerita, sang
kakak ternyata menyarankan kami mengadopsi anak. Katanya sebagai pancingan.
Setelah diadopsi, katanya, ada kemudahan mendapatkan anak. Usulan itu pun
disampaikan istriku saat makan malam sepulang dari pesta. Aku tidak buru-buru
menanggapinya. Kuraba pikiran istriku lewat usulannya. Apa kami benar-benar
tidak bisa memiliki anak? Apakah ini pilihan tepat?
“Kamu yakin ingin
mengadopsi anak?” tanyaku pada istriku dengan mamandang wajahnya penuh cinta.
Dia masih diam. Butuh beberapa detik baginya untuk berani memandangku. Kemudian
dia menjawab.
“Aku hanya ingin kita
segera punya anak setelah kita mengadopsi ini, bang. Lagi pula tidak ada
salahnya kan?”
“Maksudku kamu sudah
pikirkan jangka panjangnya kan? Walau mengadopsi, kita harus tetap membuat dia
seperti anak kita. Jangan nanti setelah ada anak kita, dia kurang perhatian.
Itu berdosa, sayang.”
“Aku sudah pikirkan
segala konsekuensinya, bang. Lagi pula anak yang akan kita adopsi ini juga
masih dalam ikatan keluarga.”
“Kalau begitu saya
sepakat saja.”
Kupandangi istriku yang
masih menunduk. Dia ternyata malu setelah lama sekali kupandang. Diangkatnya
wajahnya sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.
***
“Kapan Ahmad akan ujian
semester, Buk?” Aku bertanya pada
istriku yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu.
“Minggu depan, Pak. Dia
kemarin telepon. Sekalian minta dikirimkan uang ujian.”
Suara istriku terdengar
berbeda. Dia sepertinya menyembunyikan sesuatu. Aku belum bisa menerkanya.
“Ibu mencemaskan apa?”
kucoba mengorek pikirannya.
“Tidak ada, Pak.” Dia
terus melipat pakaian sekolah Bunga, anak kedua kami setelah Ahmad. Selang
beberapa detik, istriku lanjut berbicara.
“Hanya sedikit bingung.
Sikap Ahmad semakin hari semakin berubah, Pak. Aku tidak tahu penyebabnya.”
“Apa yang berubah, Buk.
Baru Minggu kemarin dia pulang kemari. Biasa saja kutengok. Tidak ada tanda-tanda
mengkhawatirkan kukira.”
“Ia, Pak. Tapi, Minggu
itu juga aku bertemu dengan Eka, teman sekelasnya di sana. Katanya Ahmad sering
tidak tidur di kosnya. Kadang-kadang pulang tengah malam. Pernah suatu ketika
katanya, Ahmad pulang dengan banyak lelaki. Dibonceng naik motor. Belum lagi
katanya PR sekolahnya pernah tidak dikerjakannya. Kalau sudah hari Minggu,
Ahmad dipastikan tidak pernah di kos. Bagaimana ini, Pak. Apa ini tidak jadi
pikiran?”
Aku mengerti sekarang.
Ternyata istriku begitu peduli kepada anak kami selain padaku juga. Walau Ahmad
disekolahkan di ibu kota kabupaten, istriku tidak pernah lupa mengawasi
gerak-gerik anaknya dengan caranya sendiri. Kurasa itu memang sangat bagus
dilakukan.
Hasil pengamatan
istriku tersebut kujadikan pijakan untuk mengambil langkah. Seminggu setelah
itu, kususul Ahmad ke kota. Aku datang tanpa memberitahunya. Supaya tampak
jelas semua akar permasalahan. Aku akan menginap di salah satu rumah kenalan di
kota agar aku bisa leluasa mengumpulkan fakta lapangan. Seperti detektif bukan?
Jumat sore aku ke kota.
Sabtu pagi aku secara sembunyi-sembunyi memperhatikan Ahmad apakah dia pergi ke
sekolah. Ternyata Ahmad pergi ke sekolah dengan tepat waktu. Kuperhatikan cara
berpakaiannya. Semuanya biasa saja. Bahkan kalau aku harus jujur, anakku ini
sangat rapi dan berpenampilan menarik. Setelah Ahmad pergi ke sekolah,
kudatangi pemilik kosnya. Aku mau berwawancara sedikit. Hasilnya memang
mendekati dengan perkataan istriku. Aku semakin gelisah. Ditambah cuaca panas,
badan pun menjadi gerah. Akhirnya setelah pamit kepada pemilik kos, aku pergi
ke sebuah warung dekat kos itu. Kebetulan warung itu warung nasi, aku sekalian
makan siang walau masih pukul 11.00.
Aku duduk di meja
paling kiri. Kosong. Di dinding ada kipas angin mengarah ke arah mejaku. Tepat
sekali mengadem sambil menikmati makanan. Di meja paling kanan ada sekelompok
anak muda. Jumlahnya tidak lebih lima orang. Pakaiannya tampak sama semua. Kaos
hitam bertuliskan kata-kata “I love ….” Beberapa kertas dengan sketsa model
baju juga terlihat jelas olehku. Satu di antara mereka malah menunjukkan
berbagai foto baju ke arah temannya melalui gadgetnya.
Mereka tampak serius
berbicara. Seperti diskusi pimpinan perusahaan saja pikirku. Tapi aku tidak mau
pusing. Kulahap nasi plus ayam rendang yang sudah terhidang di hadapanku. Namun,
karena jarak kami tidak terlalu jauh, aku masih bisa mendengar pembicaraan
mereka. Beberapa kali, antara terdengar jelas, mereka menyebut “Ahmad”. Aku
semakin menguping. Eitss itu tidak baik. Ada berapa nama Ahmad seantero bumi
ini? Hahaha.
Selesai makan aku ambil
koran yang terletak dekat meja kasir. Kucari judul berita yang menarik untuk
dibaca. Kebetulan ada satu berita tentang enterpreneurship. Karena hanya ini
saja yang menarik kurasa maka kubaca habis tulisan tersebut. Aku akan
melanjutkan pencarian data setelah Ahmad pulang. Sekali ini aku mau dia sendiri
sebagai narasumbernya. Dia tidak mungkin berbohong lagi karena sudah ada dua
bukti yang kuperoleh.
Ternyata begitu tulisan
itu selesai kubaca, Ahmad sudah berada di muka gang rumah kos. Hendak kuikuti
dia dari belakang supaya kami jumpa di kamarnya dengan bersamaan. Tapi begitu
aku mau membayar harga nasi yang kumakan di kasir, kelima anak muda yang ada di
meja sebelah kanan itu langsung mengejar Ahmad. Mereka tampak buru-buru. Aku
semakin penasaran. Jangan-jangan mereka mau menghajar anakku pikirku.
Kupercepat mengeluarkan uang dari dompet. Kuberikan uang dua puluh ribu beserta
satu lembar lima ribu. Sejurus kemudian, aku langsung menyusul mereka.
Kelima anak muda itu
sudah tak kelihatan lagi. Mereka sudah masuk ke kamar Ahmad. Langkahku semakin
cepat. Begitu kuucapkan salam di pintu kamar, keenamnya mereka membalas salamku
dengan serentak. Seketika hatiku tenang. Kulihat Ahmad telah menukar seragam
sekolahnya dengan kaos hitam yang sama dengan kelima anak muda itu. Ahmad
langsung mendekatiku dan mencium tanganku. Aku dikenalkan dengan kelima anak
muda itu. Kelima-limanya menyalamiku dan kelima-limanya mencium tanganku. Aku
belum bisa menebak apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka berseragam sama.
Hingga akhirnya, satu di antara mereka menjelaskan bahwa kelima anak muda itu
adalah mahasiswa. Hanya Ahmad yang siswa. Mereka berenam ternyata membuat usaha
kecil-kecilan berupa sablon baju kaos. Usaha ini ternyata ide Ahmad. Kelima
anak muda itu ternyata menjadikan ide Ahmad menjadi sebuah proposal program
kewirausahaan di kampusnya. Alhasil diterima. Untuk itu, mereka berenam
menjalankan usaha tersebut dengan biaya dari kampus. Karena Ahmad terbilang
personel yang paling keren juga, dia dijadikan model kaos mereka dan disebarkan
di jejaring sosial. Usaha ini baru berjalan sebulan makanya Ahmad belum
memberikan informasi kepada kami, orangtuanya. Karena usaha ini pula, Ahmad
sering pergi di hari minggu dan terkadang pulang agak tengah malam karena
mengejar orderan pelanggan. Oleh karena usaha itu pula, Ahmad sempat lupa
mengerjakan PR-nya.
***
“Pak, burung itu
ternyata membuat sangkar di pohon belimbing itu. Pohon yang ditanam Ahmad.”
Istriku yang sedang
menggunakan kaos usaha Ahmad, membuyarkan lamunanku. Kulirik burung yang
dimaksud istriku. Memang benar. Ada sangkar burung di dahan pohon belimbing
itu.
Sore segera datang. Aku
dan istri dan juga Bunga, anak kedua kami setelah Ahmad, bergegas pulang. Dalam
batin aku bersyukur atas semua anugerah yang kuperoleh.
“Ternyata istriku tidak
salah memberi usul beberapa tahun silam.”