Doa Anak dari Sudut
Nusantara
Oleh Justianus Tarigan
Tak pernah terbayang oleh Tatin akan tiba di desa ini.
Sebuah desa yang jauh dari tempat hidupnya selama in. Tiga pulau besar
Indonesia dilewatinya untuk sampai di desa ini. Desa yang berada dalam lingkup
Kabupaten Halmahera Utara.
Tatin tiba di sini karena mengikuti program pemerintah dalam
pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebuah program yang ditujukan kepada
sarjana pendidikan fresh graduate sehingga
memiliki semangat mengabdi dan berinovasi demi tercapainya cita-cita mulia:
maju bersama mencerdaskan Indonesia.
Tahapan demi tahapan Tatin lalui dan semuanya berakhir
dengan kata lulus sehingga dia dapat hadir di desa yang terkenal dengan
penghasil rempah-rempah ini. Walau
awalnya berat harus meninggalkan kenyamanan selama ini tapi mau dikata apa.
Semuanya tentu sudah digariskan olehNya. Begitulah Tatin menghibur hatinya saat
perpisahan dengan keluarga dan berangkat ke daerah ini.
Sebulan sudah Tatin di sini. Menyangkut masalah pribadi, Tatin
sepertinya belum menemukannya. Yang didapatinya di sini lebih dari
ekspektasinya. Orangtua asuh yang baik dan lingkungan yang nyaman. Dan satu hal
yang tidak membuatnya bosan adalah siswa-siswanya yang peduli kepadanya.
Kepedulian siswa-siswa kepada Tatin membuat Tatin juga
bersemangat mendidik mereka. Segenap kemampuan dia kerahkan agar siswanya dapat
mengerti materi pelajaran yang harus dipahami siswa sesuai kurikulum. Tak
tanggung-tanggung, Tatin kadang mengeluarkan biaya sendiri untuk membeli keperluan
mengajarnya karena tak ada bahan yang tersedia di sekolah.
Satu hal yang sampai hari ini Tatin pikirkan adalah masalah
buku. Siswa Tatin tidak memiliki buku paket. Oleh karena itu, Tatin harus menerapkan
segala taktik untuk menyiasati ketidakadaan buku ini. Yang paling sering
digunakan adalah mengajak siswa belajar di perpustakaan. Walau buku yang di
perpustakaan tidak semua sesuai dengan bidang studi yang diajarkan, setidaknya
buku bacaan itu dapat dijadikan Tatin sebagai alat untuk memudahkan siswa
memahami materi pelajaran. Untungnya, Tatin adalah guru bahasa Indonesia. Jadi,
semua buku dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan mengaitkannya dengan
materi.
Siswa di sini memang tidak memiliki buku, tetapi semangat
belajarnya yang tidak kendur sehingga Tatin tetap semangat mengajar. Apa boleh
buat, bukan salahnya juga. Memang beginilah keadaan kalau terlalu jauh dari
kota. Semoga saja pemerintah daerah bisa lebih sering meninjau agar tahu
kekurangan sekolah di desa.
Hari ini setelah jam pelajaran berakhir Tatin masih
memikirkan cara agar siswanya segera memiliki buku. Belajar di sekolah hanya
beberap jam. Selebihnya mereka di rumah. Entah apa yang mereka pelajari kalau
tidak ada buku yang dapat dibaca. Kira-kira begitulah bisikan hati Tatin.
Baru saja Tatin mau keluar dari ruangan, hujan pun mulai
turun. Tetesan air penuh rahmat ini tampaknya besar-besar sehingga suaranya
sangat nyaring saat mengenai atap sekolah. Beberapa guru—sebenarnya hanya
sedikit—sudah duluan pulang. Rumah mereka agak jauh sehingga begitu lonceng
pulang berbunyi langsung tancap gas untuk pulang.
Tatin memandangi pekarangan sekolah dari pintu ruangan.
Saking derasnya hujan, gedung yang ada di ujung tidak terlalu jelas terlihat.
