Blogger Layouts

Halaman

Sabtu, 08 Desember 2018

Menyoal Sertifikat Pendidik pada Tes CPNS 2018

Beberapa instansi telah mengumumkan hasil seleksi kemampuan dasar (SKD) tes CPNS tahun 2018. Dari begitu banyaknya formasi, formasi guru adalah salah satu yang paling banyak. Untuk itu, pelamar untuk formasi ini juga terbilang paling membludak.

Dikeluarkannya pengumuman hasil SKD beriringan dengan informasi untuk seleksi kemampuan bidang (SKB). Yang menarik pada informasi ini adalah pelamar yang memiliki sertifikat pendidik akan mendapat nilai maksimal (100,000) pada SKB. Tentu ada syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh pemilik sertifikat pendidik, yaitu kevalidan sertifikat tersebut dan linieritas dengan formasi yang diambil. Untuk masalah valid dan linear ini, panitia dari instansi yang dilamarlah yang mengeceknya. Walau demikian, informasi ini bisa dikatakan sebagai angin segar bagi pemilik sertifikat pendidik. Dengan kata lain, yang melaju ke babak SKB dan telah mempunyai “surat keramat” ini bisa dikatakan lebih santai dibandingkan mengikuti SKD sebelumnya.

Tentunya kita sedikit berpikir mengenai alasan para pembuat kebijakan “mengistimewakan” para pemilik sertifikat pendidik ini. Pemerintah merujuk pada UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang pada pasal 8 disebutkan bahwa guru itu wajib memiliki sertifikat pendidik. Untuk itu, pengumuman itu merupakan suatu penegasan oleh pemerintah bahwa pemerintah tidak main-main lagi dalam hal pendidikan di negeri ini. Harus punya standar. Salah satunya adalah guru wajib bersertifikat pendidik.
Oleh karena itu sangat disayangkan bahwa banyak oknum yang “berkicau sumbang” mengartikan dengan dikeluarkannya pengumuman tentang sertifikat pendidik ini pada tes CPNS 2018 formasi guru telah mencederai persaingan sehat. Perlu diperjelas bahwa tidak ada yang tidak sehat dalam hal ini.

Barangkali kita perlu sedikit melirik sumber sertifikat pendidik itu bisa berada di tangan guru tertentu. Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Menpan RB tertanggal 30 November 2018 disebutkan bahwa sertifikat pendidik itu dikeluarkan oleh tiga lembaga, yakni Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Kemenag. Saya tidak akan membahas semuanya di sini. Yang saya bahas adalah sertifikat pendidik yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti. Saya berani membahas bagian ini karena saya mendapatkan sertifikat pendidik dari sini.

Sertifikat pendidik yang dikeluarkan Kemenristek dikti salah satunya adalah untuk alumni pendidikan profesi guru sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal atau disingkat PPG SM3T. Orang-orang yang menjadi alumni program ini terbilang orang-orang yang luar biasa. Luar biasanya adalah proses seleksi SM3T sangat ketat sampai wajib mengikuti pengabdian selama setahun di daerah 3T di tanah air ini. Untuk menggambarkan keadaan di daerah 3T ini tidak usah jauh-jauh. Apalagi dengan kemajuan teknologi sekarang. Cukup cari saja di internet kita bisa menemukan begitu banyak kisah yang tergambar mengenai daerah 3T. listrik yang belum 24 jam, jalan yang tidak ada, jaringan telekomunikasi yang tidak ada, dan lain-lain. Belum lagi masalah pendidikan yang sangat memprihatinkan. Itu semua dijalani oleh peserta SM3T ini dengan keikhlasan. Tidak ada kata mengeluh. Bahkan, beberapa alumni yang meninggal dunia saat melakukan pengabdiannya di daerah 3T ini. Apakah semangat peserta SM3T ini kendor setelah mendengar kabar itu? Tidak. Tidak sama sekali.

Memang benar bahwa peserta SM3T menerima biaya hidup selama pengabdian. Hal itu sebenarnya sangat wajar karena pengabdian yang tidak diimbangi pemeliharaan kesehatan oleh si pengabdi maka pengabdiannya tidak akan berjalan lancar.

Selesai melakukan pengabdian setahun di daerah 3T, peserta SM3T kembali ke daerah asalnya. Memang tidak akan bisa tergambarkan dengan tepat perasaan yang terjadi kala perpisahan itu. Semua anak didik itu merasa kehilangan. Orangtua dan guru-guru yang ada di sana juga merasakan hal sama. Peserta SM3T juga sama. Apa boleh buat. Masa pengabdian telah berakhir. Pintu program profesi guru telah menanti.

PPG dilakukan di kampus yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Peserta PPG memang diberikan beasiswa untuk pendidikan ini. Walau diberi beasiswa, peserta PPG SM3T ini tidak seenaknya saja mengikuti pendidikan. Aturan asrama telah menanti dan itu dinilai. Aturan workshop juga ada. Yang ini sering membuat kepala pusing. Praktik di sekolah mitra juga bukan main-main. Bahkan, peserta PPG SM3T ini mengemban amanah yang besar. Wajib menunjukkan ciri guru professional dalam hal empat kompetensinya. Yang paling berat adalah penilaian di ujung pendidikan ini. Uji pengetahuan namanya. Sebelumnya bernama ujian tulis nasional. Ujian ini bisa membuat peserta PPG SM3T tidak diwisuda kalau tidak lulus walaupun sudah lulus semua penilaian lainnya. Ujian ini pula yang membuat peserta PPG SM3T itu wajib belajar membahas empat kompetensi guru sekaligus dengan sempurna. Pernahkan Anda mendengar peserta PPG SM3T pulang dari kampusnya karena telah selesai masa studi tapi tidak membawa pulang sertifikat pendidik? Jawabannya sebenarnya banyak. Tapi apakah peserta PPG SM3T lakukan? Dia ujian lagi di masa selanjutnya. Sampai benar-benar lulus.

Nah, begitulah sekelumit cerita perjuangan guru yang bersertifikat pendidik itu memperoleh “kertas ajaib” itu. Orang-orang mungkin tak pernah tahu perjuangan orang lain sebelumnya sehingga dia asal berbicara seenaknya. Setiap orang memang memiliki cara dalam memberikan pelayanan untuk negeri ini walau terkadang tidak terlihat oleh umum. Walau demikian, mari sedikit bijaksana dalam memberi pendapat sehingga tidak melukai perasaan orang lain.

Guru yang memiliki sertifikat pendidik karena pernah PPG dan pernah SM3T,
Justianus Tarigan, S.Pd., Gr.

Selasa, 15 Mei 2018

Artikel

Jangan Terjebak dalam Emosi
Oleh Justianus Tarigan

Kasus pengeboman yang terjadi baru-baru ini di Surabaya adalah tindakan amoral yang dilakukan oleh oknum yang sengaja ingin memecah belah Indonesia. Bom bunuh diri yang dialamatkan ke rumah ibadah atau di mana pun sungguh perbuatan yang terkutuk. Tak ada ajaran agama yang menganjurkan demikian. Kasus ini sangat diharapkan segera dituntaskan oleh pihak kepolisian.

Masalah yang sedang trending topik di atas merebak luas di dunia maya, katakan di media sosial. Namanya juga dunia medsos, terkadang kita tersulut emosi karena mendengar adanya sebuah musibah menerpa saudara kita. Belum lagi tulisan-tulisan yang dibuat oleh beberapa orang yang terkesan memojokkan orang lain sebagai biang masalah. Kita seolah-olah tersugesti dengan tulisan-tulisan itu sehingga emosi kita juga terpancing. Tersulutnya emosi akhirnya kita tidak berpikir rasional. Ketidakrasionalan inilah kadang yang membuat kita menuliskan kembali sebuah tulisan yang isinya bernada negatif yang pada ujungnya memperkeruh masalah yang sedang terjadi. Awalnya kita  berduka karena peristiwa yang sangat memilukan diderita saudara kita selanjutnya kita terjebak oleh emosi sendiri dan memublikasikan tulisan yang bernada negatif. Kalau sudah begini, masalah yang timbul bisa lebih banyak. Padahal masalah awal pun belum selesai.

Kalau kita sedikit analisis, masalah yang sedang terjadi ini bukan sekadar menyasar korban tetapi menyasar kepentingan kerukunan hidup bersama. Alangkah senangnya mereka, orang-orang di balik kasus ini, yang menginginkan kita, Indonesia, berpecah belah. Jika kita tersulut emosi karena melihat pemberitaan di media maka artikanlah bahwa kita, semuanya orang Indonesia, emosi kepada oknum pembuat kasus amoral ini. Kita marah dan geram kepada pelakunya bukan pada embel-embel yang melekat pada diri pelaku, apakah daerahnya, sukunya, atau agamanya. Selain itu, kita harus menyadari bahwa mudahnya diri kita terpancing emosi karena berita harus kita batasi dengan tidak langsung memublikasikan kekesalan diri lewat tulisan bernada negatif di media sosial.

Akhir kata, semoga ke depannya negara kita bisa bebas dari masalah serupa. Semoga kerukunan antarumat beragama di Indonesia selalu terjaga. Semoga pihak kepolisian segera menangkap semua pelaku sampai akar-akarnya. Terakhir, turut berduka untuk saudara-saudara kita yang di Surabaya.

Rabu, 04 April 2018

Tulisan

Bahasaku Dinomorberapakan?
Oleh Justianus Tarigan

Ikrar sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang salah satu bunyinya mengatakan bahwa "Kami menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Ikrar ini disepakati oleh pemuda Indonesia pada saat itu yang mereka juga belum tahu pasti kapan Indonesia akan merdeka. Mereka begitu yakin bahwa kesatuan bahasa akan menjadi salah satu pemersatu rakyat Indonesia.

Keyakinan itu akhirnya terus terjaga hingga sekarang. Namun entah mengapa, semakin hari bahasa Indonesia semakin kehilangan kekuatannya. Tak perlu jauh-jauh mencarinya. Komunikasi sehari-hari baik di televisi atau di pusat-pusat perbelanjaan hampir dipenuhi oleh percampuran antara bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bukan hanya itu, merebaknya sosial media turut mempengaruhi percampuran bahasa ini. Lebih jauh, status di medsos keseharian orang-orang mulai menggunakan bahasa asing. Terlepas penulisnya paham bahasa asing atau tidak. Intinya prestise menggunakan bahasa asing lebih tinggi daripada menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini diperparah lagi oleh figur publik yang lebih cenderung menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia pada tulisan status mereka di sosmed.

Yang disebutkan pada paragraf sebelumnya masih dalam tataran informal. Lalu bagaimana dengan tataran formal? Pernah saya kira Anda membaca sebuah pengumuman lowongan kerja. Lowongan kerja dimaksud masih dalam wilayah NKRI. Tapi salah satu syaratnya menyebutkan mahir berbahasa Inggris baik lisan dan tulisan. Saya, entah karena memang jurusan bahasa Indonesia atau terlalu benci pada hal kebarat-baratan, merasa tersinggung. Apakah begitu penting memahami bahasa Inggris sehingga untuk melamar pekerjaan di wilayah NKRI pun wajib paham bahasa Inggris?

Selanjutnya Anda tentu pernah juga membaca informasi beasiswa. Salah satu syarat yang menjadi menakutkan di sana adalah kemampuan bahasa Inggris. Tidak ada pengecualian untuk jurusan apa pun. Artinya untuk orang-orang yang jurusan bahasa Indonesia pun wajib paham bahasa Inggris. Lalu untuk apa mereka belajar bahasa Indonesia kalau yang dipersyaratkan yang lebih penting adalah bahasa Inggris?

Saya sering berpikir bahwa sangat rugi sekalilah mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa Indonesia itu kuliah jika tidak paham juga bahasa Inggris. Padahal mahasiswa jurusan bahasa Indonesia itu selalu menetapkan di hatinya bahwa "Aku harus bangga pada bahasa Indonesia". Ternyata kebanggaannya pada jurusannya harus dibayar mahal dengan wajib paham juga bahasa asing.

Saya jadi teringat ucapan teman yang kuliah jurusan bahasa Prancis. Suatu kesempatan, katanya, orang Inggris berjumpa dengan orang Prancis. Orang Inggris bertanya pada orang Prancis. "Apakah kamu bisa berbahasa Inggri?" tanya si Inggris. Si Prancis menjawab dengan bahasa Prancis "Biarkan orang Inggris yang belajar bahasa Prancis".

Begitulah mereka. Sikap bahasa orang Prancis sangat tinggi sehingga bahasanya selalu dia banggakan. Lalu bagaimana dengan kita? Cobalah datang ke objek wisata terkenal. Bali misalnya. Turis yang ada di sana selalu saja kita layani dengan bahasa mereka. Padahal kita ke negara mer3ka berlibur, bukan kuliah, kita tidak dilayani dengan bahasa kita.

Di akhir tulisan, saya ingin katakan bahwa selayaknyalah kita bangga pada bahasa Indonesia. Kebanggaan itu bisa diperlihatkan dengan menggunakan bahasa Indonesia pada tataran yang semestinya. Karena kalau bukan kita yang membanggakannya lalu siapa lagi?

Selasa, 03 April 2018

Tulisan

Sekelumit Kekecewaan
Oleh Justianus Tarigan

Sore hari di kota besar seperti Medan memang sering macet. Jam pulang kerja membuat jalan dipenuhi oleh kendaraan. Semua pengendara berharap cepat-cepat sampai tujuan untuk melepas lelah karena bekerja seharian. 

Harapan cepat sampai di tujuan ini yang kadang membuat perjalanan di jalan raya kurang memperhatikan rambu-rambu berlalu lintas. Berdesak-desakan. Bahkan, sebagian pengendara motor memasuki area trotoar. Lebih parah lagi, beberapa pengendara kadang terkesan ugal-ugalan berkendara sehingga dapat menyebabkan kecelakaan berlalu lintas. 

Sore ini misalnya saya hendak mau pulang tapi terjebak dalam kemacetan. Macet bukan karena tidak ada rambu lalu lintas. Jelas sekali di perempatan itu ada lampu merah. Tapi sayang sekali lampu merah itu tidak digunakan oleh semua pengendara. Lampu yang sedang menyala berwarna merah tapi tetap saja ada pengendara yang melanggar. Pada saat yang sama, pengendara dari lawan arah berjalan juga. Akhirnya jumpa di tengah semua. Dan tidak ada lagi yang bisa mengalah. Sudah terjebak di tengah semuanya. Lebih parah lagi, tak ada yang mau peduli. Yang lain mencari jalan agar segera terhindar dari kemacetan itu. Alih-alih mau menghindar, tapi semakin menambah kemacetan. Jadinya butuh waktu lama untuk melerai kemacetan ini. 

Kadang terpikir "Sampai kapan keadaan seperti ini tetap terjadi di negeri ini?" Rasanya sulit juga mencari siapa yang perlu dipersalahkan. Lebih arih jika setiap orang mengambil bagian untuk menjaga ketertiban berlalu lintas. Peraturan yang dibuat sebaik apa pun jika pengguna peraturan itu tak pernah sadar akan kewajibannya maka nasib yang sama akan tetap terulang. 


Senin, 02 April 2018

Artikel atau curhatan?

INI INDONESIA?
Oleh Justianus Tarigan

Cita-cita setiap orang berbeda-beda. Ada yang mau jadi guru, ada yang mau jadi TNI, ada yang mau jadi dokter, dan masih banyak lagi.

Cita-cita memang tidak pernah salah. Bahkan hidup tanpa cita-cita sebagian orang menganggap bagai kapal tak punya tujuan.

Begitu juga denganku. Lulus dari semua tingkat persekolahan, aku masuk ke perguruan tinggi. Dari semua perguruan tinggi yang ada, aku hanya ingin masuk ke perguruan tinggi keguruan. Alasannya jelas: mau jadi Guru. Dengan tekad kuat akhirnya diterima di salah satu kampus terbaik di Medan. Jurusan bahasa Indonesia.

Perkuliahan tidak ada masalah yang berarti kutemui. Satu dua masalah menghadang selalu saja terselesaikan dengan baik. Tentunya atas bantuanNya. Yang jadi masalah terbesar selanjutnya, selepas tamat kuliah, adalah cita-cita melanjutkan studi ke tingkat lebih tinggi.

Saat beragam beasiswa yang berseliweran di depan mata, aku hanya terpana tak berkutik melihat salah satu syaratnya, kemampuan bahasa asing. Katakan saja bahasa Inggris.

Barangkali memang butuh ekstra belajar bahasa Inggris supaya bisa mendapatkan beasiswa itu. Dan ini tak pernah kuseriuskan dalam mempelajarinya. Ini salah satu salahku juga.

Alih-alih masih mencari beasiswa, aku coba juga mengajukan lamaran sebagai pengajar bahasa Indonesia di salah satu sekolah. Tak kuduga, sungguh. Yang dites saat penerimaan guru di situ malah bahasa Inggris saja. Waw... dalih sekolahnya adalah karena sekolah menerapkan kurikulum seperti itu. Serasa aku sedang di luar negeri mencari kerjaan sebagai tenaga pendidik.

Padahal kalau mereka mau mengetes aku secara objektif terkait kemampuan mengajar dan kemampuan profesionalku sebagai guru bahasa Indonesia, bukan sombong, aku tidak pernah ragu. Aku tahu diri dalam hal ini.

Jadinya, aku tak tahu apa yang terjadi. Biarlah aku mengawali lagi. Maksudku belajar bahasa Inggris dari buku-buku yang terserak di rak lemari. Kadang aku berpikir, kalau aku sehebat orang yang jurusan bahasa Inggris dalam berkomunikasi dan aku bukan jurusan bahasa Inggris barangkali aku lebih baik jadi pengajar bahasa Indonesia saja di luar negeri. Gaji terjamin plus liburan. Kalau beruntung bisa kuliah lagi di luar negeri.  Tapi itu hanya angan hari ini.

Kadang memang terasa aneh di negeri sendiri. Saat orang barat datang ke negeri sendiri untuk berlibur, mereka membawa budayanya sendiri bahkan kita menggunakan bahasa mereka untuk melayani mereka. Sedangkan saat yang bersamaan kita ke luar negeri untuk tujuan berlibur juga, kita tidak dilayani dengan budaya kita dan bahasa kita.

Begitulah kenyataan sehingga aku berpikir apakah aku sedang di Indonesia?



Minggu, 25 Maret 2018

Artikel

Logika Berbahasa
Oleh Justianus Tarigan


Barangkali sudah banyak tulisan yang membahas tentang logika berbahasa. Tentu saja setiap tulisan yang membahas topik tersebut disertai bukti konkretnya. Artinya penulisnya akan memberikan contoh sebuah tulisan yang di dalamnya terdapat kesalahan logika.

Walau demikian perlu rasanya selalu dibahas dan diingatkan mengenai logika berbahasa ini. Mengingat bahasa itu digunakan oleh penggunanya. Artinya setiap saat akan muncul sebuah ungkapan, katakanlah sebuah kalimat, yang mewakili pikiran pembuatnya. Ungkapan itu akan selalu berbeda seiring dengan tujuan ungkapan itu disampaikan.

Satu contoh ungkapan yang saya temukan dipampang di tepi jalan beberapa minggu lalu berbunyi "Jangan sampai tersentuh narkoba". Tak perlu disebutkan pihak yang memublikasikan tulisan ini. Yang pasti, tulisan ini sebenarnya berupa imbauan kepada masyarakat untuk menjauhi benda terlarang itu (narkoba). Ya, sah-sah saja kita mengatakan demikian. Tidak mungkin tulisan itu mengajak masyarakat menggunakan narkoba. Namun, secara kebahasaan, kalimat ini jelas kurang logis.

Kesalahan logika pada kalimat tersebut terletak pada kata "tersentuh". Imbuhan ter- di sini memiliki makna membentuk kata kerja pasif sehingga kata "narkoba" yang ada di belakangnya bisa menjadi objek pelaku. Sama halnya dengan sebuah kalimat tak sempurna "tertabrak mobil". Kalimat ini juga dapat diartikan bahwa mobil adalah pelakunya/penyebab. Dengan demikian, kembali ke "Jangan sampai tersentuh narkoba" mengartikan bahwa narkobalah yang melakukan perbuatan (menyentuh). Siapa yang disentuh? Tentu maksudnya adalah kita selaku masyarakat. Jadi, bisakah narkoba menyentuh masyarakat? Bukankah narkoba benda mati? Inilah penjelasan ketidaklogisan pada kalimat tersebut.

Lantas, apa seharusnya kalimat yang logis untuk kalimat tersebut? Jawabannya sebenarnya mudah. Ubah saja kata "tersentuh" menjadi "menyentuh" sehingga kalimatnya "Jangan sampai menyentuh narkoba". Kalimat ini sudah tepat mengantarkan maksudnya juga dapat diterima secara logika.

Semoga bermanfaat.

Selasa, 12 Desember 2017

Film Bukan Sekadar Hiburan
oleh Justianus Tarigan

Menjadi guru adalah pekerjaan totalitas dan punya visi yang kuat mengantarkan peserta didiknya ke jalan kesuksesan. Setidaknya itulah yang kudapatkan dari sebuah film yang kutonton hari ini yang berjudul Coach Carter. Menjadi guru adalah pekerjaan yang mampu mengindentifikasi permasalahan siswa dan dari permasalah ini guru menerapkan sebuah peraturan secara disiplin kepada siswa dan terus berinovasi memperbaiki pembelajaran demi mengantarkan siswa kepada kesuksesan.

Yang menarik bagiku dari film ini adalah Carter bukan seorang guru, tapi pelatih. Namun dia punya visi yang kuat untuk memberikan terbaik kepada siswanya. Visi utamanya bukan sekadar siswanya menang dalam pertandingan tetapi siswanya harus bisa diterima di perguruan tinggi lewat beasiswa. Aku mengikuti jalan cerita film ini dengan sebuah pertanyaan "Apa sebenarnya yang diinginkan Carter sehingga siswanya harus kuliah setelah tamat SMA?" Dalam perjalanan film itu kutemukan bahwa Carter sangat menginginkan siswanya bisa kuliah karena melihat keadaan lingkungan sekitarnya yang jika tidak kuliah maka siswanya akan terpengaruh lingkungan dan bisa berbuat kejahatan. Ini tentu tidak bisa dibiarkan oleh Carter. Dia punya keyakinan bahwa pendidikan tinggi mampu mengubah masa depan siswanya menjadi lebih baik.

Jauh dalam hati aku merenungi diri. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama di sudut desa yang sangat jauh dari kota, aku selalu berpikir bagaimana caranya aku bisa mengenal dunia luar dan hidupku tidak akan sama seperti orang-orang di sekelilingku. Tiada jalan selain lewat pendidikan. Aku berharap tapi dalam kecemasan yang tinggi "Apakah itu sampai?" dan satu per satu jalan kulalui sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan tinggi.

Apakah sudah selesai sekarang karena sudah menyelesaikan pendidikan tinggi? Jawabannya memang belum. Masih jauh jalan kaki akan terus melangkah. Kemana? Itu masih misteri. Sepanjang kaki ini kuayunkan pada jalan yang benar, arah mana pun dia akan berlabuh kutak akan menyesalinya. Biarlah cita-cita terus kugenggam dan terus berusaha dan berharap semoga suatu hari nanti akan hadir sebuah harapan yang selama ini diidam-idamkan.

Jinengdalem, 13 Des 2017