Blogger Layouts

Halaman

Jumat, 01 Desember 2017

cerpen



Doa Anak dari Sudut Nusantara
Oleh Justianus Tarigan

Tak pernah terbayang oleh Tatin akan tiba di desa ini. Sebuah desa yang jauh dari tempat hidupnya selama in. Tiga pulau besar Indonesia dilewatinya untuk sampai di desa ini. Desa yang berada dalam lingkup Kabupaten Halmahera Utara.

Tatin tiba di sini karena mengikuti program pemerintah dalam pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebuah program yang ditujukan kepada sarjana pendidikan fresh graduate sehingga memiliki semangat mengabdi dan berinovasi demi tercapainya cita-cita mulia: maju bersama mencerdaskan Indonesia.

Tahapan demi tahapan Tatin lalui dan semuanya berakhir dengan kata lulus sehingga dia dapat hadir di desa yang terkenal dengan penghasil rempah-rempah ini.  Walau awalnya berat harus meninggalkan kenyamanan selama ini tapi mau dikata apa. Semuanya tentu sudah digariskan olehNya. Begitulah Tatin menghibur hatinya saat perpisahan dengan keluarga dan berangkat ke daerah ini.

Sebulan sudah Tatin di sini. Menyangkut masalah pribadi, Tatin sepertinya belum menemukannya. Yang didapatinya di sini lebih dari ekspektasinya. Orangtua asuh yang baik dan lingkungan yang nyaman. Dan satu hal yang tidak membuatnya bosan adalah siswa-siswanya yang peduli kepadanya.
Kepedulian siswa-siswa kepada Tatin membuat Tatin juga bersemangat mendidik mereka. Segenap kemampuan dia kerahkan agar siswanya dapat mengerti materi pelajaran yang harus dipahami siswa sesuai kurikulum. Tak tanggung-tanggung, Tatin kadang mengeluarkan biaya sendiri untuk membeli keperluan mengajarnya karena tak ada bahan yang tersedia di sekolah.

Satu hal yang sampai hari ini Tatin pikirkan adalah masalah buku. Siswa Tatin tidak memiliki buku paket. Oleh karena itu, Tatin harus menerapkan segala taktik untuk menyiasati ketidakadaan buku ini. Yang paling sering digunakan adalah mengajak siswa belajar di perpustakaan. Walau buku yang di perpustakaan tidak semua sesuai dengan bidang studi yang diajarkan, setidaknya buku bacaan itu dapat dijadikan Tatin sebagai alat untuk memudahkan siswa memahami materi pelajaran. Untungnya, Tatin adalah guru bahasa Indonesia. Jadi, semua buku dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan mengaitkannya dengan materi.

Siswa di sini memang tidak memiliki buku, tetapi semangat belajarnya yang tidak kendur sehingga Tatin tetap semangat mengajar. Apa boleh buat, bukan salahnya juga. Memang beginilah keadaan kalau terlalu jauh dari kota. Semoga saja pemerintah daerah bisa lebih sering meninjau agar tahu kekurangan sekolah di desa. 

Hari ini setelah jam pelajaran berakhir Tatin masih memikirkan cara agar siswanya segera memiliki buku. Belajar di sekolah hanya beberap jam. Selebihnya mereka di rumah. Entah apa yang mereka pelajari kalau tidak ada buku yang dapat dibaca. Kira-kira begitulah bisikan hati Tatin.

Baru saja Tatin mau keluar dari ruangan, hujan pun mulai turun. Tetesan air penuh rahmat ini tampaknya besar-besar sehingga suaranya sangat nyaring saat mengenai atap sekolah. Beberapa guru—sebenarnya hanya sedikit—sudah duluan pulang. Rumah mereka agak jauh sehingga begitu lonceng pulang berbunyi langsung tancap gas untuk pulang. 

Tatin memandangi pekarangan sekolah dari pintu ruangan. Saking derasnya hujan, gedung yang ada di ujung tidak terlalu jelas terlihat. Bunga-bunga yang tertanam di depan gedung bergoyang-goyang karena diterpa air hujan. Bahkan, kambing yang dari tadi berteduh di bawah pohon ketapang berlari ke teras gedung yang Tatin tempati. Tampaknya kambing itu terusik oleh hujan yang terlalu deras.
Tatin tertawa seorang diri. Merasa lucu melihat tingkah kambing yang datang menghampirinya. Setidaknya, Tatin sekarang punya teman, walaupun itu seekor kambing. 

Tiba-tiba guntur dan petir dengan sangat kuat menggelegar. Suaranya sangat memekakkan telinga. Bukan hanya itu, cahaya petir juga sangat terang. Sontak Tatin terkejut. Bahkan, kambing di dekatnya juga mengembik saking kagetnya. Tatin yang awalnya takut jadinya tertawa karena ulah si kambing.
Tatin melihat jam di telepon genggamnya. Sudah menunjukkan pukul 15.00 WIT. Hujan juga belum ada tanda berhenti. Tatin jadi bingung. Antara menunggu hujan reda atau pulang di saat hujan begini. Akhirnya, Tatin mengambil keputusan untuk pulang sambil bermain hujan. Perutnya tidak bisa lagi diajak kompromi. Rasanya cacingnya sudah bermain drum band di dalam menyuarakan minta jatah siang. 

Tatin melepas sepatunya. Tas yang berisi laptop juga ia tinggalkan di sekolah. Hanya hp yang ia baluti dengan plastik dan mengantonginya. Ia bersiap mengunci pintu sekolah. Saat berbalik arah ke gerbang sekolah, dua sepeda motor terdengar bergerak memasuki gerbang dan berhenti di depan gedung tempat Tatin berdiri. 

Ayo Pa. kita antar Pa pi rumah.” Seorang siswa Tatin yang bernama Ul berbicara dengan maksud mengantarkan Tatin ke rumah dengan memberikan tumpangan di sepeda motornya.

“Kalian memang hebat ya. Berani hujan-hujan begini hanya untuk menjemput saya.” Tatin mengapresiasi tindakan siswanya yang sangat peduli itu.

Yang diajak bicara tidak menanggapi karena hujan terlalu deras. Satu siswa lagi, Ewin, menyerahkan mantel antihujan kepada Tatin. Padahal mereka berdua tidak pakai mantel. Tatin sungguh terharu. Mereka sungguh perhatian kepadanya. Mereka akhirnya pulang ke rumah melintasi hujan yang masih lebat. 

Sampai di depan rumah, Tatin langsung turun dari boncengan Ul. Tatin mengajak kedua siswanya itu untuk singgah sejenak tapi mereka menolak. Mereka hanya tertawa sambil melambaikan tangannya saat melaju pulang ke rumah mereka masing-masing. 

123

Malamnya hujan sudah berhenti. Setelah selesai makan malam, Tatin mengeluarkan telepon genggamnya. Dilihatnya pesan masuk. Tidak ada. Kemudian dia pandangi lamat-lamat layarnya. Mengapa tidak ada jaringan telepon pikirnya. Padahal tadi pagi, jaringan untuk menelepon masih ada. Bahkan, dia menelepon orangtuanya pagi tadi. Di sini ada jaringan untuk sekadar telepon dan sms. Jaringan internet yang tidak ada sama sekali. Harus di tempat-tempat tertentu. 

Tatin menanyakan hal ini kepada orangtua angkatnya yang sedang menonton televisi bersama anaknya di ruang tengah. Ya di sini listrik sudah ada, walaupun hanya hidup saat malam hari. Ternyata tower jaringan telepon yang ada di dekat desa rusak karena disambar petir. Otomatis jaringan telepon pun hilang. 

Tatin hanya diam. Kesal tapi tak tahu harus bagaimana. Dia hanya berharap semoga orangtua atau orang-orang penting dalam hidupnya tidak menelepon selama jaringan telepon ini rusak supaya mereka tidak mengkhawatirkan dirinya. Terlebih-lebih ibunya. Ibunya kemarin yang paling sedih saat mengantar Tatin ke bandara.

Untuk menghilangkan rasa kesalnya, Tatin membuka-buka galeri hp-nya. Dilihatnya satu per satu foto yang masih tersimpan di sana. Ternyata hampir penuh memori  hp itu dikarenakan foto yang sangat banyak. Tatin ingin memindahkan foto itu ke laptopnya tapi sayang dia baru ingat bahwa laptopnya tinggal di sekolah.

Foto di folder yang paling bawah ternyata menyimpan kenangan bersama mantan siswanya dulu. Foto diambil saat Tatin melakukan PPL di salah satu sekolah terbaik di kota asalnya. Tatin memandangi satu per satu foto itu. Tampak raut wajah mereka yang gembira. Tertawa lepas setelah ujian tengah semester. 

Tatin jadi ingat kenangan bersama mantan siswanya itu. Siswanya yang terbilang orang berada tetapi berakhlak mulia. Ingat akan kejadian saat siswanya memberikan surprice di hari ulang tahunnya. Padahal siswanya tidak ada yang pernah bertanya mengenai tanggal lahirnya. 

Tatin tersenyum. Jika dia kemarin menerima tawaran mengajar di sekolah itu kembali, dia tidak akan merasakan seperti hari ini. “Semuanya akan baik-baik saja.” Kata hati sebagai penawar gundah-gulananya keluar lagi. Itulah. Tatin selalu percaya setiap kesulitannya akan ada jalan keluar yang diberikanNya. Pasti.

Tiba-tiba Tatin berpikir. “Bagaimana kalau saya minta tolong kepada mantan siswa saya itu? Mereka orang berada pasti mau membantu. Apalagi permintaanku tidak terlalu berat bagi mereka.” Tatin tiba-tiba bersemangat. Kesalnya tadi karena jaringan telepon hilang pergi begitu saja entah ke mana. 

Tatin berlari ke kamar untuk mengambil buku dan pulpen. Dirobeknya selembar kertas dan mulailah dia menulis di atas kertas itu. Satu kalimat telah terangkai, tetapi menurut Tatin kurang menarik redaksinya sehingga digantinya di kertas lain. Begitulah Tatin sampai beberapa jam. Kemudian tulisan itu akhirnya jadi.

“Selesai. Semoga kata-kata ini menyentuh hati setiap pembacanya.” Tatin bergumam pada dirinya sendiri.

Tatin melihat jam di dinding. Ternyata sudah saatnya tidur. Tatin pun beranjak ke kamar dengan hati yang riang. Semoga rencanaku berhasil pikirnya.

123

Seminggu kemudian. Saat Tatin sedang mengajar di perpustakaan, siswanya bertanya mengenai arti ringan tangan pada bacaan yang dibacanya. Tatin tidak menjawab pertanyaan siswanya, tetapi meminta siswa tersebut membawakan buku Ungkapan dan Peribahasa Bahasa Indonesia yang ada di dalam lemari buku. Kebetulan ada satu buku yang membahas itu di sana. Siswa yang diminta tersebut memenuhi permintaan gurunya. Siswa itu dipandu Tatin untuk mencari pengertian ringan tangan di dalam buku itu. 

“Karena Pak Budi orang berada, dia ringan tangan terhadap tetangganya yang membutuhkan. Ini kalimatnya Pak,” kata siswa penanya.

“Nah, coba lihat di buku itu. Kira-kira mana yang cocok artinya? Suka membantu atau suka memukul/menampar?” Tatin menyuruh siswanya mencocokkan artinya sesuai konteks kalimat.

“Lebih cocok suka membatu, Pak. Kalau suka memukul tidak mungkin. Siapa yang butuh dipukul?” katanya mengartikan pilihannya.

“Ya. Kamu benar. Itu yang lebih tepat. Jadi, ringan tangan itu ada dua artinya. Kamu boleh pakai salah satu sesuai konteks kalimat kamu.” Tatin menjelaskan sedikit supaya siswanya lebih paham.