Bunga-bunga yang tertanam di depan gedung bergoyang-goyang karena diterpa air
hujan. Bahkan, kambing yang dari tadi berteduh di bawah pohon ketapang berlari
ke teras gedung yang Tatin tempati. Tampaknya kambing itu terusik oleh hujan
yang terlalu deras.
Tatin tertawa seorang diri. Merasa lucu melihat tingkah
kambing yang datang menghampirinya. Setidaknya, Tatin sekarang punya teman,
walaupun itu seekor kambing.
Tiba-tiba guntur dan petir dengan sangat kuat menggelegar.
Suaranya sangat memekakkan telinga. Bukan hanya itu, cahaya petir juga sangat
terang. Sontak Tatin terkejut. Bahkan, kambing di dekatnya juga mengembik saking
kagetnya. Tatin yang awalnya takut jadinya tertawa karena ulah si kambing.
Tatin melihat jam di telepon genggamnya. Sudah menunjukkan
pukul 15.00 WIT. Hujan juga belum ada tanda berhenti. Tatin jadi bingung.
Antara menunggu hujan reda atau pulang di saat hujan begini. Akhirnya, Tatin
mengambil keputusan untuk pulang sambil bermain hujan. Perutnya tidak bisa lagi
diajak kompromi. Rasanya cacingnya sudah bermain drum band di dalam menyuarakan minta jatah siang.
Tatin melepas sepatunya. Tas yang berisi laptop juga ia
tinggalkan di sekolah. Hanya hp yang
ia baluti dengan plastik dan mengantonginya. Ia bersiap mengunci pintu sekolah.
Saat berbalik arah ke gerbang sekolah, dua sepeda motor terdengar bergerak
memasuki gerbang dan berhenti di depan gedung tempat Tatin berdiri.
“Ayo Pa. kita antar Pa
pi rumah.” Seorang siswa Tatin yang bernama Ul berbicara dengan maksud
mengantarkan Tatin ke rumah dengan memberikan tumpangan di sepeda motornya.
“Kalian memang hebat ya. Berani hujan-hujan begini hanya
untuk menjemput saya.” Tatin mengapresiasi tindakan siswanya yang sangat peduli
itu.
Yang diajak bicara tidak menanggapi karena hujan terlalu
deras. Satu siswa lagi, Ewin, menyerahkan mantel antihujan kepada Tatin.
Padahal mereka berdua tidak pakai mantel. Tatin sungguh terharu. Mereka sungguh
perhatian kepadanya. Mereka akhirnya pulang ke rumah melintasi hujan yang masih
lebat.
Sampai di depan rumah, Tatin langsung turun dari boncengan
Ul. Tatin mengajak kedua siswanya itu untuk singgah sejenak tapi mereka
menolak. Mereka hanya tertawa sambil melambaikan tangannya saat melaju pulang
ke rumah mereka masing-masing.
123
Malamnya hujan sudah berhenti. Setelah selesai makan malam, Tatin
mengeluarkan telepon genggamnya. Dilihatnya pesan masuk. Tidak ada. Kemudian
dia pandangi lamat-lamat layarnya. Mengapa tidak ada jaringan telepon pikirnya.
Padahal tadi pagi, jaringan untuk menelepon masih ada. Bahkan, dia menelepon
orangtuanya pagi tadi. Di sini ada jaringan untuk sekadar telepon dan sms. Jaringan internet yang tidak ada
sama sekali. Harus di tempat-tempat tertentu.
Tatin menanyakan hal ini kepada orangtua angkatnya yang
sedang menonton televisi bersama anaknya di ruang tengah. Ya di sini listrik
sudah ada, walaupun hanya hidup saat malam hari. Ternyata tower jaringan
telepon yang ada di dekat desa rusak karena disambar petir. Otomatis jaringan
telepon pun hilang.
Tatin hanya diam. Kesal tapi tak tahu harus bagaimana. Dia
hanya berharap semoga orangtua atau orang-orang penting dalam hidupnya tidak menelepon
selama jaringan telepon ini rusak supaya mereka tidak mengkhawatirkan dirinya.
Terlebih-lebih ibunya. Ibunya kemarin yang paling sedih saat mengantar Tatin ke
bandara.
Untuk menghilangkan rasa kesalnya, Tatin membuka-buka galeri
hp-nya. Dilihatnya satu per satu foto
yang masih tersimpan di sana. Ternyata hampir penuh memori hp
itu dikarenakan foto yang sangat banyak. Tatin ingin memindahkan foto itu ke
laptopnya tapi sayang dia baru ingat bahwa laptopnya tinggal di sekolah.
Foto di folder yang paling bawah ternyata menyimpan kenangan
bersama mantan siswanya dulu. Foto diambil saat Tatin melakukan PPL di salah
satu sekolah terbaik di kota asalnya. Tatin memandangi satu per satu foto itu.
Tampak raut wajah mereka yang gembira. Tertawa lepas setelah ujian tengah
semester.
Tatin jadi ingat kenangan bersama mantan siswanya itu.
Siswanya yang terbilang orang berada tetapi berakhlak mulia. Ingat akan
kejadian saat siswanya memberikan surprice
di hari ulang tahunnya. Padahal siswanya tidak ada yang pernah bertanya mengenai
tanggal lahirnya.
Tatin tersenyum. Jika dia kemarin menerima tawaran mengajar
di sekolah itu kembali, dia tidak akan merasakan seperti hari ini. “Semuanya
akan baik-baik saja.” Kata hati sebagai penawar gundah-gulananya keluar lagi.
Itulah. Tatin selalu percaya setiap kesulitannya akan ada jalan keluar yang
diberikanNya. Pasti.
Tiba-tiba Tatin berpikir. “Bagaimana kalau saya minta tolong
kepada mantan siswa saya itu? Mereka orang berada pasti mau membantu. Apalagi
permintaanku tidak terlalu berat bagi mereka.” Tatin tiba-tiba bersemangat.
Kesalnya tadi karena jaringan telepon hilang pergi begitu saja entah ke mana.
Tatin berlari ke kamar untuk mengambil buku dan pulpen.
Dirobeknya selembar kertas dan mulailah dia menulis di atas kertas itu. Satu
kalimat telah terangkai, tetapi menurut Tatin kurang menarik redaksinya
sehingga digantinya di kertas lain. Begitulah Tatin sampai beberapa jam.
Kemudian tulisan itu akhirnya jadi.
“Selesai. Semoga kata-kata ini menyentuh hati setiap pembacanya.”
Tatin bergumam pada dirinya sendiri.
Tatin melihat jam di dinding. Ternyata sudah saatnya tidur. Tatin
pun beranjak ke kamar dengan hati yang riang. Semoga rencanaku berhasil
pikirnya.
123
Seminggu kemudian. Saat Tatin sedang mengajar di perpustakaan,
siswanya bertanya mengenai arti ringan
tangan pada bacaan yang dibacanya. Tatin tidak menjawab pertanyaan
siswanya, tetapi meminta siswa tersebut membawakan buku Ungkapan dan Peribahasa Bahasa Indonesia yang ada di dalam lemari
buku. Kebetulan ada satu buku yang membahas itu di sana. Siswa yang diminta
tersebut memenuhi permintaan gurunya. Siswa itu dipandu Tatin untuk mencari
pengertian ringan tangan di dalam
buku itu.
“Karena Pak Budi orang berada, dia ringan tangan terhadap
tetangganya yang membutuhkan. Ini kalimatnya Pak,” kata siswa penanya.
“Nah, coba lihat di buku itu. Kira-kira mana yang cocok
artinya? Suka membantu atau suka memukul/menampar?” Tatin menyuruh siswanya mencocokkan
artinya sesuai konteks kalimat.
“Lebih cocok suka membatu, Pak. Kalau suka memukul tidak
mungkin. Siapa yang butuh dipukul?” katanya mengartikan pilihannya.
“Ya. Kamu benar. Itu yang lebih tepat. Jadi, ringan tangan
itu ada dua artinya. Kamu boleh pakai salah satu sesuai konteks kalimat kamu.” Tatin
menjelaskan sedikit supaya siswanya lebih paham.
Siswa yang bertanya akhirnya kembali ke kursinya untuk
melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba Tatin teringat surat yang ditulisnya
seminggu lalu. Tatin mencari surat itu di tasnya. Diletakkannya di atas meja.
Kemudian Tatin memfoto surat itu. Saat dilihatnya layar hp-nya dengan saksama, alangkah gembiranya hati Tatin karena
jaringan telepon sudah ada. Malah jaringannya 3G. segera Tatin hubungkan ke
internet. Tak lama kemudian, pemberitahuan dari media sosial bermunculan.
Suaranya tak henti-henti sampai-sampai siswa melihat Tatin sambil
senyum-senyum. Tatin membuka satu per satu pemberitahuan itu. Satu per satu
pula Tatin harus membalas pesan teman-temannya dari kota.
Tak buang-buang waktu karena takut tiba-tiba jaringan rusak
kembali, Tatin langsung mengirimkan surat yang telah difotonya tadi ke grup
mantan siswanya dulu. Tatin lega dan penuh harap semoga saja keinginannya
terkabulkan mantan siswanya itu. Karena Tatin tahu mantan siswanya tidak akan
menjawab pesan yang disampaikannya karena mereka tidak membawa hp ke sekolah, Tatin melanjutkan membuka
semua pemberitahuan medsosnya sambil mengawasi siswa belajar.
Tak terasa jam pelajaran bahasa Indonesia pun selesai. Tatin
menutup pembelajaran dengan menyuruh siswanya mengumpulkan tugas yang dikerjakannya
tadi untuk diperika. Begitu semua terkumpul, Tatin mengakhirinya dengan salam.
123
Ribuan kilometer dari tempat Tatin berpijak, seorang siswa
bernama Ana menjadi pembaca pertama postingan mantan gurunya, Pak Tatin. Sungguh
tersentuh hati Ana membaca tulisan yang dikirimkan gurunya. Rasa persaudaraannya
terpanggil untuk membantu saudaranya. Terlebih lagi karena yang meminta sendiri
adalah gurunya yang pernah ia kagumi.
Ana memandangi tulisan yang dikirimkan di grup itu sekali
lagi. Kemudian pandangannya berpindah arah pada beberapa foto yang juga
terlampir. Melihat kondisi sang guru dan siswanya yang sedang belajar tanpa
memiliki buku bacaan. Ana hampir menitikkan air mata. Ia menyadari bahwa
ketertinggalan di bidang pendidikan di daerah terpencil memang benar adanya. Selama
ini dia hanya mendapatkan informasi itu dari media cetak dan televisi tetapi
entah mengapa dia merasa biasa saja. Namun, kali ini, saat gurunya sendiri yang
mengirimkan foto dan surat itu, dia benar-benar bersimpati.
Ana segera mengunduh
surat dan foto-foto itu. Teman-temannya tidak akan membaca postingan Pak Tatin
karena teman-temannya sekarang sudah jarang
membuka akun facebook. Tak butuh lama, semua berkas itu telah
tersimpan di hpnya dan segera ia
unggah ke grup kelasnya di media sosial Line.
Ternyata jam-jam sekarang, pukul 19.20 WIB, adalah jam online teman-teman Ana. Masuknya postingan
Ana di grup kelasnya langsung menghebohkan grup itu. Apalagi setelah mereka
baca, sumbernya dari Pak Tatin, guru idola mereka. Siswa perempuan bahkan
memasang emotikon sedih karena rasa haru bercampur rasa rindu untuk gurunya. Yang
laki-laki tidak mau kalah. Mereka membuat emotikon penyemangat untuk gurunya.
Akhir kehebohan grup itu memutuskan bahwa semua siswa akan
berpartisipasi menyumbangkan buku bacaannya, terlebih buku pelajarannya pada
tingkat yang sudah dilewati. Buku itu akan dikumpulkan di sekolah paling lama
dua hari kemudian. Sebagai tambahan, Ana yang juga koordinator bidang jurnalistik
sekolah, akan menyampaikan kabar ini kepada teman-teman sesama ekskul
jurnalistik. Tujuannya agar lebih banyak buku yang terkumpulkan.
Berakhirnya keputusan tentang pengumpulan buku bacaan itu
maka grup medsos kelas Ana mulai redup. Satu per satu teman-temannya mengakhiri
cerita di grup. Akhirnya, benar-benar redup. Ana juga akhirnya memutus sambungan
internetnya.
123
Tiga hari setelah Tatin mengirim surat itu ke grup mantan
siswanya belum juga ada tanggapan. Tatin mulai cemas. Apa mereka tidak
mengingatku lagi ya pikirnya. Rasanya tidak katanya pula. Atau jangan-jangan
kekuatan jaringan internet di sini terlalu lemah sehingga belum terkirim? Pikirnya
lagi. Tapi kemarin sudah terkirim dengan baik kok jawabnya lagi. Tatin mengambil
hp nya dan mengeceknya untuk memastikan,
ternyata sudah terkirim dengan baik. Tatin akhirnya pasrah pada keadaan. Namun,
dalam hati, dia masih berharap semoga siswanya membaca kirimannya itu.
123
Sepuluh hari telah berlalu tapi Tatin belum juga dapat
kepastian tanggapan dari siswanya. Harapannya mulai pupus. Barangkali harus
cari cara lain pikirnya. Tapi dia juga belum tahu siapa lagi yang harus
dihubunginya. Serasa dia harus menerima keadaan ini sampai waktu akan
menghabiskan semua masa pengabdiannya.
Dalam kebingungan yang melanda, tiba-tiba telepon genggam Tatin
berbunyi. Nomor baru terlihat di layar. Tanpa pikir panjang Tatin mengangkat
panggilan telepon itu.
“Hallo. Selamat pagi” Tatin menyapa seramah mungkin.
“Selamat Pagi. Benar dengan Pak Tatin?” suara di seberang
sana terdengar seperti suara perempuan.
“Benar. Ada apa ya?” Tatin menyelidiki.
“Pak Tatin kami dari jasa pengiriman barang ingin
menginformasikan kepada Anda bahwa barang Anda berupa buku dari Ana telah
sampai di Tobelo. Kami tidak bisa mengantarkan ke alamat bapak karena
pengiriman hanya sampai di sini. Mohon diambil ke kantor.”
Tatin tak percaya berita yang barusan didengarnya. Kegembiraanya
terlalu besar sehingga yang muncul adalah tawa bersama air mata.
“Terima kasih Buk. Akan saya jemput hari ini juga.” Kata Tatin
dengan suara tercekat di kerongkongannya karena masih menahan tangis
kegembiraannya.
Tak lama setelah itu, Tatin langsung menghubungkan hp-nya ke internet. Dicarinya tempat
yang paling bagus jaringan internetnya. Untungnya Tatin di sekolah. Tibalah Tatin
di dekat perpustakaan sekolah. Sampai di sini hp Tatin sudah dibanjiri oleh pesan dari siswa-siwanya. Air mata Tatin
berjatuhan melihat pesan yang dikirimkan siswanya. Ternyata yang mereka kirim
adalah foto-foto mereka selama pengumpulan buku-buku itu sampai ke
pengirimannya. Mereka sengaja mengirimkannya di hari sampainya barang di daerah
tujuan.
Melihat Tatin menangis, siswa-siswanya bertanya-tanya. Saat siswa
sudah mengerumuni Tatin untuk mengetahui permasalahan, Tatin memperlihatkan foto-foto
yang dikirim siswanya. Sontak siswa-siswa yang ada di situ senang karena mereka
dapat salam dan buku dari saudara mereka, mantan siswa Tatin.
Hari itu juga Tatin pamit kepada kelapa sekolah untuk
menjemput buku itu. Dalam perjalanan pergi dan pulang Tatin sangat bersyukur. Akhirnya,
sedikit usaha yang dilakukannya berbuah manis. Tatin pun baru membalas semua
pesan siswanya setelah perjalanan pulang dari menjemput buku ke kota. Dia sangat
berterima kasih kepada siswanya dan tentunya juga kepada Yang Mahakuasa. Doanya
dan doa anak dari sudut Nusantara terkabulkan juga.
selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar