Film Bukan Sekadar Hiburan
oleh Justianus Tarigan
Menjadi guru adalah pekerjaan totalitas dan punya visi yang kuat mengantarkan peserta didiknya ke jalan kesuksesan. Setidaknya itulah yang kudapatkan dari sebuah film yang kutonton hari ini yang berjudul Coach Carter. Menjadi guru adalah pekerjaan yang mampu mengindentifikasi permasalahan siswa dan dari permasalah ini guru menerapkan sebuah peraturan secara disiplin kepada siswa dan terus berinovasi memperbaiki pembelajaran demi mengantarkan siswa kepada kesuksesan.
Yang menarik bagiku dari film ini adalah Carter bukan seorang guru, tapi pelatih. Namun dia punya visi yang kuat untuk memberikan terbaik kepada siswanya. Visi utamanya bukan sekadar siswanya menang dalam pertandingan tetapi siswanya harus bisa diterima di perguruan tinggi lewat beasiswa. Aku mengikuti jalan cerita film ini dengan sebuah pertanyaan "Apa sebenarnya yang diinginkan Carter sehingga siswanya harus kuliah setelah tamat SMA?" Dalam perjalanan film itu kutemukan bahwa Carter sangat menginginkan siswanya bisa kuliah karena melihat keadaan lingkungan sekitarnya yang jika tidak kuliah maka siswanya akan terpengaruh lingkungan dan bisa berbuat kejahatan. Ini tentu tidak bisa dibiarkan oleh Carter. Dia punya keyakinan bahwa pendidikan tinggi mampu mengubah masa depan siswanya menjadi lebih baik.
Jauh dalam hati aku merenungi diri. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama di sudut desa yang sangat jauh dari kota, aku selalu berpikir bagaimana caranya aku bisa mengenal dunia luar dan hidupku tidak akan sama seperti orang-orang di sekelilingku. Tiada jalan selain lewat pendidikan. Aku berharap tapi dalam kecemasan yang tinggi "Apakah itu sampai?" dan satu per satu jalan kulalui sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan tinggi.
Apakah sudah selesai sekarang karena sudah menyelesaikan pendidikan tinggi? Jawabannya memang belum. Masih jauh jalan kaki akan terus melangkah. Kemana? Itu masih misteri. Sepanjang kaki ini kuayunkan pada jalan yang benar, arah mana pun dia akan berlabuh kutak akan menyesalinya. Biarlah cita-cita terus kugenggam dan terus berusaha dan berharap semoga suatu hari nanti akan hadir sebuah harapan yang selama ini diidam-idamkan.
Jinengdalem, 13 Des 2017
Selasa, 12 Desember 2017
Senin, 11 Desember 2017
motivasi diri
Gerimis Malu Membuncah Jadi Badai Takut
oleh Justianus Tarigan
Kamar bersebelahan dengan musala yang setiap waktu sholat akan mengumandangkan azan belum tentu membawa kita hadir ke tempat itu. Rasanya tak mungkin menyatakan seperti ini karena terlalu dekat dengan sumber azan. Tapi begitulah mahalnya sebuah hidayah yang Dia berikan kepada hambaNya.
---///---
Aku bangun pagi karena mendengar suara kebisingan dari luar kamar. Saat kubuka mataku, sinar matahari sudah menyelinap di sela-sela kaca jendela yang tertutup oleh koran yang kutempel karena tidak ada gordennya.
Saat tangan kugerakkan perlahan menggapai telepon genggam di atas meja yang tidak jauh dariku, waktu sudah pukul enam lebih. Mataku juga masih berat untuk dibuka.
Satu hal yang kupikirkan adalah aku belum menunaikan sholat subuh. Sholat subuh yang begitu mulia terlewatkan. Padahal, kamarmu berbatasan langsung dengan musala yang kami jadikan tempat sholat. Bagaimana mungkin aku tidak bangun saat suara azan berkumandang? Bukankah suara azan selalu nyaring terdengar dari kamar ini?
Aku segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan segera menunaikan sholat subuh yang terlewatkan. Setelah salam aku mengingat-ingat. Apakah yang kulakukan sehingga aku tak bisa mendengar suara panggilan yang agung itu? Seketika aku jadi takut. Aku menyadari bahwa tidak ada jaminan aku tidak akan melewatkan sholat subuhku karena kamarku bersebelahan dengan musholla.
Aku menyadari bahwa Allah-lah yang mengingatkan dan membimbingku untuk mau mendekatkan diri kepada-Nya. Satu sisi aku jadi takut dan satu sisi aku menyesali tingkah lakuku yang terlalu sering bermaksiat kepada Allah. Bagaimana seandainya Allah tidak pernah memberikan hidayah-Nya kepadaku sehingga aku tidak bisa mendengarkan panggilan azan setiap kali waktu sholat tiba?
Sungguh aku takut. Aku malu. Aku merasa terhina karena ulahku sehingga aku menjadi jauh dari-Nya. Ya Allah ampunilah hambamu yang hina ini. Berikanlah aku petunjuk-Mu. Tuntunlah hamba-Mu ini ke jalan yang Engkah berkahi dan janganlah Engkau jauhkan hamba dari-Mu sebab Engkaulah tempatku kembali.
oleh Justianus Tarigan
Kamar bersebelahan dengan musala yang setiap waktu sholat akan mengumandangkan azan belum tentu membawa kita hadir ke tempat itu. Rasanya tak mungkin menyatakan seperti ini karena terlalu dekat dengan sumber azan. Tapi begitulah mahalnya sebuah hidayah yang Dia berikan kepada hambaNya.
---///---
Aku bangun pagi karena mendengar suara kebisingan dari luar kamar. Saat kubuka mataku, sinar matahari sudah menyelinap di sela-sela kaca jendela yang tertutup oleh koran yang kutempel karena tidak ada gordennya.
Saat tangan kugerakkan perlahan menggapai telepon genggam di atas meja yang tidak jauh dariku, waktu sudah pukul enam lebih. Mataku juga masih berat untuk dibuka.
Satu hal yang kupikirkan adalah aku belum menunaikan sholat subuh. Sholat subuh yang begitu mulia terlewatkan. Padahal, kamarmu berbatasan langsung dengan musala yang kami jadikan tempat sholat. Bagaimana mungkin aku tidak bangun saat suara azan berkumandang? Bukankah suara azan selalu nyaring terdengar dari kamar ini?
Aku segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan segera menunaikan sholat subuh yang terlewatkan. Setelah salam aku mengingat-ingat. Apakah yang kulakukan sehingga aku tak bisa mendengar suara panggilan yang agung itu? Seketika aku jadi takut. Aku menyadari bahwa tidak ada jaminan aku tidak akan melewatkan sholat subuhku karena kamarku bersebelahan dengan musholla.
Aku menyadari bahwa Allah-lah yang mengingatkan dan membimbingku untuk mau mendekatkan diri kepada-Nya. Satu sisi aku jadi takut dan satu sisi aku menyesali tingkah lakuku yang terlalu sering bermaksiat kepada Allah. Bagaimana seandainya Allah tidak pernah memberikan hidayah-Nya kepadaku sehingga aku tidak bisa mendengarkan panggilan azan setiap kali waktu sholat tiba?
Sungguh aku takut. Aku malu. Aku merasa terhina karena ulahku sehingga aku menjadi jauh dari-Nya. Ya Allah ampunilah hambamu yang hina ini. Berikanlah aku petunjuk-Mu. Tuntunlah hamba-Mu ini ke jalan yang Engkah berkahi dan janganlah Engkau jauhkan hamba dari-Mu sebab Engkaulah tempatku kembali.
Minggu, 10 Desember 2017
Kalimat
Pola Dasar Kalimat Bahasa Indonesia
Menulis merupakan aktivitas mengungkapkan buah pikiran ke dalam bentuk tertulis. Hasil menulis adalah tulisan. Tulisan tidak akan menjadi sebuah tulisan yang panjang jika tidak diawali dari sebuah kalimat. Untuk itu, ada baiknya kita mengenal pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia.
Kalimat dalam bahasa Indonesia minimal terdiri atas subjek dan predikat. Walaupun demikian, terkadang ditemukan juga kalimat yang tidak mengikuti struktur ini. Kalimat yang tidak memenuhi struktur ini disebut kalimat minor. Kalimat ini akan dibahas secara terpisah.
Dengan berdasar pada kalimat dalam bahasa Indonesia terdiri atas subjek dan predikat, pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia ada lima, yakni sebagai berikut.
1. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai kata benda
contoh: Ayahku dokter.
Ayahku dalam kalimat di atas berfungsi sebagai subjek dan dokter dalam kalimat tersebut berfungsi sebagai predikat. Ayahku tentu kata benda dan dokter juga kata benda. Sebagai tambahan, mengenal kata benda tidaklah sulit. Kata benda (nomina) adalah semua kata yang menunjukkan benda dan yang dibendakan. Salah satu penanda sebuah kata adalah kata benda dapat dilihat dari imbuhan yang melekat pada kata tersebut. Imbuhan pembentuk kata benda misalnya pe-, per-an, pe-an, ke-an, dan -an.
Dari contoh seperti di atas, maka dapat dibuat kalimat yang lain yang sama strukturnya, yaitu sebagai berikut.
2. Nenekku perawat.
3. Kakak seorang guru.
4. Ibu itu pedagang.
5. Istrinya pembuat kue.
Silakan Anda buat sendiri kalimat lain yang pola kalimatnya sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas.
2. Subjek sebagai kata banda dan predikat sebagai kata kerja
contoh: Aku sedang makan.
Kalimat di atas yang berfungsi sebagai subjek adalah aku. Yang berfungsi sebagai predikat adalah sedang makan. Akan tetapi, ada kalanya kalimat seperti ini dapat diperluas dengan menambahkan objek atau pelengkap atau keterangan setelah predikatnya. Misalnya seperti kalimat berikut.
Aku sedang makan nasi goreng.
Aku sebagai subjek, sedang makan sebagai predikat, dan nasi goreng sebagai objek. Pertanyaannya, mengapa bisa hadir objek? Jawabannya adalah karena predikat dalam kalimat ini bisa diikuti oleh objek dan bisa juga tidak. Predikat yang bisa diikuti oleh objek dan bisa juga tidak diikuti oleh objek disebut kalimat semitransitif.
Untuk mengetahui sebuah kata termasuk kata kerja dapat dilihat dari imbuhan yang melekat pada kata tersebut. Biasanya imbuhan me-, ber-, di- merupakan imbuhan pembentuk kata kerja.
Berpedoman pada pola kalimat kedua ini, kita dapat membuat kalimat lain seperti di bawah ini.
2. Anjing itu menggonggong.
3. Budi pergi ke pasar.
4. Kakek bermain bola.
5. Made sedang belajar menulis.
3. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai kata sifat
contoh: Dia sangat cantik.
Dia dalam kalimat di atas berfungsi sebagai subjek dan sangat cantik berfungsi sebagai predikat.
Untuk mengetahui sebuah kata termasuk kata sifat kita dapat mengujinya dengan menambahkan kata sangat sebelum kata tersebut atau kata sekali setelah kata tersebut.
Dengan cara yang sama kita dapat membuat kalimat lain seperti yang terlihat di bawah ini.
2. Pemandangan alam ini sungguh indah.
3. Wajahnya bersih sekali.
4. Rumahnya besar.
5. Buku ayah sangat banyak di rumah.
Nah, silakan dibuat kalimat lain yang sepola dengan kalimat di atas untuk menambah pemahaman.
4. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai bilangan
contoh: Anakku empat orang.
Kalimat di atas yang berfungsi sebagai subjek adalah anakku dan yang berfungsi sebagai predikat adalah empat orang.Sebagai informasi tambahan, kata bilangan adalah kata yang selalu menunjukkan jumlah atau urutan.
Dengan cara yang sama kita dapat membuat kalimat lain seperti berikut ini.
2. Aku pertama.
3. Kambingku lima ekor.
4. Tanah nenek sepuluh hektare.
5. Emas itu 24 karat.
5. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai kata depan
contoh: Dinda ke pasar.
Dinda berfungsi sebagai subjek pada kalimat tersebut dan ke pasar berfungsi sebagai predikat. Yang perlu diingat adalah pola kalimat seperti ini selalu menghadirkan kata depan sebagai predikatnya (di, ke, dan dari). Dengan cara yang sama kita dapat membuat kalimat lain seperti terlihat di bawah ini.
2. Semua uangku di bank.
3. Kekasihnya ke Amerika.
4. Kemarin dia ke Jakarta.
5. John dari Belanda.
Demikianlah lima pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia. Subjek dan predikat selalu akan hadir jika mengikuti pola kalimat yang baku. Subjek dalam kalimat bahasa Indonesia akan selalu diduduki oleh kata benda (nomina) sedangkan predikat bisa dipilih sesuai keinginan penulisnya.
Semoga bermanfaat.
Jumat, 01 Desember 2017
cerpen
Doa Anak dari Sudut
Nusantara
Oleh Justianus Tarigan
Tak pernah terbayang oleh Tatin akan tiba di desa ini.
Sebuah desa yang jauh dari tempat hidupnya selama in. Tiga pulau besar
Indonesia dilewatinya untuk sampai di desa ini. Desa yang berada dalam lingkup
Kabupaten Halmahera Utara.
Tatin tiba di sini karena mengikuti program pemerintah dalam
pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebuah program yang ditujukan kepada
sarjana pendidikan fresh graduate sehingga
memiliki semangat mengabdi dan berinovasi demi tercapainya cita-cita mulia:
maju bersama mencerdaskan Indonesia.
Tahapan demi tahapan Tatin lalui dan semuanya berakhir
dengan kata lulus sehingga dia dapat hadir di desa yang terkenal dengan
penghasil rempah-rempah ini. Walau
awalnya berat harus meninggalkan kenyamanan selama ini tapi mau dikata apa.
Semuanya tentu sudah digariskan olehNya. Begitulah Tatin menghibur hatinya saat
perpisahan dengan keluarga dan berangkat ke daerah ini.
Sebulan sudah Tatin di sini. Menyangkut masalah pribadi, Tatin
sepertinya belum menemukannya. Yang didapatinya di sini lebih dari
ekspektasinya. Orangtua asuh yang baik dan lingkungan yang nyaman. Dan satu hal
yang tidak membuatnya bosan adalah siswa-siswanya yang peduli kepadanya.
Kepedulian siswa-siswa kepada Tatin membuat Tatin juga
bersemangat mendidik mereka. Segenap kemampuan dia kerahkan agar siswanya dapat
mengerti materi pelajaran yang harus dipahami siswa sesuai kurikulum. Tak
tanggung-tanggung, Tatin kadang mengeluarkan biaya sendiri untuk membeli keperluan
mengajarnya karena tak ada bahan yang tersedia di sekolah.
Satu hal yang sampai hari ini Tatin pikirkan adalah masalah
buku. Siswa Tatin tidak memiliki buku paket. Oleh karena itu, Tatin harus menerapkan
segala taktik untuk menyiasati ketidakadaan buku ini. Yang paling sering
digunakan adalah mengajak siswa belajar di perpustakaan. Walau buku yang di
perpustakaan tidak semua sesuai dengan bidang studi yang diajarkan, setidaknya
buku bacaan itu dapat dijadikan Tatin sebagai alat untuk memudahkan siswa
memahami materi pelajaran. Untungnya, Tatin adalah guru bahasa Indonesia. Jadi,
semua buku dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan mengaitkannya dengan
materi.
Siswa di sini memang tidak memiliki buku, tetapi semangat
belajarnya yang tidak kendur sehingga Tatin tetap semangat mengajar. Apa boleh
buat, bukan salahnya juga. Memang beginilah keadaan kalau terlalu jauh dari
kota. Semoga saja pemerintah daerah bisa lebih sering meninjau agar tahu
kekurangan sekolah di desa.
Hari ini setelah jam pelajaran berakhir Tatin masih
memikirkan cara agar siswanya segera memiliki buku. Belajar di sekolah hanya
beberap jam. Selebihnya mereka di rumah. Entah apa yang mereka pelajari kalau
tidak ada buku yang dapat dibaca. Kira-kira begitulah bisikan hati Tatin.
Baru saja Tatin mau keluar dari ruangan, hujan pun mulai
turun. Tetesan air penuh rahmat ini tampaknya besar-besar sehingga suaranya
sangat nyaring saat mengenai atap sekolah. Beberapa guru—sebenarnya hanya
sedikit—sudah duluan pulang. Rumah mereka agak jauh sehingga begitu lonceng
pulang berbunyi langsung tancap gas untuk pulang.
Tatin memandangi pekarangan sekolah dari pintu ruangan.
Saking derasnya hujan, gedung yang ada di ujung tidak terlalu jelas terlihat.
Bunga-bunga yang tertanam di depan gedung bergoyang-goyang karena diterpa air
hujan. Bahkan, kambing yang dari tadi berteduh di bawah pohon ketapang berlari
ke teras gedung yang Tatin tempati. Tampaknya kambing itu terusik oleh hujan
yang terlalu deras.
Tatin tertawa seorang diri. Merasa lucu melihat tingkah
kambing yang datang menghampirinya. Setidaknya, Tatin sekarang punya teman,
walaupun itu seekor kambing.
Tiba-tiba guntur dan petir dengan sangat kuat menggelegar.
Suaranya sangat memekakkan telinga. Bukan hanya itu, cahaya petir juga sangat
terang. Sontak Tatin terkejut. Bahkan, kambing di dekatnya juga mengembik saking
kagetnya. Tatin yang awalnya takut jadinya tertawa karena ulah si kambing.
Tatin melihat jam di telepon genggamnya. Sudah menunjukkan
pukul 15.00 WIT. Hujan juga belum ada tanda berhenti. Tatin jadi bingung.
Antara menunggu hujan reda atau pulang di saat hujan begini. Akhirnya, Tatin
mengambil keputusan untuk pulang sambil bermain hujan. Perutnya tidak bisa lagi
diajak kompromi. Rasanya cacingnya sudah bermain drum band di dalam menyuarakan minta jatah siang.
Tatin melepas sepatunya. Tas yang berisi laptop juga ia
tinggalkan di sekolah. Hanya hp yang
ia baluti dengan plastik dan mengantonginya. Ia bersiap mengunci pintu sekolah.
Saat berbalik arah ke gerbang sekolah, dua sepeda motor terdengar bergerak
memasuki gerbang dan berhenti di depan gedung tempat Tatin berdiri.
“Ayo Pa. kita antar Pa
pi rumah.” Seorang siswa Tatin yang bernama Ul berbicara dengan maksud
mengantarkan Tatin ke rumah dengan memberikan tumpangan di sepeda motornya.
“Kalian memang hebat ya. Berani hujan-hujan begini hanya
untuk menjemput saya.” Tatin mengapresiasi tindakan siswanya yang sangat peduli
itu.
Yang diajak bicara tidak menanggapi karena hujan terlalu
deras. Satu siswa lagi, Ewin, menyerahkan mantel antihujan kepada Tatin.
Padahal mereka berdua tidak pakai mantel. Tatin sungguh terharu. Mereka sungguh
perhatian kepadanya. Mereka akhirnya pulang ke rumah melintasi hujan yang masih
lebat.
Sampai di depan rumah, Tatin langsung turun dari boncengan
Ul. Tatin mengajak kedua siswanya itu untuk singgah sejenak tapi mereka
menolak. Mereka hanya tertawa sambil melambaikan tangannya saat melaju pulang
ke rumah mereka masing-masing.
123
Malamnya hujan sudah berhenti. Setelah selesai makan malam, Tatin
mengeluarkan telepon genggamnya. Dilihatnya pesan masuk. Tidak ada. Kemudian
dia pandangi lamat-lamat layarnya. Mengapa tidak ada jaringan telepon pikirnya.
Padahal tadi pagi, jaringan untuk menelepon masih ada. Bahkan, dia menelepon
orangtuanya pagi tadi. Di sini ada jaringan untuk sekadar telepon dan sms. Jaringan internet yang tidak ada
sama sekali. Harus di tempat-tempat tertentu.
Tatin menanyakan hal ini kepada orangtua angkatnya yang
sedang menonton televisi bersama anaknya di ruang tengah. Ya di sini listrik
sudah ada, walaupun hanya hidup saat malam hari. Ternyata tower jaringan
telepon yang ada di dekat desa rusak karena disambar petir. Otomatis jaringan
telepon pun hilang.
Tatin hanya diam. Kesal tapi tak tahu harus bagaimana. Dia
hanya berharap semoga orangtua atau orang-orang penting dalam hidupnya tidak menelepon
selama jaringan telepon ini rusak supaya mereka tidak mengkhawatirkan dirinya.
Terlebih-lebih ibunya. Ibunya kemarin yang paling sedih saat mengantar Tatin ke
bandara.
Untuk menghilangkan rasa kesalnya, Tatin membuka-buka galeri
hp-nya. Dilihatnya satu per satu foto
yang masih tersimpan di sana. Ternyata hampir penuh memori hp
itu dikarenakan foto yang sangat banyak. Tatin ingin memindahkan foto itu ke
laptopnya tapi sayang dia baru ingat bahwa laptopnya tinggal di sekolah.
Foto di folder yang paling bawah ternyata menyimpan kenangan
bersama mantan siswanya dulu. Foto diambil saat Tatin melakukan PPL di salah
satu sekolah terbaik di kota asalnya. Tatin memandangi satu per satu foto itu.
Tampak raut wajah mereka yang gembira. Tertawa lepas setelah ujian tengah
semester.
Tatin jadi ingat kenangan bersama mantan siswanya itu.
Siswanya yang terbilang orang berada tetapi berakhlak mulia. Ingat akan
kejadian saat siswanya memberikan surprice
di hari ulang tahunnya. Padahal siswanya tidak ada yang pernah bertanya mengenai
tanggal lahirnya.
Tatin tersenyum. Jika dia kemarin menerima tawaran mengajar
di sekolah itu kembali, dia tidak akan merasakan seperti hari ini. “Semuanya
akan baik-baik saja.” Kata hati sebagai penawar gundah-gulananya keluar lagi.
Itulah. Tatin selalu percaya setiap kesulitannya akan ada jalan keluar yang
diberikanNya. Pasti.
Tiba-tiba Tatin berpikir. “Bagaimana kalau saya minta tolong
kepada mantan siswa saya itu? Mereka orang berada pasti mau membantu. Apalagi
permintaanku tidak terlalu berat bagi mereka.” Tatin tiba-tiba bersemangat.
Kesalnya tadi karena jaringan telepon hilang pergi begitu saja entah ke mana.
Tatin berlari ke kamar untuk mengambil buku dan pulpen.
Dirobeknya selembar kertas dan mulailah dia menulis di atas kertas itu. Satu
kalimat telah terangkai, tetapi menurut Tatin kurang menarik redaksinya
sehingga digantinya di kertas lain. Begitulah Tatin sampai beberapa jam.
Kemudian tulisan itu akhirnya jadi.
“Selesai. Semoga kata-kata ini menyentuh hati setiap pembacanya.”
Tatin bergumam pada dirinya sendiri.
Tatin melihat jam di dinding. Ternyata sudah saatnya tidur. Tatin
pun beranjak ke kamar dengan hati yang riang. Semoga rencanaku berhasil
pikirnya.
123
Seminggu kemudian. Saat Tatin sedang mengajar di perpustakaan,
siswanya bertanya mengenai arti ringan
tangan pada bacaan yang dibacanya. Tatin tidak menjawab pertanyaan
siswanya, tetapi meminta siswa tersebut membawakan buku Ungkapan dan Peribahasa Bahasa Indonesia yang ada di dalam lemari
buku. Kebetulan ada satu buku yang membahas itu di sana. Siswa yang diminta
tersebut memenuhi permintaan gurunya. Siswa itu dipandu Tatin untuk mencari
pengertian ringan tangan di dalam
buku itu.
“Karena Pak Budi orang berada, dia ringan tangan terhadap
tetangganya yang membutuhkan. Ini kalimatnya Pak,” kata siswa penanya.
“Nah, coba lihat di buku itu. Kira-kira mana yang cocok
artinya? Suka membantu atau suka memukul/menampar?” Tatin menyuruh siswanya mencocokkan
artinya sesuai konteks kalimat.
“Lebih cocok suka membatu, Pak. Kalau suka memukul tidak
mungkin. Siapa yang butuh dipukul?” katanya mengartikan pilihannya.
“Ya. Kamu benar. Itu yang lebih tepat. Jadi, ringan tangan
itu ada dua artinya. Kamu boleh pakai salah satu sesuai konteks kalimat kamu.” Tatin
menjelaskan sedikit supaya siswanya lebih paham.
Siswa yang bertanya akhirnya kembali ke kursinya untuk
melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba Tatin teringat surat yang ditulisnya
seminggu lalu. Tatin mencari surat itu di tasnya. Diletakkannya di atas meja.
Kemudian Tatin memfoto surat itu. Saat dilihatnya layar hp-nya dengan saksama, alangkah gembiranya hati Tatin karena
jaringan telepon sudah ada. Malah jaringannya 3G. segera Tatin hubungkan ke
internet. Tak lama kemudian, pemberitahuan dari media sosial bermunculan.
Suaranya tak henti-henti sampai-sampai siswa melihat Tatin sambil
senyum-senyum. Tatin membuka satu per satu pemberitahuan itu. Satu per satu
pula Tatin harus membalas pesan teman-temannya dari kota.
Tak buang-buang waktu karena takut tiba-tiba jaringan rusak
kembali, Tatin langsung mengirimkan surat yang telah difotonya tadi ke grup
mantan siswanya dulu. Tatin lega dan penuh harap semoga saja keinginannya
terkabulkan mantan siswanya itu. Karena Tatin tahu mantan siswanya tidak akan
menjawab pesan yang disampaikannya karena mereka tidak membawa hp ke sekolah, Tatin melanjutkan membuka
semua pemberitahuan medsosnya sambil mengawasi siswa belajar.
Tak terasa jam pelajaran bahasa Indonesia pun selesai. Tatin
menutup pembelajaran dengan menyuruh siswanya mengumpulkan tugas yang dikerjakannya
tadi untuk diperika. Begitu semua terkumpul, Tatin mengakhirinya dengan salam.
123
Ribuan kilometer dari tempat Tatin berpijak, seorang siswa
bernama Ana menjadi pembaca pertama postingan mantan gurunya, Pak Tatin. Sungguh
tersentuh hati Ana membaca tulisan yang dikirimkan gurunya. Rasa persaudaraannya
terpanggil untuk membantu saudaranya. Terlebih lagi karena yang meminta sendiri
adalah gurunya yang pernah ia kagumi.
Ana memandangi tulisan yang dikirimkan di grup itu sekali
lagi. Kemudian pandangannya berpindah arah pada beberapa foto yang juga
terlampir. Melihat kondisi sang guru dan siswanya yang sedang belajar tanpa
memiliki buku bacaan. Ana hampir menitikkan air mata. Ia menyadari bahwa
ketertinggalan di bidang pendidikan di daerah terpencil memang benar adanya. Selama
ini dia hanya mendapatkan informasi itu dari media cetak dan televisi tetapi
entah mengapa dia merasa biasa saja. Namun, kali ini, saat gurunya sendiri yang
mengirimkan foto dan surat itu, dia benar-benar bersimpati.
Ana segera mengunduh
surat dan foto-foto itu. Teman-temannya tidak akan membaca postingan Pak Tatin
karena teman-temannya sekarang sudah jarang
membuka akun facebook. Tak butuh lama, semua berkas itu telah
tersimpan di hpnya dan segera ia
unggah ke grup kelasnya di media sosial Line.
Ternyata jam-jam sekarang, pukul 19.20 WIB, adalah jam online teman-teman Ana. Masuknya postingan
Ana di grup kelasnya langsung menghebohkan grup itu. Apalagi setelah mereka
baca, sumbernya dari Pak Tatin, guru idola mereka. Siswa perempuan bahkan
memasang emotikon sedih karena rasa haru bercampur rasa rindu untuk gurunya. Yang
laki-laki tidak mau kalah. Mereka membuat emotikon penyemangat untuk gurunya.
Akhir kehebohan grup itu memutuskan bahwa semua siswa akan
berpartisipasi menyumbangkan buku bacaannya, terlebih buku pelajarannya pada
tingkat yang sudah dilewati. Buku itu akan dikumpulkan di sekolah paling lama
dua hari kemudian. Sebagai tambahan, Ana yang juga koordinator bidang jurnalistik
sekolah, akan menyampaikan kabar ini kepada teman-teman sesama ekskul
jurnalistik. Tujuannya agar lebih banyak buku yang terkumpulkan.
Berakhirnya keputusan tentang pengumpulan buku bacaan itu
maka grup medsos kelas Ana mulai redup. Satu per satu teman-temannya mengakhiri
cerita di grup. Akhirnya, benar-benar redup. Ana juga akhirnya memutus sambungan
internetnya.
123
Tiga hari setelah Tatin mengirim surat itu ke grup mantan
siswanya belum juga ada tanggapan. Tatin mulai cemas. Apa mereka tidak
mengingatku lagi ya pikirnya. Rasanya tidak katanya pula. Atau jangan-jangan
kekuatan jaringan internet di sini terlalu lemah sehingga belum terkirim? Pikirnya
lagi. Tapi kemarin sudah terkirim dengan baik kok jawabnya lagi. Tatin mengambil
hp nya dan mengeceknya untuk memastikan,
ternyata sudah terkirim dengan baik. Tatin akhirnya pasrah pada keadaan. Namun,
dalam hati, dia masih berharap semoga siswanya membaca kirimannya itu.
123
Sepuluh hari telah berlalu tapi Tatin belum juga dapat
kepastian tanggapan dari siswanya. Harapannya mulai pupus. Barangkali harus
cari cara lain pikirnya. Tapi dia juga belum tahu siapa lagi yang harus
dihubunginya. Serasa dia harus menerima keadaan ini sampai waktu akan
menghabiskan semua masa pengabdiannya.
Dalam kebingungan yang melanda, tiba-tiba telepon genggam Tatin
berbunyi. Nomor baru terlihat di layar. Tanpa pikir panjang Tatin mengangkat
panggilan telepon itu.
“Hallo. Selamat pagi” Tatin menyapa seramah mungkin.
“Selamat Pagi. Benar dengan Pak Tatin?” suara di seberang
sana terdengar seperti suara perempuan.
“Benar. Ada apa ya?” Tatin menyelidiki.
“Pak Tatin kami dari jasa pengiriman barang ingin
menginformasikan kepada Anda bahwa barang Anda berupa buku dari Ana telah
sampai di Tobelo. Kami tidak bisa mengantarkan ke alamat bapak karena
pengiriman hanya sampai di sini. Mohon diambil ke kantor.”
Tatin tak percaya berita yang barusan didengarnya. Kegembiraanya
terlalu besar sehingga yang muncul adalah tawa bersama air mata.
“Terima kasih Buk. Akan saya jemput hari ini juga.” Kata Tatin
dengan suara tercekat di kerongkongannya karena masih menahan tangis
kegembiraannya.
Tak lama setelah itu, Tatin langsung menghubungkan hp-nya ke internet. Dicarinya tempat
yang paling bagus jaringan internetnya. Untungnya Tatin di sekolah. Tibalah Tatin
di dekat perpustakaan sekolah. Sampai di sini hp Tatin sudah dibanjiri oleh pesan dari siswa-siwanya. Air mata Tatin
berjatuhan melihat pesan yang dikirimkan siswanya. Ternyata yang mereka kirim
adalah foto-foto mereka selama pengumpulan buku-buku itu sampai ke
pengirimannya. Mereka sengaja mengirimkannya di hari sampainya barang di daerah
tujuan.
Melihat Tatin menangis, siswa-siswanya bertanya-tanya. Saat siswa
sudah mengerumuni Tatin untuk mengetahui permasalahan, Tatin memperlihatkan foto-foto
yang dikirim siswanya. Sontak siswa-siswa yang ada di situ senang karena mereka
dapat salam dan buku dari saudara mereka, mantan siswa Tatin.
Hari itu juga Tatin pamit kepada kelapa sekolah untuk
menjemput buku itu. Dalam perjalanan pergi dan pulang Tatin sangat bersyukur. Akhirnya,
sedikit usaha yang dilakukannya berbuah manis. Tatin pun baru membalas semua
pesan siswanya setelah perjalanan pulang dari menjemput buku ke kota. Dia sangat
berterima kasih kepada siswanya dan tentunya juga kepada Yang Mahakuasa. Doanya
dan doa anak dari sudut Nusantara terkabulkan juga.
selesai
Kamis, 23 November 2017
cerpen
Mengulum Kata
oleh Justianus Tarigan
Suatu pagi di tempat piket sebuah sekolah aku duduk dengan
buku di hadapanku. Hari itu aku bertindak sebagai petugas piket. Karena belum
ada pekerjaan yang dapat kulakukan—katakan saja melayani siapa pun—aku
menikmati sajian buku yang sengaja kubawa setiap harinya. La Tahzan judulnya.
Tak kusadari seseorang duduk tidak jauh dari tempat aku
duduk. Dengan posisi duduk yang kukira sangat santai, dia diam saja. Tanpa
sengaja kutolehkan ke arahnya karena kebetulan ada orang yang lewat. Melihat
dia di sana aku pun menegurnya.
“Selamat pagi Pak.” Aku sedikit menunjukkan keramahanku. Tak
tanggung-tanggung senyum tulus pun kukembangkan di wajah.
“Selamat pagi.” Dia menjawab salam hangatku berikut dengan
senyum kecil di sudut bibirnya.
“Petugas piket ya hari ini?” dia bertanya.
Kupikir itu hanya basa-basi. Sudah jelas sekali aku duduk di
meja piket ditambah ada tulisan di atas meja “Guru Piket”. Walau begitu aku
tetap menjawab.
“Iya Pak. Hari ini giliran saya yang bertugas.” Jawabku
seperlunya. Karena merasa sungkan kepadanya, kututup buku yang dari tadi
kubaca. Kuarahkan pandanganku dan perhatianku seutuhnya pada calon teman
berbincangku ini.
Jujur ini adalah perbincanganku pertama dengan guru-guru di
sini. Maksudku perbincangan pertama yang nonfomal karena sebelumnya sudah ada
perbincangan formal dengan kepala sekolah berikut dengan beberapa jajaran di
sekolah ini.
Sepertinya aku tidak salah menutup bukuku tadi. Mengetahui
responsku baik untuk diajak berbincang-bincang, ditodongnya aku dengan sejumlah
pertanyaan.
“Apa yang Kamu rasakan selama beberapa hari di sekolah ini?”
katanya.
Aku tersenyum. Ini bukan pertanyaan berat pikirku. Namun, di
dalam hati aku mengingat bahwa lawan bicara yang bertanya tentang sebuah
perspektif kadang menjerat kita dengan jawaban sendiri. Dan aku tak mau
jawabanku menghancurkan diriku sendiri. Itu juga mengenai kekonsistenan diri
pada sebuah pandangan.
“Saya senang Pak.” Jawabku singkat. “Saya senang dengan
kondisi sekolah yang peraturannya mengikat dan teratur pada segala lini di
sekolah.”
“O.. begitu ya.” Katanya setelah mendengar respons yang
kuberikan.
Aku melanjutkan “Saya juga suka dengan siswanya yang ramah.
Maksudku, siswa yang kutemui semuanya ramah. Selain itu, saya suka sekolah yang
banyak kegiatan ekstrakurikulernya. Jadi, siswa tidak bosan hanya belajar
materi sepanjang hari. Karena sebelumnya saya pernah mengajar di sebuah sekolah
yang ekstrakurikulernya banyak dan siswanya nampak dapat mengembangkan minat
dan bakatnya pada kegiatan ekstra tersebut”. Kali ini jawabanku agak panjang.
Kuperhatikan lawan bicaraku hanya manggut-manggut
mendengarkan. Namun bagiku, yang kusampaikan adalah benar adanya. Tidak karena
aku praktik di sini sehingga aku memuji sekolah ini dengan setinggi langit.
Anggukannya juga kuartikan bahwa yang kusampaikan merupakan kebenaran yang
bukan dibuat-buat.
“kamu kan orang Medan. Mana lebih dekat ke Aceh atau ke
Padang?” kali ini dia bertanya di luar dari konteks pembicaraan sebelumnya.
“Benar Pak. Tapi saya belum pernah ke Padang.” Saya mengakui
jujur. “Tapi kalau dari rumah orangtua saya ke Aceh hanya dua puluh menit.
Orangtua saya tinggal di perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh Tenggara. Tapi
kalau ke Banda Aceh, lumayan jauh Pak. Maksud saya melalui jalur darat.”
“Ada berapa jam kira-kira?” potongnya.
“Ya. Dua belas jam-an Pak.”
“Jauh sekali ya” katanya.
Kali ini aku tak berkomentar.
“Begitulah keberagaman kita ya” katanya. “Tapi menurut saya”
katanya menyambungkan “Kita tidak akan pernah maju kalau kita terus
mempermasalahkan soal agama dan keyakinan. Itu kan ranah pribadi. Setiap orang
memiliki pandangan yang berbeda terhadap hal ini. Orang sudah sampai ke Bulan
sedangkan kita masih mempermasalahkan hal ini.” Dia sepertinya membawa
perbincangan kami jauh di luar yang kuduga. Suasana pagi yang masih semangat
terlihat pada pernyataannya kali ini.
Ini mungkin juga ada pengaruhnya dari isu yang sendang
berkembang di tengah masyarakat pikirku. Sebagai guru aku mengapresiasi beliau
mengikuti perkembangan berita tanah air. Di sisi lain aku juga berpikir bahwa semoga
dia bisa membaca dan memahami berita dengan jeli.
Aku pada saat itu tak mengomentari pendapat dia. Kalau nanti
kuperpanjang bahkan tak ada juga kesimpulannya. Untuk beberapa saat aku diam.
Diamku tidak berarti aku tak mampu menjawab juga. Toh kalau dia punya pandangan
berarti aku juga bisa memiliki pemikiran. Mengenai sependapat dan beda pendapat
itu tergantung cara menyikapinya. Tapi, karena pandanganku sedikit berbeda
dengannya, dan daripada menimbulkan ketegangan, aku lebih baik memendam
jawabanku saja.
Akhirnya, entah karena apa dia pamit.
“Baiklah. Sampai di sini dulu cerita kita. Aku ke sana dulu
ya.” Dia menunjuk ke arah yang aku tak paham maksudnya. Ke kantin atau ke
ruangan guru atau ke kelas. Samar. Atau boleh jadi, itu hanya jurus perpisahan.
Katakan saja basa basi.
Sepeninggalnya aku kembali membuka lembaran buku yang tadi
kuangguri. Buat apa bersedih kata buku ini pikirku kembali. La tahzan.
Kubuka lembaran yang sudah kuberi tali pembatas. Aku penuh
khusyuk membacanya. Terlelap pada lembaran-lembaran yang penuh inspirasi.
123
Di rumah saat aku ingin menyuci pakaian, tiba-tiba terbersit
kembali bincangku dengan guru yang kemarin di meja piket. “Orang sudah ke Bulan
sedangkan kita masih begini-begini saja mempermasalahkan hal ini”. Kalimatnya
kembali terngiang.
Otakku kubiarkan mencerna kalimat itu. Tanganku dengan sigap
menyikat bagian baju yang kurasa perlu disikat. Setelah itu berpindah pada baju
yang lain. Tak terasa cucianku hampir selesai.
“Memangnya orang pergi ke Bulan mau ngapain?” tiba-tiba
muncul pertanyaan itu.
“Bukankah ujung-ujungnya nanti yang didapat adalah kemegahan
dan kebesaran Sang Pencipta? Kalau pun ditemukan hal-hal luar biasa lainnya dan
itu pasti hanya untuk kelangsungan hidup manusia. Jadi sangat memalukankah
kalau sebuah bangsa tidak pernah sampai ke Bulan?”
Ah otakku sungguh berpikir dan mencernanya sampai aku
sendiri tak mengetahui maksud itu.
“Maka orang-orang yang mempermalasahkan keagamaan itu adalah
orang-orang yang mengetahui bahwa agama atau ketuhanan itu adalah yang paling
penting. Ini soal akidah. Bagi seorang muslim yang paham agamanya maka dia
pasti merasa tersinggung bahwa untuk apa mempermasalahkan agama. Bagi muslim
yang tahu, agama dan ketuhanan adalah jalan kehidupannya. Dalam konteks orang
sudah sampai ke Bulan sendiri adalah tidak lepas dari ketuhanan. Maksudnya,
kalau pun orang sudah sampai ke Bulan lalu apa yang diperolehnya? Bukankah
salah satunya adalah rasa takjub akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan
sebuah benda yang luar biasa. Dan dari sana juga dia akan melihat bagaimana
keluarbiasaan bumi dipandang. Dan itu semua akan bermuara pada satu hal.
Tuhanlah yang menciptakan itu semua. Maka sepatutnyalah manusia tunduk dan
patuh kepada Tuhan. Dan jalan kebenaran menuju Tuhan adalah yang paling sering
diperdebatkan. Dan sebagai seorang muslim, dia akan menjawab sesungguhnya hanya
Islamlah agama yang ada di sisi Allah SWT.”
Otakku memberi jawaban atas semua yang dipikirkannya. Aku
sekali lagi berpikir dan bersyukur “Otak yang kecil yang bersarang di kepalaku
ini adalah salah satu mahakarya Tuhan yang menuntun setiap orang menuju jalan
kebenaran. Tentunya dengan arahan dari semua pemberi. Allah SWT.”
selesai
Jinengdalem, 30 Juli 2017
Antara Totalitas, Estetika, dan Etika
oleh Justianus Tarigan
Pada tahun 2012 lalu saya pernah mengikuti satu forum
pertemuan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Surabaya. Salah satu
agenda yang harus diikuti oleh peserta adalah pertunjukan sastra yang dibawakan
oleh masing-masing peserta yang hadir. Yang hadir berasal dari berbagai perguruan
tinggi di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan pada malam hari.
Saya pada saat itu sangat bersemangat sekali ingin melihat
kebolehan peserta lain dalam bersastra. Saya tidak terlalu pintar dalam
bersastra. Untuk itu, saya mengambil posisi terbilang dekat dengan panggung.
Menarik memang saat kegiatan itu mulai berlangsung. Dengan bergilir,
masing-masing peserta mewakili kampusnya unjuk kebolehan di panggung. Ada yang
kocak caranya. Ada yang serius dan mengundang kesan mistis. Ada pula yang lari
dari tema acara—bersastra—eh dia bernyanyi. Semuanya bagi saya tidak masalah. Toh,
ini malam bersastra. Anggap saja dia bernyanyi adalah bagian musikalisasi
puisi.
Akhirnya tiba saatnya penampilan teater. Seperti biasa,
panggung menjadi gelap terlebih dahulu. Kemudian salah satu lampu dihidupkan. Diiringi
oleh musik, pemain mulai menampilkan kebolehannya berteater. Dan tak pernah
kuduga, salah satu personel teater tersebut muncul dari belakang kami—penonton.
Dengan bertelanjangkan dada dan bertopeng—dia lelaki—dan sehelai kain yang
sangat pendek terikat asalan di antara pusat dan pahanya. Dia mulai bergerak
seperti kesusahan ke panggung. Dalam peran seperti ini saya dan penonton yang
lain masih belum bisa menebak apakah yang akan dilakukan oleh pemeran. Suara penonton
pun senyap. Hanya suara music pengiring yang terdengar. Sampai di atas panggung
dia dengan berani melepaskan kain yang menempel di antara pusat dan pahanya
tadi sambil berteriak sebuah kata yang pada saat itu tidak jelas lagi kudengar
karena sontak disahuti oleh teriakan para mahasiswi yang hadir saat itu. Dan tak
berselang lama, adegan teater pun berakhir.
Lama saya berpikir apakah yang sedang diteatrikalkan oleh
pemeran. Dalam benak saya, barangkali dia mengangkat isu-isu gender. Tapi,
entah mengapa, hati saya mengatakan “Apakah tidak ada lagi cara lain yang dapat
digunakan selain seperti itu?” Walau aksi teater tadi kesannya sedikit vulgar,
hampir seluruh peserta merekam kegiatan itu. Dan kalau boleh saya katakan,
memang penampilan teatrikal itu tadi yang paling mengundang perhatian lebih di
antara yang lain karena kemasannya yang menarik.
Dalam perjalanan pulang, saya tetap berpikir “Apa yang
membuat saya terkesan sekaligus kurang berterima di hati saya dari teater itu?”
Setelah saya telisik, benar bahwa pemerannya amat total dalam berteater dan di
sanalah letak salah satu estetikanya. Di sisi lain, di sana pulalah terdapat
kekurangan etika sehingga hati saya secara pribadi mengatakan untuk menolaknya.
Selasa, 17 Oktober 2017
Dialog Seorang Hamba dengan Angin
oleh Justianus Tarigan
kemarin kuterima kabar dari seorang sahabat lama dari desa sudut bumi
kabarnya segenap tanah dan air di sana kaya berlimpah ruah
tak tanggung pula dia mengirimkan sepotong gambar desanya yang indah sekali
tak kalah dengan gambar yang kulihat dipampang di tivi dan majalah
dari cerita sahabat ini, aku berpikir apa gerangan yang diinginkannya
bukankah keadaannya terlalu kaya?
harusnya dia tak berkekurangan
aku pun menunggu sampai habis ceritanya
tapi dia memang pandai betul bercerita
menggiringku pada asanya sesungguhnya
katanya di akhir ceritanya "Aku perlu belajar dari orang pandai untuk mengelola kekayaan desaku. Sebab kalau tidak, desaku akan tinggal sejarah setelah habis kekayaanya dikeruk pendatang."
aku tak mampu membalas pintanya sebab aku hanya angin tumpangan berhilir mudik di antara ceritanya.
#mengenang masa pengabdian sm3t
/
oleh Justianus Tarigan
kemarin kuterima kabar dari seorang sahabat lama dari desa sudut bumi
kabarnya segenap tanah dan air di sana kaya berlimpah ruah
tak tanggung pula dia mengirimkan sepotong gambar desanya yang indah sekali
tak kalah dengan gambar yang kulihat dipampang di tivi dan majalah
dari cerita sahabat ini, aku berpikir apa gerangan yang diinginkannya
bukankah keadaannya terlalu kaya?
harusnya dia tak berkekurangan
aku pun menunggu sampai habis ceritanya
tapi dia memang pandai betul bercerita
menggiringku pada asanya sesungguhnya
katanya di akhir ceritanya "Aku perlu belajar dari orang pandai untuk mengelola kekayaan desaku. Sebab kalau tidak, desaku akan tinggal sejarah setelah habis kekayaanya dikeruk pendatang."
aku tak mampu membalas pintanya sebab aku hanya angin tumpangan berhilir mudik di antara ceritanya.
#mengenang masa pengabdian sm3t
/
Langganan:
Postingan (Atom)