Bahasaku Dinomorberapakan?
Oleh Justianus Tarigan
Ikrar sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang salah satu bunyinya mengatakan bahwa "Kami menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Ikrar ini disepakati oleh pemuda Indonesia pada saat itu yang mereka juga belum tahu pasti kapan Indonesia akan merdeka. Mereka begitu yakin bahwa kesatuan bahasa akan menjadi salah satu pemersatu rakyat Indonesia.
Keyakinan itu akhirnya terus terjaga hingga sekarang. Namun entah mengapa, semakin hari bahasa Indonesia semakin kehilangan kekuatannya. Tak perlu jauh-jauh mencarinya. Komunikasi sehari-hari baik di televisi atau di pusat-pusat perbelanjaan hampir dipenuhi oleh percampuran antara bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bukan hanya itu, merebaknya sosial media turut mempengaruhi percampuran bahasa ini. Lebih jauh, status di medsos keseharian orang-orang mulai menggunakan bahasa asing. Terlepas penulisnya paham bahasa asing atau tidak. Intinya prestise menggunakan bahasa asing lebih tinggi daripada menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini diperparah lagi oleh figur publik yang lebih cenderung menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia pada tulisan status mereka di sosmed.
Yang disebutkan pada paragraf sebelumnya masih dalam tataran informal. Lalu bagaimana dengan tataran formal? Pernah saya kira Anda membaca sebuah pengumuman lowongan kerja. Lowongan kerja dimaksud masih dalam wilayah NKRI. Tapi salah satu syaratnya menyebutkan mahir berbahasa Inggris baik lisan dan tulisan. Saya, entah karena memang jurusan bahasa Indonesia atau terlalu benci pada hal kebarat-baratan, merasa tersinggung. Apakah begitu penting memahami bahasa Inggris sehingga untuk melamar pekerjaan di wilayah NKRI pun wajib paham bahasa Inggris?
Selanjutnya Anda tentu pernah juga membaca informasi beasiswa. Salah satu syarat yang menjadi menakutkan di sana adalah kemampuan bahasa Inggris. Tidak ada pengecualian untuk jurusan apa pun. Artinya untuk orang-orang yang jurusan bahasa Indonesia pun wajib paham bahasa Inggris. Lalu untuk apa mereka belajar bahasa Indonesia kalau yang dipersyaratkan yang lebih penting adalah bahasa Inggris?
Saya sering berpikir bahwa sangat rugi sekalilah mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa Indonesia itu kuliah jika tidak paham juga bahasa Inggris. Padahal mahasiswa jurusan bahasa Indonesia itu selalu menetapkan di hatinya bahwa "Aku harus bangga pada bahasa Indonesia". Ternyata kebanggaannya pada jurusannya harus dibayar mahal dengan wajib paham juga bahasa asing.
Saya jadi teringat ucapan teman yang kuliah jurusan bahasa Prancis. Suatu kesempatan, katanya, orang Inggris berjumpa dengan orang Prancis. Orang Inggris bertanya pada orang Prancis. "Apakah kamu bisa berbahasa Inggri?" tanya si Inggris. Si Prancis menjawab dengan bahasa Prancis "Biarkan orang Inggris yang belajar bahasa Prancis".
Begitulah mereka. Sikap bahasa orang Prancis sangat tinggi sehingga bahasanya selalu dia banggakan. Lalu bagaimana dengan kita? Cobalah datang ke objek wisata terkenal. Bali misalnya. Turis yang ada di sana selalu saja kita layani dengan bahasa mereka. Padahal kita ke negara mer3ka berlibur, bukan kuliah, kita tidak dilayani dengan bahasa kita.
Di akhir tulisan, saya ingin katakan bahwa selayaknyalah kita bangga pada bahasa Indonesia. Kebanggaan itu bisa diperlihatkan dengan menggunakan bahasa Indonesia pada tataran yang semestinya. Karena kalau bukan kita yang membanggakannya lalu siapa lagi?
Rabu, 04 April 2018
Selasa, 03 April 2018
Tulisan
Sekelumit Kekecewaan
Oleh Justianus Tarigan
Sore hari di kota besar seperti Medan memang sering macet. Jam pulang kerja membuat jalan dipenuhi oleh kendaraan. Semua pengendara berharap cepat-cepat sampai tujuan untuk melepas lelah karena bekerja seharian.
Harapan cepat sampai di tujuan ini yang kadang membuat perjalanan di jalan raya kurang memperhatikan rambu-rambu berlalu lintas. Berdesak-desakan. Bahkan, sebagian pengendara motor memasuki area trotoar. Lebih parah lagi, beberapa pengendara kadang terkesan ugal-ugalan berkendara sehingga dapat menyebabkan kecelakaan berlalu lintas.
Sore ini misalnya saya hendak mau pulang tapi terjebak dalam kemacetan. Macet bukan karena tidak ada rambu lalu lintas. Jelas sekali di perempatan itu ada lampu merah. Tapi sayang sekali lampu merah itu tidak digunakan oleh semua pengendara. Lampu yang sedang menyala berwarna merah tapi tetap saja ada pengendara yang melanggar. Pada saat yang sama, pengendara dari lawan arah berjalan juga. Akhirnya jumpa di tengah semua. Dan tidak ada lagi yang bisa mengalah. Sudah terjebak di tengah semuanya. Lebih parah lagi, tak ada yang mau peduli. Yang lain mencari jalan agar segera terhindar dari kemacetan itu. Alih-alih mau menghindar, tapi semakin menambah kemacetan. Jadinya butuh waktu lama untuk melerai kemacetan ini.
Kadang terpikir "Sampai kapan keadaan seperti ini tetap terjadi di negeri ini?" Rasanya sulit juga mencari siapa yang perlu dipersalahkan. Lebih arih jika setiap orang mengambil bagian untuk menjaga ketertiban berlalu lintas. Peraturan yang dibuat sebaik apa pun jika pengguna peraturan itu tak pernah sadar akan kewajibannya maka nasib yang sama akan tetap terulang.
Senin, 02 April 2018
Artikel atau curhatan?
INI INDONESIA?
Oleh Justianus Tarigan
Cita-cita setiap orang berbeda-beda. Ada yang mau jadi guru, ada yang mau jadi TNI, ada yang mau jadi dokter, dan masih banyak lagi.
Cita-cita memang tidak pernah salah. Bahkan hidup tanpa cita-cita sebagian orang menganggap bagai kapal tak punya tujuan.
Begitu juga denganku. Lulus dari semua tingkat persekolahan, aku masuk ke perguruan tinggi. Dari semua perguruan tinggi yang ada, aku hanya ingin masuk ke perguruan tinggi keguruan. Alasannya jelas: mau jadi Guru. Dengan tekad kuat akhirnya diterima di salah satu kampus terbaik di Medan. Jurusan bahasa Indonesia.
Perkuliahan tidak ada masalah yang berarti kutemui. Satu dua masalah menghadang selalu saja terselesaikan dengan baik. Tentunya atas bantuanNya. Yang jadi masalah terbesar selanjutnya, selepas tamat kuliah, adalah cita-cita melanjutkan studi ke tingkat lebih tinggi.
Saat beragam beasiswa yang berseliweran di depan mata, aku hanya terpana tak berkutik melihat salah satu syaratnya, kemampuan bahasa asing. Katakan saja bahasa Inggris.
Barangkali memang butuh ekstra belajar bahasa Inggris supaya bisa mendapatkan beasiswa itu. Dan ini tak pernah kuseriuskan dalam mempelajarinya. Ini salah satu salahku juga.
Alih-alih masih mencari beasiswa, aku coba juga mengajukan lamaran sebagai pengajar bahasa Indonesia di salah satu sekolah. Tak kuduga, sungguh. Yang dites saat penerimaan guru di situ malah bahasa Inggris saja. Waw... dalih sekolahnya adalah karena sekolah menerapkan kurikulum seperti itu. Serasa aku sedang di luar negeri mencari kerjaan sebagai tenaga pendidik.
Padahal kalau mereka mau mengetes aku secara objektif terkait kemampuan mengajar dan kemampuan profesionalku sebagai guru bahasa Indonesia, bukan sombong, aku tidak pernah ragu. Aku tahu diri dalam hal ini.
Jadinya, aku tak tahu apa yang terjadi. Biarlah aku mengawali lagi. Maksudku belajar bahasa Inggris dari buku-buku yang terserak di rak lemari. Kadang aku berpikir, kalau aku sehebat orang yang jurusan bahasa Inggris dalam berkomunikasi dan aku bukan jurusan bahasa Inggris barangkali aku lebih baik jadi pengajar bahasa Indonesia saja di luar negeri. Gaji terjamin plus liburan. Kalau beruntung bisa kuliah lagi di luar negeri. Tapi itu hanya angan hari ini.
Kadang memang terasa aneh di negeri sendiri. Saat orang barat datang ke negeri sendiri untuk berlibur, mereka membawa budayanya sendiri bahkan kita menggunakan bahasa mereka untuk melayani mereka. Sedangkan saat yang bersamaan kita ke luar negeri untuk tujuan berlibur juga, kita tidak dilayani dengan budaya kita dan bahasa kita.
Begitulah kenyataan sehingga aku berpikir apakah aku sedang di Indonesia?
Oleh Justianus Tarigan
Cita-cita setiap orang berbeda-beda. Ada yang mau jadi guru, ada yang mau jadi TNI, ada yang mau jadi dokter, dan masih banyak lagi.
Cita-cita memang tidak pernah salah. Bahkan hidup tanpa cita-cita sebagian orang menganggap bagai kapal tak punya tujuan.
Begitu juga denganku. Lulus dari semua tingkat persekolahan, aku masuk ke perguruan tinggi. Dari semua perguruan tinggi yang ada, aku hanya ingin masuk ke perguruan tinggi keguruan. Alasannya jelas: mau jadi Guru. Dengan tekad kuat akhirnya diterima di salah satu kampus terbaik di Medan. Jurusan bahasa Indonesia.
Perkuliahan tidak ada masalah yang berarti kutemui. Satu dua masalah menghadang selalu saja terselesaikan dengan baik. Tentunya atas bantuanNya. Yang jadi masalah terbesar selanjutnya, selepas tamat kuliah, adalah cita-cita melanjutkan studi ke tingkat lebih tinggi.
Saat beragam beasiswa yang berseliweran di depan mata, aku hanya terpana tak berkutik melihat salah satu syaratnya, kemampuan bahasa asing. Katakan saja bahasa Inggris.
Barangkali memang butuh ekstra belajar bahasa Inggris supaya bisa mendapatkan beasiswa itu. Dan ini tak pernah kuseriuskan dalam mempelajarinya. Ini salah satu salahku juga.
Alih-alih masih mencari beasiswa, aku coba juga mengajukan lamaran sebagai pengajar bahasa Indonesia di salah satu sekolah. Tak kuduga, sungguh. Yang dites saat penerimaan guru di situ malah bahasa Inggris saja. Waw... dalih sekolahnya adalah karena sekolah menerapkan kurikulum seperti itu. Serasa aku sedang di luar negeri mencari kerjaan sebagai tenaga pendidik.
Padahal kalau mereka mau mengetes aku secara objektif terkait kemampuan mengajar dan kemampuan profesionalku sebagai guru bahasa Indonesia, bukan sombong, aku tidak pernah ragu. Aku tahu diri dalam hal ini.
Jadinya, aku tak tahu apa yang terjadi. Biarlah aku mengawali lagi. Maksudku belajar bahasa Inggris dari buku-buku yang terserak di rak lemari. Kadang aku berpikir, kalau aku sehebat orang yang jurusan bahasa Inggris dalam berkomunikasi dan aku bukan jurusan bahasa Inggris barangkali aku lebih baik jadi pengajar bahasa Indonesia saja di luar negeri. Gaji terjamin plus liburan. Kalau beruntung bisa kuliah lagi di luar negeri. Tapi itu hanya angan hari ini.
Kadang memang terasa aneh di negeri sendiri. Saat orang barat datang ke negeri sendiri untuk berlibur, mereka membawa budayanya sendiri bahkan kita menggunakan bahasa mereka untuk melayani mereka. Sedangkan saat yang bersamaan kita ke luar negeri untuk tujuan berlibur juga, kita tidak dilayani dengan budaya kita dan bahasa kita.
Begitulah kenyataan sehingga aku berpikir apakah aku sedang di Indonesia?
Minggu, 25 Maret 2018
Artikel
Logika Berbahasa
Oleh Justianus Tarigan
Barangkali sudah banyak tulisan yang membahas tentang logika berbahasa. Tentu saja setiap tulisan yang membahas topik tersebut disertai bukti konkretnya. Artinya penulisnya akan memberikan contoh sebuah tulisan yang di dalamnya terdapat kesalahan logika.
Walau demikian perlu rasanya selalu dibahas dan diingatkan mengenai logika berbahasa ini. Mengingat bahasa itu digunakan oleh penggunanya. Artinya setiap saat akan muncul sebuah ungkapan, katakanlah sebuah kalimat, yang mewakili pikiran pembuatnya. Ungkapan itu akan selalu berbeda seiring dengan tujuan ungkapan itu disampaikan.
Satu contoh ungkapan yang saya temukan dipampang di tepi jalan beberapa minggu lalu berbunyi "Jangan sampai tersentuh narkoba". Tak perlu disebutkan pihak yang memublikasikan tulisan ini. Yang pasti, tulisan ini sebenarnya berupa imbauan kepada masyarakat untuk menjauhi benda terlarang itu (narkoba). Ya, sah-sah saja kita mengatakan demikian. Tidak mungkin tulisan itu mengajak masyarakat menggunakan narkoba. Namun, secara kebahasaan, kalimat ini jelas kurang logis.
Kesalahan logika pada kalimat tersebut terletak pada kata "tersentuh". Imbuhan ter- di sini memiliki makna membentuk kata kerja pasif sehingga kata "narkoba" yang ada di belakangnya bisa menjadi objek pelaku. Sama halnya dengan sebuah kalimat tak sempurna "tertabrak mobil". Kalimat ini juga dapat diartikan bahwa mobil adalah pelakunya/penyebab. Dengan demikian, kembali ke "Jangan sampai tersentuh narkoba" mengartikan bahwa narkobalah yang melakukan perbuatan (menyentuh). Siapa yang disentuh? Tentu maksudnya adalah kita selaku masyarakat. Jadi, bisakah narkoba menyentuh masyarakat? Bukankah narkoba benda mati? Inilah penjelasan ketidaklogisan pada kalimat tersebut.
Lantas, apa seharusnya kalimat yang logis untuk kalimat tersebut? Jawabannya sebenarnya mudah. Ubah saja kata "tersentuh" menjadi "menyentuh" sehingga kalimatnya "Jangan sampai menyentuh narkoba". Kalimat ini sudah tepat mengantarkan maksudnya juga dapat diterima secara logika.
Semoga bermanfaat.
Oleh Justianus Tarigan
Barangkali sudah banyak tulisan yang membahas tentang logika berbahasa. Tentu saja setiap tulisan yang membahas topik tersebut disertai bukti konkretnya. Artinya penulisnya akan memberikan contoh sebuah tulisan yang di dalamnya terdapat kesalahan logika.
Walau demikian perlu rasanya selalu dibahas dan diingatkan mengenai logika berbahasa ini. Mengingat bahasa itu digunakan oleh penggunanya. Artinya setiap saat akan muncul sebuah ungkapan, katakanlah sebuah kalimat, yang mewakili pikiran pembuatnya. Ungkapan itu akan selalu berbeda seiring dengan tujuan ungkapan itu disampaikan.
Satu contoh ungkapan yang saya temukan dipampang di tepi jalan beberapa minggu lalu berbunyi "Jangan sampai tersentuh narkoba". Tak perlu disebutkan pihak yang memublikasikan tulisan ini. Yang pasti, tulisan ini sebenarnya berupa imbauan kepada masyarakat untuk menjauhi benda terlarang itu (narkoba). Ya, sah-sah saja kita mengatakan demikian. Tidak mungkin tulisan itu mengajak masyarakat menggunakan narkoba. Namun, secara kebahasaan, kalimat ini jelas kurang logis.
Kesalahan logika pada kalimat tersebut terletak pada kata "tersentuh". Imbuhan ter- di sini memiliki makna membentuk kata kerja pasif sehingga kata "narkoba" yang ada di belakangnya bisa menjadi objek pelaku. Sama halnya dengan sebuah kalimat tak sempurna "tertabrak mobil". Kalimat ini juga dapat diartikan bahwa mobil adalah pelakunya/penyebab. Dengan demikian, kembali ke "Jangan sampai tersentuh narkoba" mengartikan bahwa narkobalah yang melakukan perbuatan (menyentuh). Siapa yang disentuh? Tentu maksudnya adalah kita selaku masyarakat. Jadi, bisakah narkoba menyentuh masyarakat? Bukankah narkoba benda mati? Inilah penjelasan ketidaklogisan pada kalimat tersebut.
Lantas, apa seharusnya kalimat yang logis untuk kalimat tersebut? Jawabannya sebenarnya mudah. Ubah saja kata "tersentuh" menjadi "menyentuh" sehingga kalimatnya "Jangan sampai menyentuh narkoba". Kalimat ini sudah tepat mengantarkan maksudnya juga dapat diterima secara logika.
Semoga bermanfaat.
Selasa, 12 Desember 2017
Film Bukan Sekadar Hiburan
oleh Justianus Tarigan
Menjadi guru adalah pekerjaan totalitas dan punya visi yang kuat mengantarkan peserta didiknya ke jalan kesuksesan. Setidaknya itulah yang kudapatkan dari sebuah film yang kutonton hari ini yang berjudul Coach Carter. Menjadi guru adalah pekerjaan yang mampu mengindentifikasi permasalahan siswa dan dari permasalah ini guru menerapkan sebuah peraturan secara disiplin kepada siswa dan terus berinovasi memperbaiki pembelajaran demi mengantarkan siswa kepada kesuksesan.
Yang menarik bagiku dari film ini adalah Carter bukan seorang guru, tapi pelatih. Namun dia punya visi yang kuat untuk memberikan terbaik kepada siswanya. Visi utamanya bukan sekadar siswanya menang dalam pertandingan tetapi siswanya harus bisa diterima di perguruan tinggi lewat beasiswa. Aku mengikuti jalan cerita film ini dengan sebuah pertanyaan "Apa sebenarnya yang diinginkan Carter sehingga siswanya harus kuliah setelah tamat SMA?" Dalam perjalanan film itu kutemukan bahwa Carter sangat menginginkan siswanya bisa kuliah karena melihat keadaan lingkungan sekitarnya yang jika tidak kuliah maka siswanya akan terpengaruh lingkungan dan bisa berbuat kejahatan. Ini tentu tidak bisa dibiarkan oleh Carter. Dia punya keyakinan bahwa pendidikan tinggi mampu mengubah masa depan siswanya menjadi lebih baik.
Jauh dalam hati aku merenungi diri. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama di sudut desa yang sangat jauh dari kota, aku selalu berpikir bagaimana caranya aku bisa mengenal dunia luar dan hidupku tidak akan sama seperti orang-orang di sekelilingku. Tiada jalan selain lewat pendidikan. Aku berharap tapi dalam kecemasan yang tinggi "Apakah itu sampai?" dan satu per satu jalan kulalui sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan tinggi.
Apakah sudah selesai sekarang karena sudah menyelesaikan pendidikan tinggi? Jawabannya memang belum. Masih jauh jalan kaki akan terus melangkah. Kemana? Itu masih misteri. Sepanjang kaki ini kuayunkan pada jalan yang benar, arah mana pun dia akan berlabuh kutak akan menyesalinya. Biarlah cita-cita terus kugenggam dan terus berusaha dan berharap semoga suatu hari nanti akan hadir sebuah harapan yang selama ini diidam-idamkan.
Jinengdalem, 13 Des 2017
oleh Justianus Tarigan
Menjadi guru adalah pekerjaan totalitas dan punya visi yang kuat mengantarkan peserta didiknya ke jalan kesuksesan. Setidaknya itulah yang kudapatkan dari sebuah film yang kutonton hari ini yang berjudul Coach Carter. Menjadi guru adalah pekerjaan yang mampu mengindentifikasi permasalahan siswa dan dari permasalah ini guru menerapkan sebuah peraturan secara disiplin kepada siswa dan terus berinovasi memperbaiki pembelajaran demi mengantarkan siswa kepada kesuksesan.
Yang menarik bagiku dari film ini adalah Carter bukan seorang guru, tapi pelatih. Namun dia punya visi yang kuat untuk memberikan terbaik kepada siswanya. Visi utamanya bukan sekadar siswanya menang dalam pertandingan tetapi siswanya harus bisa diterima di perguruan tinggi lewat beasiswa. Aku mengikuti jalan cerita film ini dengan sebuah pertanyaan "Apa sebenarnya yang diinginkan Carter sehingga siswanya harus kuliah setelah tamat SMA?" Dalam perjalanan film itu kutemukan bahwa Carter sangat menginginkan siswanya bisa kuliah karena melihat keadaan lingkungan sekitarnya yang jika tidak kuliah maka siswanya akan terpengaruh lingkungan dan bisa berbuat kejahatan. Ini tentu tidak bisa dibiarkan oleh Carter. Dia punya keyakinan bahwa pendidikan tinggi mampu mengubah masa depan siswanya menjadi lebih baik.
Jauh dalam hati aku merenungi diri. Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama di sudut desa yang sangat jauh dari kota, aku selalu berpikir bagaimana caranya aku bisa mengenal dunia luar dan hidupku tidak akan sama seperti orang-orang di sekelilingku. Tiada jalan selain lewat pendidikan. Aku berharap tapi dalam kecemasan yang tinggi "Apakah itu sampai?" dan satu per satu jalan kulalui sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan tinggi.
Apakah sudah selesai sekarang karena sudah menyelesaikan pendidikan tinggi? Jawabannya memang belum. Masih jauh jalan kaki akan terus melangkah. Kemana? Itu masih misteri. Sepanjang kaki ini kuayunkan pada jalan yang benar, arah mana pun dia akan berlabuh kutak akan menyesalinya. Biarlah cita-cita terus kugenggam dan terus berusaha dan berharap semoga suatu hari nanti akan hadir sebuah harapan yang selama ini diidam-idamkan.
Jinengdalem, 13 Des 2017
Senin, 11 Desember 2017
motivasi diri
Gerimis Malu Membuncah Jadi Badai Takut
oleh Justianus Tarigan
Kamar bersebelahan dengan musala yang setiap waktu sholat akan mengumandangkan azan belum tentu membawa kita hadir ke tempat itu. Rasanya tak mungkin menyatakan seperti ini karena terlalu dekat dengan sumber azan. Tapi begitulah mahalnya sebuah hidayah yang Dia berikan kepada hambaNya.
---///---
Aku bangun pagi karena mendengar suara kebisingan dari luar kamar. Saat kubuka mataku, sinar matahari sudah menyelinap di sela-sela kaca jendela yang tertutup oleh koran yang kutempel karena tidak ada gordennya.
Saat tangan kugerakkan perlahan menggapai telepon genggam di atas meja yang tidak jauh dariku, waktu sudah pukul enam lebih. Mataku juga masih berat untuk dibuka.
Satu hal yang kupikirkan adalah aku belum menunaikan sholat subuh. Sholat subuh yang begitu mulia terlewatkan. Padahal, kamarmu berbatasan langsung dengan musala yang kami jadikan tempat sholat. Bagaimana mungkin aku tidak bangun saat suara azan berkumandang? Bukankah suara azan selalu nyaring terdengar dari kamar ini?
Aku segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan segera menunaikan sholat subuh yang terlewatkan. Setelah salam aku mengingat-ingat. Apakah yang kulakukan sehingga aku tak bisa mendengar suara panggilan yang agung itu? Seketika aku jadi takut. Aku menyadari bahwa tidak ada jaminan aku tidak akan melewatkan sholat subuhku karena kamarku bersebelahan dengan musholla.
Aku menyadari bahwa Allah-lah yang mengingatkan dan membimbingku untuk mau mendekatkan diri kepada-Nya. Satu sisi aku jadi takut dan satu sisi aku menyesali tingkah lakuku yang terlalu sering bermaksiat kepada Allah. Bagaimana seandainya Allah tidak pernah memberikan hidayah-Nya kepadaku sehingga aku tidak bisa mendengarkan panggilan azan setiap kali waktu sholat tiba?
Sungguh aku takut. Aku malu. Aku merasa terhina karena ulahku sehingga aku menjadi jauh dari-Nya. Ya Allah ampunilah hambamu yang hina ini. Berikanlah aku petunjuk-Mu. Tuntunlah hamba-Mu ini ke jalan yang Engkah berkahi dan janganlah Engkau jauhkan hamba dari-Mu sebab Engkaulah tempatku kembali.
oleh Justianus Tarigan
Kamar bersebelahan dengan musala yang setiap waktu sholat akan mengumandangkan azan belum tentu membawa kita hadir ke tempat itu. Rasanya tak mungkin menyatakan seperti ini karena terlalu dekat dengan sumber azan. Tapi begitulah mahalnya sebuah hidayah yang Dia berikan kepada hambaNya.
---///---
Aku bangun pagi karena mendengar suara kebisingan dari luar kamar. Saat kubuka mataku, sinar matahari sudah menyelinap di sela-sela kaca jendela yang tertutup oleh koran yang kutempel karena tidak ada gordennya.
Saat tangan kugerakkan perlahan menggapai telepon genggam di atas meja yang tidak jauh dariku, waktu sudah pukul enam lebih. Mataku juga masih berat untuk dibuka.
Satu hal yang kupikirkan adalah aku belum menunaikan sholat subuh. Sholat subuh yang begitu mulia terlewatkan. Padahal, kamarmu berbatasan langsung dengan musala yang kami jadikan tempat sholat. Bagaimana mungkin aku tidak bangun saat suara azan berkumandang? Bukankah suara azan selalu nyaring terdengar dari kamar ini?
Aku segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan segera menunaikan sholat subuh yang terlewatkan. Setelah salam aku mengingat-ingat. Apakah yang kulakukan sehingga aku tak bisa mendengar suara panggilan yang agung itu? Seketika aku jadi takut. Aku menyadari bahwa tidak ada jaminan aku tidak akan melewatkan sholat subuhku karena kamarku bersebelahan dengan musholla.
Aku menyadari bahwa Allah-lah yang mengingatkan dan membimbingku untuk mau mendekatkan diri kepada-Nya. Satu sisi aku jadi takut dan satu sisi aku menyesali tingkah lakuku yang terlalu sering bermaksiat kepada Allah. Bagaimana seandainya Allah tidak pernah memberikan hidayah-Nya kepadaku sehingga aku tidak bisa mendengarkan panggilan azan setiap kali waktu sholat tiba?
Sungguh aku takut. Aku malu. Aku merasa terhina karena ulahku sehingga aku menjadi jauh dari-Nya. Ya Allah ampunilah hambamu yang hina ini. Berikanlah aku petunjuk-Mu. Tuntunlah hamba-Mu ini ke jalan yang Engkah berkahi dan janganlah Engkau jauhkan hamba dari-Mu sebab Engkaulah tempatku kembali.
Minggu, 10 Desember 2017
Kalimat
Pola Dasar Kalimat Bahasa Indonesia
Menulis merupakan aktivitas mengungkapkan buah pikiran ke dalam bentuk tertulis. Hasil menulis adalah tulisan. Tulisan tidak akan menjadi sebuah tulisan yang panjang jika tidak diawali dari sebuah kalimat. Untuk itu, ada baiknya kita mengenal pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia.
Kalimat dalam bahasa Indonesia minimal terdiri atas subjek dan predikat. Walaupun demikian, terkadang ditemukan juga kalimat yang tidak mengikuti struktur ini. Kalimat yang tidak memenuhi struktur ini disebut kalimat minor. Kalimat ini akan dibahas secara terpisah.
Dengan berdasar pada kalimat dalam bahasa Indonesia terdiri atas subjek dan predikat, pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia ada lima, yakni sebagai berikut.
1. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai kata benda
contoh: Ayahku dokter.
Ayahku dalam kalimat di atas berfungsi sebagai subjek dan dokter dalam kalimat tersebut berfungsi sebagai predikat. Ayahku tentu kata benda dan dokter juga kata benda. Sebagai tambahan, mengenal kata benda tidaklah sulit. Kata benda (nomina) adalah semua kata yang menunjukkan benda dan yang dibendakan. Salah satu penanda sebuah kata adalah kata benda dapat dilihat dari imbuhan yang melekat pada kata tersebut. Imbuhan pembentuk kata benda misalnya pe-, per-an, pe-an, ke-an, dan -an.
Dari contoh seperti di atas, maka dapat dibuat kalimat yang lain yang sama strukturnya, yaitu sebagai berikut.
2. Nenekku perawat.
3. Kakak seorang guru.
4. Ibu itu pedagang.
5. Istrinya pembuat kue.
Silakan Anda buat sendiri kalimat lain yang pola kalimatnya sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas.
2. Subjek sebagai kata banda dan predikat sebagai kata kerja
contoh: Aku sedang makan.
Kalimat di atas yang berfungsi sebagai subjek adalah aku. Yang berfungsi sebagai predikat adalah sedang makan. Akan tetapi, ada kalanya kalimat seperti ini dapat diperluas dengan menambahkan objek atau pelengkap atau keterangan setelah predikatnya. Misalnya seperti kalimat berikut.
Aku sedang makan nasi goreng.
Aku sebagai subjek, sedang makan sebagai predikat, dan nasi goreng sebagai objek. Pertanyaannya, mengapa bisa hadir objek? Jawabannya adalah karena predikat dalam kalimat ini bisa diikuti oleh objek dan bisa juga tidak. Predikat yang bisa diikuti oleh objek dan bisa juga tidak diikuti oleh objek disebut kalimat semitransitif.
Untuk mengetahui sebuah kata termasuk kata kerja dapat dilihat dari imbuhan yang melekat pada kata tersebut. Biasanya imbuhan me-, ber-, di- merupakan imbuhan pembentuk kata kerja.
Berpedoman pada pola kalimat kedua ini, kita dapat membuat kalimat lain seperti di bawah ini.
2. Anjing itu menggonggong.
3. Budi pergi ke pasar.
4. Kakek bermain bola.
5. Made sedang belajar menulis.
3. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai kata sifat
contoh: Dia sangat cantik.
Dia dalam kalimat di atas berfungsi sebagai subjek dan sangat cantik berfungsi sebagai predikat.
Untuk mengetahui sebuah kata termasuk kata sifat kita dapat mengujinya dengan menambahkan kata sangat sebelum kata tersebut atau kata sekali setelah kata tersebut.
Dengan cara yang sama kita dapat membuat kalimat lain seperti yang terlihat di bawah ini.
2. Pemandangan alam ini sungguh indah.
3. Wajahnya bersih sekali.
4. Rumahnya besar.
5. Buku ayah sangat banyak di rumah.
Nah, silakan dibuat kalimat lain yang sepola dengan kalimat di atas untuk menambah pemahaman.
4. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai bilangan
contoh: Anakku empat orang.
Kalimat di atas yang berfungsi sebagai subjek adalah anakku dan yang berfungsi sebagai predikat adalah empat orang.Sebagai informasi tambahan, kata bilangan adalah kata yang selalu menunjukkan jumlah atau urutan.
Dengan cara yang sama kita dapat membuat kalimat lain seperti berikut ini.
2. Aku pertama.
3. Kambingku lima ekor.
4. Tanah nenek sepuluh hektare.
5. Emas itu 24 karat.
5. Subjek sebagai kata benda dan predikat sebagai kata depan
contoh: Dinda ke pasar.
Dinda berfungsi sebagai subjek pada kalimat tersebut dan ke pasar berfungsi sebagai predikat. Yang perlu diingat adalah pola kalimat seperti ini selalu menghadirkan kata depan sebagai predikatnya (di, ke, dan dari). Dengan cara yang sama kita dapat membuat kalimat lain seperti terlihat di bawah ini.
2. Semua uangku di bank.
3. Kekasihnya ke Amerika.
4. Kemarin dia ke Jakarta.
5. John dari Belanda.
Demikianlah lima pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia. Subjek dan predikat selalu akan hadir jika mengikuti pola kalimat yang baku. Subjek dalam kalimat bahasa Indonesia akan selalu diduduki oleh kata benda (nomina) sedangkan predikat bisa dipilih sesuai keinginan penulisnya.
Semoga bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)