Siswa yang bertanya akhirnya kembali ke kursinya untuk melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba Tatin teringat surat yang ditulisnya seminggu lalu. Tatin mencari surat itu di tasnya. Diletakkannya di atas meja. Kemudian Tatin memfoto surat itu. Saat dilihatnya layar hp-nya dengan saksama, alangkah gembiranya hati Tatin karena jaringan telepon sudah ada. Malah jaringannya 3G. segera Tatin hubungkan ke internet. Tak lama kemudian, pemberitahuan dari media sosial bermunculan. Suaranya tak henti-henti sampai-sampai siswa melihat Tatin sambil senyum-senyum. Tatin membuka satu per satu pemberitahuan itu. Satu per satu pula Tatin harus membalas pesan teman-temannya dari kota. 

Tak buang-buang waktu karena takut tiba-tiba jaringan rusak kembali, Tatin langsung mengirimkan surat yang telah difotonya tadi ke grup mantan siswanya dulu. Tatin lega dan penuh harap semoga saja keinginannya terkabulkan mantan siswanya itu. Karena Tatin tahu mantan siswanya tidak akan menjawab pesan yang disampaikannya karena mereka tidak membawa hp ke sekolah, Tatin melanjutkan membuka semua pemberitahuan medsosnya sambil mengawasi siswa belajar.

Tak terasa jam pelajaran bahasa Indonesia pun selesai. Tatin menutup pembelajaran dengan menyuruh siswanya mengumpulkan tugas yang dikerjakannya tadi untuk diperika. Begitu semua terkumpul, Tatin mengakhirinya dengan salam. 

123

Ribuan kilometer dari tempat Tatin berpijak, seorang siswa bernama Ana menjadi pembaca pertama postingan mantan gurunya, Pak Tatin. Sungguh tersentuh hati Ana membaca tulisan yang dikirimkan gurunya. Rasa persaudaraannya terpanggil untuk membantu saudaranya. Terlebih lagi karena yang meminta sendiri adalah gurunya yang pernah ia kagumi.

Ana memandangi tulisan yang dikirimkan di grup itu sekali lagi. Kemudian pandangannya berpindah arah pada beberapa foto yang juga terlampir. Melihat kondisi sang guru dan siswanya yang sedang belajar tanpa memiliki buku bacaan. Ana hampir menitikkan air mata. Ia menyadari bahwa ketertinggalan di bidang pendidikan di daerah terpencil memang benar adanya. Selama ini dia hanya mendapatkan informasi itu dari media cetak dan televisi tetapi entah mengapa dia merasa biasa saja. Namun, kali ini, saat gurunya sendiri yang mengirimkan foto dan surat itu, dia benar-benar bersimpati.

Ana segera  mengunduh surat dan foto-foto itu. Teman-temannya tidak akan membaca postingan Pak Tatin karena teman-temannya sekarang sudah jarang  membuka akun facebook.  Tak butuh lama, semua berkas itu telah tersimpan di hpnya dan segera ia unggah ke grup kelasnya di media sosial Line. 

Ternyata jam-jam sekarang, pukul 19.20 WIB, adalah jam online teman-teman Ana. Masuknya postingan Ana di grup kelasnya langsung menghebohkan grup itu. Apalagi setelah mereka baca, sumbernya dari Pak Tatin, guru idola mereka. Siswa perempuan bahkan memasang emotikon sedih karena rasa haru bercampur rasa rindu untuk gurunya. Yang laki-laki tidak mau kalah. Mereka membuat emotikon penyemangat untuk gurunya. 

Akhir kehebohan grup itu memutuskan bahwa semua siswa akan berpartisipasi menyumbangkan buku bacaannya, terlebih buku pelajarannya pada tingkat yang sudah dilewati. Buku itu akan dikumpulkan di sekolah paling lama dua hari kemudian. Sebagai tambahan, Ana yang juga koordinator bidang jurnalistik sekolah, akan menyampaikan kabar ini kepada teman-teman sesama ekskul jurnalistik. Tujuannya agar lebih banyak buku yang terkumpulkan. 

Berakhirnya keputusan tentang pengumpulan buku bacaan itu maka grup medsos kelas Ana mulai redup. Satu per satu teman-temannya mengakhiri cerita di grup. Akhirnya, benar-benar redup. Ana juga akhirnya memutus sambungan internetnya. 

123

Tiga hari setelah Tatin mengirim surat itu ke grup mantan siswanya belum juga ada tanggapan. Tatin mulai cemas. Apa mereka tidak mengingatku lagi ya pikirnya. Rasanya tidak katanya pula. Atau jangan-jangan kekuatan jaringan internet di sini terlalu lemah sehingga belum terkirim? Pikirnya lagi. Tapi kemarin sudah terkirim dengan baik kok jawabnya lagi. Tatin mengambil hp nya dan mengeceknya untuk memastikan, ternyata sudah terkirim dengan baik. Tatin akhirnya pasrah pada keadaan. Namun, dalam hati, dia masih berharap semoga siswanya membaca kirimannya itu. 

123

Sepuluh hari telah berlalu tapi Tatin belum juga dapat kepastian tanggapan dari siswanya. Harapannya mulai pupus. Barangkali harus cari cara lain pikirnya. Tapi dia juga belum tahu siapa lagi yang harus dihubunginya. Serasa dia harus menerima keadaan ini sampai waktu akan menghabiskan semua masa pengabdiannya.

Dalam kebingungan yang melanda, tiba-tiba telepon genggam Tatin berbunyi. Nomor baru terlihat di layar. Tanpa pikir panjang Tatin mengangkat panggilan telepon itu.

“Hallo. Selamat pagi” Tatin menyapa seramah mungkin.

“Selamat Pagi. Benar dengan Pak Tatin?” suara di seberang sana terdengar seperti suara perempuan.

“Benar. Ada apa ya?” Tatin menyelidiki.

“Pak Tatin kami dari jasa pengiriman barang ingin menginformasikan kepada Anda bahwa barang Anda berupa buku dari Ana telah sampai di Tobelo. Kami tidak bisa mengantarkan ke alamat bapak karena pengiriman hanya sampai di sini. Mohon diambil ke kantor.”

Tatin tak percaya berita yang barusan didengarnya. Kegembiraanya terlalu besar sehingga yang muncul adalah tawa bersama air mata. 

“Terima kasih Buk. Akan saya jemput hari ini juga.” Kata Tatin dengan suara tercekat di kerongkongannya karena masih menahan tangis kegembiraannya.

Tak lama setelah itu, Tatin langsung menghubungkan hp-nya ke internet. Dicarinya tempat yang paling bagus jaringan internetnya. Untungnya Tatin di sekolah. Tibalah Tatin di dekat perpustakaan sekolah. Sampai di sini hp Tatin sudah dibanjiri oleh pesan dari siswa-siwanya. Air mata Tatin berjatuhan melihat pesan yang dikirimkan siswanya. Ternyata yang mereka kirim adalah foto-foto mereka selama pengumpulan buku-buku itu sampai ke pengirimannya. Mereka sengaja mengirimkannya di hari sampainya barang di daerah tujuan. 

Melihat Tatin menangis, siswa-siswanya bertanya-tanya. Saat siswa sudah mengerumuni Tatin untuk mengetahui permasalahan, Tatin memperlihatkan foto-foto yang dikirim siswanya. Sontak siswa-siswa yang ada di situ senang karena mereka dapat salam dan buku dari saudara mereka, mantan siswa Tatin. 

Hari itu juga Tatin pamit kepada kelapa sekolah untuk menjemput buku itu. Dalam perjalanan pergi dan pulang Tatin sangat bersyukur. Akhirnya, sedikit usaha yang dilakukannya berbuah manis. Tatin pun baru membalas semua pesan siswanya setelah perjalanan pulang dari menjemput buku ke kota. Dia sangat berterima kasih kepada siswanya dan tentunya juga kepada Yang Mahakuasa. Doanya dan doa anak dari sudut Nusantara terkabulkan juga.

selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar