Blogger Layouts

Halaman

Selasa, 17 Oktober 2017



Anak Angkat
Karya Justianus Tarigan

Siang tengah pada puncaknya. Sinar mentari sangat menyilaukan mata. Dedaunan juga nampaknya tepekur khidmat. Barangkali proses fotosintesis sedang berjalan sehingga mereka enggan bergerak. Angin juga sama. Tak mau berhembus. Apa mereka sengaja mempermainkan aku?
Lapar sedari tadi kurasa tak jua kuindahkan. Apalah arti lapar jika pekerjaan ini tinggal sedikit lagi. Tanggung. Nanti setelah selesai baru aku bisa makan sekenyang-kenyangnya. Tidur sampai sore juga bisa. Mandi di aliran sungai dekat kebun ini juga bisa. Atau pekerjaan apa pun itu. Pokoknya pekerjaan ini harus selesai dulu.

Tanganku semakin gesit bekerja. Parang yang kupegang dengan tangan kanan semakin cepat saja memotong semua semak yang ada. Peluh membanjiri sekujur tubuhku. Sebagian berjatuhan dari wajahku mengenai parang. Dan akhirnya pekerjaan selesai juga. Semak itu sudah terpotong dari akar-akarnya. Mungkin dua tiga hari ini mereka sudah kering. Selanjutnya, bakar.

Pada dahan pohon belimbing ada seekor burung yang tampaknya dari tadi mengintai. Apa dia memperhatikanku? Ah, itu terserah dia. Namanya juga di kebun. Ada banyak hewan dan tumbuhan. Barangkali saja dia memang punya sarang di situ. Wajar dia lama bertengger di sana.

Aku beranjak ke gubuk. Gubuk ini kuberi nama gubuk derita. Gubuk derita ini menjadi saksi cintaku. Cinta kepada seorang wanita yang sekarang jadi istriku. Gubuk ini tidak terlalu jauh dari pohon belimbing itu tadi. 

Dulu gubuk ini tempat aku dan istriku—kami—mengawali kehidupan berumah tangga. Kebun ini tidak terlalu jauh dari perkampungan. 

Awalnya setelah menikah aku dan istriku tinggal di gubuk ini. Jarang sekali tinggal di perkampungan. Walau sebenarnya ada juga rumah yang bisa kami tempati di kampung. Karena keseharianku hanyalah seorang petani dan bertaninya di kebun ini saja maka aku berembuk dengan istri untuk membangun sebuah gubuk. Ternyata dia sepakat. Katanya waktu itu, “Tidak apa-apa bang. Supaya kita merasa tinggal di villa yang luas halamannya.” Waw istriku berkhayal tinggi bukan?

Hari-hari kami lalui di kebun ini. Ketika keperluan dapur sudah habis atau ada undangan pesta baru kami pulang ke perkampungan. Untuk membuang rasa sunyi, kami pelihara ayam, bebek, dan angsa. Benar saja, suara ketiga jenis peliharaan kami ini langsung membuat bising. Aku dan istri pun tidak lagi merasa kesepian. Selain itu, ada juga radio untuk mendengarkan musik dan informasi. “Kita juga harus mengetahui informasi terbaru, bang.” Itu kata istriku. Dia tidak permasalahkan radio itu radio peninggalan kakekku. Yang penting masih bisa digunakan katanya. 

Setahun pernikahan, kami belum juga dikaruniai anak. Aku dan istri bersabar dan tetap berharap. Kami tidak saling menghakimi. Mungkin belum saatnya.

Sebulan kemudian di kampung ada pesta pernikahan. Yang menikah adalah tetangga rumah kami yang di kampung. Kami pun turut hadir pada pesta itu. Pestanya sederhana. Sama sederhananya ketika aku dan istri dipestakan. Walau demikian tidak mengurangi kesakralan ikatan suci itu.

Kakak istriku datang di pesta itu. Suaminya memang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan si empunya pesta. Dia sempat bercerita dengan istriku. Cerita punya cerita, sang kakak ternyata menyarankan kami mengadopsi anak. Katanya sebagai pancingan. Setelah diadopsi, katanya, ada kemudahan mendapatkan anak. Usulan itu pun disampaikan istriku saat makan malam sepulang dari pesta. Aku tidak buru-buru menanggapinya. Kuraba pikiran istriku lewat usulannya. Apa kami benar-benar tidak bisa memiliki anak? Apakah ini pilihan tepat?

“Kamu yakin ingin mengadopsi anak?” tanyaku pada istriku dengan mamandang wajahnya penuh cinta. Dia masih diam. Butuh beberapa detik baginya untuk berani memandangku. Kemudian dia menjawab.

“Aku hanya ingin kita segera punya anak setelah kita mengadopsi ini, bang. Lagi pula tidak ada salahnya kan?” 

“Maksudku kamu sudah pikirkan jangka panjangnya kan? Walau mengadopsi, kita harus tetap membuat dia seperti anak kita. Jangan nanti setelah ada anak kita, dia kurang perhatian. Itu berdosa, sayang.”

“Aku sudah pikirkan segala konsekuensinya, bang. Lagi pula anak yang akan kita adopsi ini juga masih dalam ikatan keluarga.”

“Kalau begitu saya sepakat saja.”

Kupandangi istriku yang masih menunduk. Dia ternyata malu setelah lama sekali kupandang. Diangkatnya wajahnya sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya. 

***

“Kapan Ahmad akan ujian semester, Buk?”  Aku bertanya pada istriku yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu. 

“Minggu depan, Pak. Dia kemarin telepon. Sekalian minta dikirimkan uang ujian.” 

Suara istriku terdengar berbeda. Dia sepertinya menyembunyikan sesuatu. Aku belum bisa menerkanya.

“Ibu mencemaskan apa?” kucoba mengorek pikirannya.

“Tidak ada, Pak.” Dia terus melipat pakaian sekolah Bunga, anak kedua kami setelah Ahmad. Selang beberapa detik, istriku lanjut berbicara.

“Hanya sedikit bingung. Sikap Ahmad semakin hari semakin berubah, Pak. Aku tidak tahu penyebabnya.”

“Apa yang berubah, Buk. Baru Minggu kemarin dia pulang kemari. Biasa saja kutengok. Tidak ada tanda-tanda mengkhawatirkan kukira.”

“Ia, Pak. Tapi, Minggu itu juga aku bertemu dengan Eka, teman sekelasnya di sana. Katanya Ahmad sering tidak tidur di kosnya. Kadang-kadang pulang tengah malam. Pernah suatu ketika katanya, Ahmad pulang dengan banyak lelaki. Dibonceng naik motor. Belum lagi katanya PR sekolahnya pernah tidak dikerjakannya. Kalau sudah hari Minggu, Ahmad dipastikan tidak pernah di kos. Bagaimana ini, Pak. Apa ini tidak jadi pikiran?” 

Aku mengerti sekarang. Ternyata istriku begitu peduli kepada anak kami selain padaku juga. Walau Ahmad disekolahkan di ibu kota kabupaten, istriku tidak pernah lupa mengawasi gerak-gerik anaknya dengan caranya sendiri. Kurasa itu memang sangat bagus dilakukan.

Hasil pengamatan istriku tersebut kujadikan pijakan untuk mengambil langkah. Seminggu setelah itu, kususul Ahmad ke kota. Aku datang tanpa memberitahunya. Supaya tampak jelas semua akar permasalahan. Aku akan menginap di salah satu rumah kenalan di kota agar aku bisa leluasa mengumpulkan fakta lapangan. Seperti detektif bukan?

Jumat sore aku ke kota. Sabtu pagi aku secara sembunyi-sembunyi memperhatikan Ahmad apakah dia pergi ke sekolah. Ternyata Ahmad pergi ke sekolah dengan tepat waktu. Kuperhatikan cara berpakaiannya. Semuanya biasa saja. Bahkan kalau aku harus jujur, anakku ini sangat rapi dan berpenampilan menarik. Setelah Ahmad pergi ke sekolah, kudatangi pemilik kosnya. Aku mau berwawancara sedikit. Hasilnya memang mendekati dengan perkataan istriku. Aku semakin gelisah. Ditambah cuaca panas, badan pun menjadi gerah. Akhirnya setelah pamit kepada pemilik kos, aku pergi ke sebuah warung dekat kos itu. Kebetulan warung itu warung nasi, aku sekalian makan siang walau masih pukul 11.00.

Aku duduk di meja paling kiri. Kosong. Di dinding ada kipas angin mengarah ke arah mejaku. Tepat sekali mengadem sambil menikmati makanan. Di meja paling kanan ada sekelompok anak muda. Jumlahnya tidak lebih lima orang. Pakaiannya tampak sama semua. Kaos hitam bertuliskan kata-kata “I love ….” Beberapa kertas dengan sketsa model baju juga terlihat jelas olehku. Satu di antara mereka malah menunjukkan berbagai foto baju ke arah temannya melalui gadgetnya. 

Mereka tampak serius berbicara. Seperti diskusi pimpinan perusahaan saja pikirku. Tapi aku tidak mau pusing. Kulahap nasi plus ayam rendang yang sudah terhidang di hadapanku. Namun, karena jarak kami tidak terlalu jauh, aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka. Beberapa kali, antara terdengar jelas, mereka menyebut “Ahmad”. Aku semakin menguping. Eitss itu tidak baik. Ada berapa nama Ahmad seantero bumi ini? Hahaha.

Selesai makan aku ambil koran yang terletak dekat meja kasir. Kucari judul berita yang menarik untuk dibaca. Kebetulan ada satu berita tentang enterpreneurship. Karena hanya ini saja yang menarik kurasa maka kubaca habis tulisan tersebut. Aku akan melanjutkan pencarian data setelah Ahmad pulang. Sekali ini aku mau dia sendiri sebagai narasumbernya. Dia tidak mungkin berbohong lagi karena sudah ada dua bukti yang kuperoleh.

Ternyata begitu tulisan itu selesai kubaca, Ahmad sudah berada di muka gang rumah kos. Hendak kuikuti dia dari belakang supaya kami jumpa di kamarnya dengan bersamaan. Tapi begitu aku mau membayar harga nasi yang kumakan di kasir, kelima anak muda yang ada di meja sebelah kanan itu langsung mengejar Ahmad. Mereka tampak buru-buru. Aku semakin penasaran. Jangan-jangan mereka mau menghajar anakku pikirku. Kupercepat mengeluarkan uang dari dompet. Kuberikan uang dua puluh ribu beserta satu lembar lima ribu. Sejurus kemudian, aku langsung menyusul mereka.

Kelima anak muda itu sudah tak kelihatan lagi. Mereka sudah masuk ke kamar Ahmad. Langkahku semakin cepat. Begitu kuucapkan salam di pintu kamar, keenamnya mereka membalas salamku dengan serentak. Seketika hatiku tenang. Kulihat Ahmad telah menukar seragam sekolahnya dengan kaos hitam yang sama dengan kelima anak muda itu. Ahmad langsung mendekatiku dan mencium tanganku. Aku dikenalkan dengan kelima anak muda itu. Kelima-limanya menyalamiku dan kelima-limanya mencium tanganku. Aku belum bisa menebak apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka berseragam sama. Hingga akhirnya, satu di antara mereka menjelaskan bahwa kelima anak muda itu adalah mahasiswa. Hanya Ahmad yang siswa. Mereka berenam ternyata membuat usaha kecil-kecilan berupa sablon baju kaos. Usaha ini ternyata ide Ahmad. Kelima anak muda itu ternyata menjadikan ide Ahmad menjadi sebuah proposal program kewirausahaan di kampusnya. Alhasil diterima. Untuk itu, mereka berenam menjalankan usaha tersebut dengan biaya dari kampus. Karena Ahmad terbilang personel yang paling keren juga, dia dijadikan model kaos mereka dan disebarkan di jejaring sosial. Usaha ini baru berjalan sebulan makanya Ahmad belum memberikan informasi kepada kami, orangtuanya. Karena usaha ini pula, Ahmad sering pergi di hari minggu dan terkadang pulang agak tengah malam karena mengejar orderan pelanggan. Oleh karena usaha itu pula, Ahmad sempat lupa mengerjakan PR-nya.

***

“Pak, burung itu ternyata membuat sangkar di pohon belimbing itu. Pohon yang ditanam Ahmad.”
Istriku yang sedang menggunakan kaos usaha Ahmad, membuyarkan lamunanku. Kulirik burung yang dimaksud istriku. Memang benar. Ada sangkar burung di dahan pohon belimbing itu. 

Sore segera datang. Aku dan istri dan juga Bunga, anak kedua kami setelah Ahmad, bergegas pulang. Dalam batin aku bersyukur atas semua anugerah yang kuperoleh.
“Ternyata istriku tidak salah memberi usul beberapa tahun silam.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar