Blogger Layouts

Halaman

Rabu, 04 April 2018

Tulisan

Bahasaku Dinomorberapakan?
Oleh Justianus Tarigan

Ikrar sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang salah satu bunyinya mengatakan bahwa "Kami menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Ikrar ini disepakati oleh pemuda Indonesia pada saat itu yang mereka juga belum tahu pasti kapan Indonesia akan merdeka. Mereka begitu yakin bahwa kesatuan bahasa akan menjadi salah satu pemersatu rakyat Indonesia.

Keyakinan itu akhirnya terus terjaga hingga sekarang. Namun entah mengapa, semakin hari bahasa Indonesia semakin kehilangan kekuatannya. Tak perlu jauh-jauh mencarinya. Komunikasi sehari-hari baik di televisi atau di pusat-pusat perbelanjaan hampir dipenuhi oleh percampuran antara bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bukan hanya itu, merebaknya sosial media turut mempengaruhi percampuran bahasa ini. Lebih jauh, status di medsos keseharian orang-orang mulai menggunakan bahasa asing. Terlepas penulisnya paham bahasa asing atau tidak. Intinya prestise menggunakan bahasa asing lebih tinggi daripada menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini diperparah lagi oleh figur publik yang lebih cenderung menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia pada tulisan status mereka di sosmed.

Yang disebutkan pada paragraf sebelumnya masih dalam tataran informal. Lalu bagaimana dengan tataran formal? Pernah saya kira Anda membaca sebuah pengumuman lowongan kerja. Lowongan kerja dimaksud masih dalam wilayah NKRI. Tapi salah satu syaratnya menyebutkan mahir berbahasa Inggris baik lisan dan tulisan. Saya, entah karena memang jurusan bahasa Indonesia atau terlalu benci pada hal kebarat-baratan, merasa tersinggung. Apakah begitu penting memahami bahasa Inggris sehingga untuk melamar pekerjaan di wilayah NKRI pun wajib paham bahasa Inggris?

Selanjutnya Anda tentu pernah juga membaca informasi beasiswa. Salah satu syarat yang menjadi menakutkan di sana adalah kemampuan bahasa Inggris. Tidak ada pengecualian untuk jurusan apa pun. Artinya untuk orang-orang yang jurusan bahasa Indonesia pun wajib paham bahasa Inggris. Lalu untuk apa mereka belajar bahasa Indonesia kalau yang dipersyaratkan yang lebih penting adalah bahasa Inggris?

Saya sering berpikir bahwa sangat rugi sekalilah mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa Indonesia itu kuliah jika tidak paham juga bahasa Inggris. Padahal mahasiswa jurusan bahasa Indonesia itu selalu menetapkan di hatinya bahwa "Aku harus bangga pada bahasa Indonesia". Ternyata kebanggaannya pada jurusannya harus dibayar mahal dengan wajib paham juga bahasa asing.

Saya jadi teringat ucapan teman yang kuliah jurusan bahasa Prancis. Suatu kesempatan, katanya, orang Inggris berjumpa dengan orang Prancis. Orang Inggris bertanya pada orang Prancis. "Apakah kamu bisa berbahasa Inggri?" tanya si Inggris. Si Prancis menjawab dengan bahasa Prancis "Biarkan orang Inggris yang belajar bahasa Prancis".

Begitulah mereka. Sikap bahasa orang Prancis sangat tinggi sehingga bahasanya selalu dia banggakan. Lalu bagaimana dengan kita? Cobalah datang ke objek wisata terkenal. Bali misalnya. Turis yang ada di sana selalu saja kita layani dengan bahasa mereka. Padahal kita ke negara mer3ka berlibur, bukan kuliah, kita tidak dilayani dengan bahasa kita.

Di akhir tulisan, saya ingin katakan bahwa selayaknyalah kita bangga pada bahasa Indonesia. Kebanggaan itu bisa diperlihatkan dengan menggunakan bahasa Indonesia pada tataran yang semestinya. Karena kalau bukan kita yang membanggakannya lalu siapa lagi?

Selasa, 03 April 2018

Tulisan

Sekelumit Kekecewaan
Oleh Justianus Tarigan

Sore hari di kota besar seperti Medan memang sering macet. Jam pulang kerja membuat jalan dipenuhi oleh kendaraan. Semua pengendara berharap cepat-cepat sampai tujuan untuk melepas lelah karena bekerja seharian. 

Harapan cepat sampai di tujuan ini yang kadang membuat perjalanan di jalan raya kurang memperhatikan rambu-rambu berlalu lintas. Berdesak-desakan. Bahkan, sebagian pengendara motor memasuki area trotoar. Lebih parah lagi, beberapa pengendara kadang terkesan ugal-ugalan berkendara sehingga dapat menyebabkan kecelakaan berlalu lintas. 

Sore ini misalnya saya hendak mau pulang tapi terjebak dalam kemacetan. Macet bukan karena tidak ada rambu lalu lintas. Jelas sekali di perempatan itu ada lampu merah. Tapi sayang sekali lampu merah itu tidak digunakan oleh semua pengendara. Lampu yang sedang menyala berwarna merah tapi tetap saja ada pengendara yang melanggar. Pada saat yang sama, pengendara dari lawan arah berjalan juga. Akhirnya jumpa di tengah semua. Dan tidak ada lagi yang bisa mengalah. Sudah terjebak di tengah semuanya. Lebih parah lagi, tak ada yang mau peduli. Yang lain mencari jalan agar segera terhindar dari kemacetan itu. Alih-alih mau menghindar, tapi semakin menambah kemacetan. Jadinya butuh waktu lama untuk melerai kemacetan ini. 

Kadang terpikir "Sampai kapan keadaan seperti ini tetap terjadi di negeri ini?" Rasanya sulit juga mencari siapa yang perlu dipersalahkan. Lebih arih jika setiap orang mengambil bagian untuk menjaga ketertiban berlalu lintas. Peraturan yang dibuat sebaik apa pun jika pengguna peraturan itu tak pernah sadar akan kewajibannya maka nasib yang sama akan tetap terulang. 


Senin, 02 April 2018

Artikel atau curhatan?

INI INDONESIA?
Oleh Justianus Tarigan

Cita-cita setiap orang berbeda-beda. Ada yang mau jadi guru, ada yang mau jadi TNI, ada yang mau jadi dokter, dan masih banyak lagi.

Cita-cita memang tidak pernah salah. Bahkan hidup tanpa cita-cita sebagian orang menganggap bagai kapal tak punya tujuan.

Begitu juga denganku. Lulus dari semua tingkat persekolahan, aku masuk ke perguruan tinggi. Dari semua perguruan tinggi yang ada, aku hanya ingin masuk ke perguruan tinggi keguruan. Alasannya jelas: mau jadi Guru. Dengan tekad kuat akhirnya diterima di salah satu kampus terbaik di Medan. Jurusan bahasa Indonesia.

Perkuliahan tidak ada masalah yang berarti kutemui. Satu dua masalah menghadang selalu saja terselesaikan dengan baik. Tentunya atas bantuanNya. Yang jadi masalah terbesar selanjutnya, selepas tamat kuliah, adalah cita-cita melanjutkan studi ke tingkat lebih tinggi.

Saat beragam beasiswa yang berseliweran di depan mata, aku hanya terpana tak berkutik melihat salah satu syaratnya, kemampuan bahasa asing. Katakan saja bahasa Inggris.

Barangkali memang butuh ekstra belajar bahasa Inggris supaya bisa mendapatkan beasiswa itu. Dan ini tak pernah kuseriuskan dalam mempelajarinya. Ini salah satu salahku juga.

Alih-alih masih mencari beasiswa, aku coba juga mengajukan lamaran sebagai pengajar bahasa Indonesia di salah satu sekolah. Tak kuduga, sungguh. Yang dites saat penerimaan guru di situ malah bahasa Inggris saja. Waw... dalih sekolahnya adalah karena sekolah menerapkan kurikulum seperti itu. Serasa aku sedang di luar negeri mencari kerjaan sebagai tenaga pendidik.

Padahal kalau mereka mau mengetes aku secara objektif terkait kemampuan mengajar dan kemampuan profesionalku sebagai guru bahasa Indonesia, bukan sombong, aku tidak pernah ragu. Aku tahu diri dalam hal ini.

Jadinya, aku tak tahu apa yang terjadi. Biarlah aku mengawali lagi. Maksudku belajar bahasa Inggris dari buku-buku yang terserak di rak lemari. Kadang aku berpikir, kalau aku sehebat orang yang jurusan bahasa Inggris dalam berkomunikasi dan aku bukan jurusan bahasa Inggris barangkali aku lebih baik jadi pengajar bahasa Indonesia saja di luar negeri. Gaji terjamin plus liburan. Kalau beruntung bisa kuliah lagi di luar negeri.  Tapi itu hanya angan hari ini.

Kadang memang terasa aneh di negeri sendiri. Saat orang barat datang ke negeri sendiri untuk berlibur, mereka membawa budayanya sendiri bahkan kita menggunakan bahasa mereka untuk melayani mereka. Sedangkan saat yang bersamaan kita ke luar negeri untuk tujuan berlibur juga, kita tidak dilayani dengan budaya kita dan bahasa kita.

Begitulah kenyataan sehingga aku berpikir apakah aku sedang di Indonesia?